PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak
asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara
kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang
Maha Esa. Hak-hak seperti hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak untuk
mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak
keamanan, dan hak kesejahteraan merupakan hak yang tidak boleh diabaikan atau
dirampas oleh siapapun, seperti yang tercantum pada rumusan hak asasi manusia
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia vide Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Perkembangan
sejarah, ungkapan "hak-hak asasi manusia" relatif baru,
yang baru memasuki bahasa
sehari-hari sejak Perang Dunia II dan pembentuka Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945,
Ungkapan ini menggac tikan
istilah "hak-hak alamiah," yang menjadi kurang disukai st bagian karena kbnsep hukum alam (yang
berkaitan erat dengannya telah
menjadi masalah kontroversi yang besar, dan ungkapan "th rights of Man" yang muncul kemudian, yang tidak secara univers?
dianggap mencakup hak-hak kaum wanita. Kebanyakan pengamat hak-hak asasi
manusia menelusuri asal usul
sejarah dari konsep itu ke Yunani dan Romawi kuno, karen hak-hak asasi berkaitan erat dengan
doktrin-doktrin hukum alai pramodern dari Stoicisme Yunani (mazhab filosofi
yang didirika oleh Zeno
dari Citrum, yang beranggapan bahwa suatu kekuata universal meliputi semua ciptaan dan bahwa
karenanya tindal tanduk
manusia hendaknya dinilai menurut, dan diselaraskan de ngan, hukum alam). Contoh klasik, yang diambil dari
literatur Yur ani, adalah
mengenai Antigone, yang, karena dimarahi oleh Creo sebab menentang perintahnya agar tidak
mengubur saudara lelak nya yang tewas dibunuh, menegaskan bahwa ia bertindak
sesu; dengan hukum para dewa yang abadi.
Sebagian karena Stoicisme Hellenistik memainkan suatu pera kunci dalam pembentukan dan
penyebarannya, hukum Romav dapat
juga dilihat sebagai mengijinkan eksistensi suatu hukum alai dan, dengan itu,
mengikuti jus gentium ("hukum bangsa-bangsa" hak-hak asasi universal tertentu yang
meluas melebihi hak-ha warga
negara. Menurut hakim Romawi, Ulpian, misalnva, hukui alam adalah hukum yang alam, bukan Negara menentukan bagi semua makhluk manusia, warga Roma atau
bukan. Tetapi, baru sesudah Abad Pertengahan
doktrin hukum alam
berkaitan erat dengan teori-teori politik liberal mengenai hak-hak alamiah. Pada zaman Yunani-Roma dan abad pertengahan, doktrin-doktrin
hukum alam terutama mengajarkan kewajiban-kewajiban yang berbeda dari hak-hak asasi "Man"
(Manusia). Lagi pula, seperti
tampak jelas pada tulisan-tulisan Aristoteles dan St. Thomas Aquinas, doktrin-doktrin ini mengakui
legitimasi dari perbudakan dan perhambaan dan, dengan berbuat demikian,
mengesampingkan ide-ide
yang mungkin paling sentral dari hak-hak asasi manusia sebagaimana ide ide itu dipahami dewasa ini, ide mengenai kemerdekaan (kebebasan) dan persamaan. Agar ide hak-hak asasi manusia (yakni, alamiah)
menjadi suatu kebutuhan dan realitas sosial yang
umum, perlu terjadi perubahan mendasar pada
anggapan dan praktik-praktik masyarakat, jenis perubahan yang berevolusi dari sekitar abad kesembilah belas hingga Perdamaian Westphalia (1648), semasa Renaisans dan
merosotnya feodalisme. Ketika perlawanan terhadap
sikap agama yang tidak toleran
dan perhambaan politik-ekonomi memulai
transisi yang panjang menuju kepada gagasan kebebasan
dan persamaan yang liberal, khususnya sehubungan dengan
penggunaan dan pemilikan harta, maka landasan dari apa yang
dewasa ini dinamakan hak-hak asasi manusia
sungguh-sungguh diletakkan. Selama
periode ini, dengan mencerminkan kegagalan para penguasa untuk
memenuhi kewajiban-kewajiban hukum alam mereka
maupun komitmen yang belum
pernah ada terhadap ekspresi individual
dan pengalaman duniawi yang merupakan ciri Renaisans,
dilakukanlah pergeseran dari hukum alam sebagai kewajiban kepada
hukum sebagai hak. Ajaran-ajaran Aquinas (1224/1225-1274)
dan Hugo Grotius (1583-1645)
di benua Eropa, dan Magna Carta (1215), Petisi Hak Asasi tahun 1628, dan Pernyataan Hak-hak Asasi Manusia
Iriggris (1689) di Inggris, merupakan bukti perubahan ini. Semua
memberikan kesaksian kepada pandangan yang semakin
populer bahwa makhluk manusia dikaruniai hak-hak yang kekal
dan tidak dapat dicabut, yang tidak pernah ditinggalkan ketika
umat manusia "dikontrak" untuk memasuki keadaan sosial dari keadaan primitif dan
tidak pernah berkurang karena tuntutan
"hak ilahi para raja." Tetapi, menguraikan konsepsi modernis mengenai hukum
alam ini sebagai berarti atau
mengimplikasikan hak-hak
alamiah terutama untuk abad-abad ketujuh belas dan kedelapan
belas. Pencapaian-pencapaian ilmiah dan intelektual abad kesembilan belas -penemuan Galileo dati Sir Isaac Newton,
materialisme Thomas Hobbes,
rasionalisrne Rene Descartes dan Gottfried Wilhelm Leibniz, panteisme Benedict de Spinoza,
tmpirisistne Francis Bacon ,serta
John Locke - menggalakkan kepercayaan terhadap hukum alam dan tatanan universal; dan sepanjang abad kedelapan belas, apa yang
dinamakan Zamaft Pencerahan, suatu keyakinan yang sedang berkembang terhadap nalar manusia dan
kemampuan untuk sempurna dari masalah-masalah manusiawi
mengarah kepada ekspresi yang lebih
komprehensif Yang
terutama patut dicatat adalah tulis-an-tulisan dari filsuf Inggris abad ketujuh belas, John Locke barangkali teoretisi hukum alam terpenting pada
zaman modern serta karya para
filsuf abad kedelapan belas yang terutama berpusal di
Paris, termasuk Montesquieu, Voltaire, dan Jean-Jacques Rousseau. Locke berargumentasi secara rinci, terutama dalam
tulisan-tulisan yang berkaitan dengan
Revolusi tahun 1688 (Glorious Revolution), bahwa
hak-hak asasi tertentu sudah jelas dengan sendirinya mengenai individu-individu sebagai makhluk manusia (karena
hak-hak asasi itu hadir dalam
"keadaan alamiah" sebelum umat manusia menjadi masyarakat beradab); bahwa yang utama di antaranya
adalah hak-hak asasi atas kehidupan, kebebasan (kemerdekaan dari pemerin-tahan
yang sewenang-wenang), serta hak milik; bahwa, ketika menjadi masyarakat beradab (menurut suatu "kontrak
sosial"), umat manusia menyerahkan kepada negara hak untuk
menyelenggarakan hak-hal alamiah ini
saja, bukan hak itu sendiri; dan bahwa kegagalan negars untuk menegakkan hak-hak alamiah yang dikhususkan
ini (negars sendiri berada di bawah
kontrak untuk melindungi kepentingac para
anggotanya) menimbulkan suatu hak atas revolusi rakyat yan§ bertanggung jawab. Filsuf-filsuf, yang berdiri di
atas Locke dan yanf Iain-lain serta mencakup banyak dan beraneka ragam aliran
pemikirar dengan keyakinan tertinggi
yang umum terhadap nalar, dengar gigih
menyerang dogmatisme agama dan dogmatisme keilmuan sikap yang tidak toleran, sensor, serta
kendala-kendala sosial-ekonomi.
Reflections on the Revolution in France (1790), Burke, seorang penganut
hukum alam yang bagaimanapun juga membantah
bahwa "Rights of Man" dapat diturunkan dari nya, mengritik para penyusun Declaration of the
Rights of Man and of the Citizen (Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak Warga Negara) karena memproklamasikan "fiksj yang
menakutkan" mengenai persamaan manusia, yang, nienurut kilahnya, hanya berfungsi
mengilhami "ide-ide yang tidak benar dan harapan-harapan yang sia-sia pada manusia yang telah ditakdirkan untuk menjalani
perjalanan kehidupan yang tidak jelas dengan susah-payah." Bentham, salah
seorang pendiri Utili-tarianisme
dan seorang yang tidak percaya, tidak kalah menghi-nanya. "Hak" tulisnya, "adalah anak
hukum"; dari hukum yang nyata muncul hak-hak yang nyata;
tetapi dari hukum-hukum yang imajiner, dari 'hukum alam,'
muncul hak-hak imajiner. Hak-hak
alamiah adalah omong
kosong sederhana; hak-hak
yang alamiah dan tidak
dapat dicabut (suatu ungkapan Amerika), omong kosong yang retorik, omong kosong di atas
jangkungan." Hume setuju dengan Bentham; hukum alam dan
hak-hak alamiah, ia bersikeras, merupakan fenomena metafisik yang tidak nyata.
Serangan terhadap hukum alam dan hak-hak alamiah ini, dengan demikian dimulai pada masa akhir abad
kedelapan belas, keduanya menjadi
intensif dan meluas pada masa abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. John Stuart Mill, kendati pembelaannya yang gigih terhadap kebebasan,
memproklamasikan bahwa hak pada akhirnya berdasarkan pada utilitas. Ahli hukum Jerman Friedrich Karl von Savigny, Sir Henry Maine dari
Inggris, serta para sejarawan yang lain menekankan bahwa hak merupakan fungsi dari variabel-variabel budaya dan lingkungan yang unik
bagi komunitas-komuni-tas
tertentu. Dan ahli hukum John Austin serta filsuf Ludwig Wittgenstein, masing-masing bersikeras bahwa
satu-satunya hukum adalah "perintah
dari yang berdaulat" (sebuah ungkapan dari Thomas Hobbes) dan bahwa satu-satunya kebenaran adalah
kebenaran yang dapat
dipastikan melalui pengalaman yang dapat diverifikasi. Menjelang Perang Dunia I, hampir tidak ada teoretisi yang
akan atau dapat bagian
hak-hak asasi. Ahli waris dari Reformasi Protestan dan revolusi-revolusi Inggris, Amerika, Prancis,
Meksiko, Rusia, dari Cina,
di paruh terakhir abad kedua puluh telah menyaksikan, dalam kata-kata Louis Henkin cendekiawan
hak-hak asasi manusia, "penerimaan yang pada pokoknya universal terhadap hak-hak asasi manusia pada prinsipnya" sedemikian rupa
sehingga "tidak ada pemerintah yang berahi membangkang terhadap ideologi hak-hak asasi manusia dewasa
ini." Memang, kecuali untuk beberapa
demonstrasi keprihatinan
kemanusiaan internasional abad kesembilan belas yang pada pokoknya terisolasi, yang akan
dikemukakan di bawah, paruh terakhir abad kedua puluh dapat dikatakan secara adil menandai lahirnya pengakuan internasional maupun
universal terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam traktat pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
semua anggota berjanji untuk melakukan tindakan bersama dan terpisah untuk pencapaian
"penghormatan universal kepada, dan ketaatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan yang
fundamental bagi semua tanpa pembedaan ras, seks, bahasa, atau agama." Dalam Deklarasi Universal
Hak-hak Asasi Manusia (1948), para wakil dari banyak budaya yang beraneka ragam
membenarkan hak-hak asasi
yang dinyatakan di sana "sebagai suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua
bangsa." Dan pada
tahun 1976, Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Eko-nomi, Sosial dan Budaya
serta Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik, masing-masing
disahkan oleh Majelis Umum
PBB pada tahun 1966, mulai berlaku dan
dijalankan.
Oleh sebab itu perlu
dikaji lebih lanjut, yaitu makalah yang berkenaan dengan PENEGAKAN HUKUM HAM DI INDONESIA, oleh karena makalah ini diharapkan dapat menambah informasi
dan pengetahuan yang lebih sesuai dengan judul yang bersangkutan.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
penegakan hukum
HAM di Indonesia?
2. Kendala
dalam hukum penegakan HAM di Indonesia?
C. Tujuan
1. Agar
pembaca mengetahui apa yang dimaksud dengan penegakan hukum HAM .
2. Agar
pembaca mengetahui bagaimana penerapan yang benar tentang penegakan hukum HAM
3. Agar
pembaca mengetahui apa saja kemungkinan yang berpotensi menjadi kendala dalam penegakan
hukum HAM .
II. PEMBAHASAN
A.
Pengertian apa yang dimaksud dengan penegakan hukum HAM.
Penegakan hukum sengaja
diterapkan, dilakukan dengan tujuan
agar hukum itu
memiliki peran dan menjadi lebih
berwibawa, oleh karena itu negara mengaturnya melalui undang-undang kepada siapa saja yang memiliki
kewenangan melekat atau kewenangan
karena pendelegasian.
Penegakan hukum adalah proses
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan
oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum
itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu dengan mendasarkan diri pada
norma aturan hukum yang berlaku,
berarti dia menjalankan
atau menegakkan aturan hukum.
Dalam arti sempit , dari segi subjeknya
itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur
penegakan hukum tertentu untuk
menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum
itu diperkenankan untuk
menggunakan daya paksa (Philipus M, Hadjon,1994:5).[1]
Melihat fakta dilapangan
atau yuridis empiris dapat diketahui bahwa aparatur kita cenderung melakukan
pelanggaran HAM didalam melakukan tindakan represif, artinya bahwa petugas yang berperan dalam penegakan
hukum telah melampaui dari batasan-batasan yang seharus tidak
dilakukan.
Terdapat banyak batasan tentang hak asasi manusia, Hendarmin
Ranadireksa(2002:139) memberikan definisi tentang hak asasi manusia pada
hakekatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga
negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga negara oleh
negara. Artinya ada
pembatasan-pembatasan tertentu yang diberlakukan pada negara agar hak
warga negara yang paling hakiki terlindung dari kesewenang-wenangan kekuasaan.[2]
Definisi Hak-Hak
Asasi.Mengatakan bahwa
asas hak-hak asasi manusia pada taraf
domestik dan internasional
diterima secara luas bukan berarti mengatakan bahwa
sifat dari hak-hak semacam itu atau
ruang lingkup substantif mereka - yakni
definisinya, disetujui sepenuhnya. Sebagian dari masalah-masalah paling dasar belum menerima jawaban yang final. Apakah hak-hak
asasi manusia akan dipandang sebagai pemberian hak ilahi, moral, atau hukum;
apakah hak-hak asasi akan disahkan dengan intuisi, kebiasaan, teori kontrak sosial,
asas keadilan dis-tribusi, atau sebagai prasyarat bagi kebahagiaan; apakah
hak-hak asasi akan dianggap tidak dapat ditarik kembali atau dapat ditarik kembali sebagian;
apakah hak-hak asasi akan luas atau terbatas dalam hal jumlah dan isi isu-isu
ini dan yang sama merupakan bahah perdebatan yang terus-menerus dan cenderung akan
tetap de-mikian selama ada pendekatan-pendekatan yang bertentangan ter-hadap ketertiban
umum dan langkanya sumberdaya. Alam.Tetapi kendatt terdapat
kurangnya konsensus ini, sejumlah postulat yang diterima secara luas dan saling
berhubungan tampaknya membantu, jika bukan menyelesaikan, tugas pendefinisian
hak-hak asasi manusia. Lima postulat terutama menonjol, meski patut di-catat
bahwa hal ini pun bukan tanpa kontroversi. Pertama, lepas dari
asal-usul atau pembenaran postulat tersebut yang terakhir, hak-hak asasi
manusia dipahami sebagai mewakili tuntutan individual dan kelompok bagi pembentukan dan
pem-bagian kekuasaan,
kekayaan, pencerahan, dan nilai-nilai lain yang berharga dalam proses komunitas, terutama nilai penghormatan dan kesabaran bersama dalam pencarian semua nilai
yang lain. Akibatnya, hak-hak asasi itu mengimplikasikan tuntutan terhadap pribadi-pribadi
dan lembaga-lembaga yang menghalangi realisasi dan tolok ukur
untuk menilai legitimasi dari hukum dan tradisi. Pada dasarnya, hak-hak asasi
manusia membatasi kekuasaan negara.
Kedua,
dengan mencerminkan berbagai keadaan lingkungan. pandangan-pandangan dunia yang berbeda, dan saling ketergan-tungan yang
tidak dapat dihindari di dalam dan di antara proses-proses nilai,
hak-hak asasi manusia mengacu kepada suatu kontinum dari tuntutan nilai yang luas, mulai dari yang paling dapat diadili hingga yang paling mengandung aspirasi. Generasi Pertama. Generasi
pertama berupa hak-hak sipil dan politik berasal terutama dari teori-teori reformis abad ketujuh belas dan kedelapan belas yang dikemukakan di atas, yang berkaitan dengan revolusfrevolusi Inggris,
Amerika, dan Prancis.
Dunfus dengan filosofi politik dari individualisme liberal dan doktrin ekonomi dan
sosial laissez-faire, generasi pertama mengartikan hak-hak asasi
manusia dengan isti-lah-istilah yang lebih bersifat negatif ("bebas
dari") daripada positif ("hak atas"); geherasi pertama
lebih suka abstensi daripada in-tervensi pemerintah dalam pencarian martabat
manusia, seperti dilambangkan
oleh pernyataan H. L. Mencken bahwa
"semua pemerintah, tentu saja, menentang kebebasan."
Dengan demikian, termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak-hak asasi yang dituntut
seperti itu yang diuraikan dalam Pasal 2-21 Deldarasi Universal
Hak-hak Asasi Manusia, termasuk kebebasan dari bentuk-bentuk
diskriminasi dan rasial yang
setara; hak atas kehidupan, kebebasan, dan keamanan pribadi;
kebebasan dari perbudakan atau kerja palcsa; kebebasan dari penganiayaan dan
dari perlakuan atau hukuman
yang kejam, tidak manusiawi, atau nierendahkan martabat; kebebasan dari penangkapan yang
sewenang-wenang, penahan-an,
atau pengasingan; hak atas peradilan yang adil dan terbuka; kebebasan dari campur tangan dalam
privasi dan korespondensi; kebebasan
untuk pindah dan bertempat tinggal; hak suaka dari penindasan; kebebasan berpikir, berhati nurani, dan
beragama; kebebasan berpendapat
dan berekspresi; kebebasan berkumpul dan berhimpun secara damai; dan hak untuk berpartisipasi
dalam pemerintah, secara
langsung atau melalui pemilihan-pemilihan yang bebas. Termasuk juga di dalamnya
adalah hak untuk memiliki harta dan hak seseorang untuk tidak dirampas hartanya
secara sewenang-wenang,
masing-masing fundamental bagi kepentingan-kepenting-an yang diperjuangkan dalam revolusi Amerika dan
Prancis serta bagi bangkitnya kapitalisme. Tentu saja, akan merupakan kesalahan bila
menyatakan bahwa hak-hak
asasi generasi pertama ini dan yang lain sepenuhnya sesuai dengan ide hak-hak "negatif"
yang berlawanari dengan hak-hak "positif." Hak atas keamanan pribadi, atas suatu peradilan yang
adil dan terbuka, atas
suaka dari penindasan, dan atas pemilihan yang bebas, misalnya, tidak dapat
dipastikan secara nyata tanpa suatu tindakan positif dari pemerintah. Tetapi
yang tetap di dalam konsepsi
generasi pertama ini adalah. gagasan mengenai kebebasan, suatu perisai yang melindungi individu,
sehdirian, dan dalam asosiasi
dengan yang Iain-lain, dari penyelewehgan dan penyalahgunaan otoritas politik. Ini merupakan nilai
sentralnya. Ditonjolkan dalam hampir setiap konstitusi dari negara-negara yang kini berjumlah sekitar 160, dan mendominasi sebagian
besar deklarasi dan kovenan internasidnal
yang disetujui sejak Perang Dunia II, konsepsi hak-hak asasi manusia yang pada pokoknya bersifat
Barat ini kadang-kadang
diromantiskan sebagai kejayaan pengikut aliran individual-isme Hobbes-Locke atau paham kenegaraan
Hegel. Generasi Kedua. Generasi kedua berupa hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya berasal terutama
dari tradisi sosialis yang terdapat di antara kaum Saint-Simon di Prancis awal abad kesembilan
belas dan dicanangkan dengan
berbagai eara oleh perjuangan-perjuangan revolusioner dan gerakan kesejahteraan
sejak itu. Pada umumnya, hal ini merupakan suatu tanggapan terhadap
penyelewengan dan penyalahgunaan pembangunan kapitalis dan konsepsi kebebasan individual yang mendasarinya,
yang pada pokoknya tidak menentukan, yang mentolerir, bahkan mengesahkan, eksploitasi kelas
pekerja dan rakyat-rakyat
daerah jajahan. Menurut sejarah, hal ini merupakan titik-balik terhadap generasi pertama hak-hak
sipil dan politik, dengan hak-hak
asasi manusia dipahami lebih dalam istilah-istilah yang positif ("hak-hak atas")
daripada negatif ("kebebasan dari"), yang mensyaratkan intervensi, bukan abstensi negara,
daripada negara dengan
tujuan untuk memastikan partisipasi yang merata dalam prpduksi dan distrihusi nilai-nilai yang dikandung.
Uustratif adalah hak-hak asasi yang dituntut yang diuraikati dalam
Pasal 22^27 Deklarasi Universal
Hak-hak Asasi Manusia, seperti hak atas jaminan sosial; hak atas pekerjaan dan
proteksi terhadap penganggurari; hak untuk beristirahat dan bersenang-senang, termasuk
hari-hari libur perio-dik
yang dibayar; hak atas standar hidup yang layak bagi kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarga; hak
atas pendidikan; dan hak atas
perlidungan produk ilmiah, kesusasteraan, dan kesenian dari seseorang. Sekalipun demikian, seperti halnya semua hak
dicakup oleh generasi
pertama yaitu hak-hak sipil dan politik tidak dapat disebut dengan tepat sebagai "hak-hak
negatif," demikian pula semua hak asasi yang dicakup oleh generasi kedua yaitu
hak-hak ekonomi, sosial,
dan budaya tidak dapat dengan tepat diberi label "hak-hak positif."
Hak memilih pekerjaan dengan bebas, hak untuk memben-tuk dan bergabung dengan serikat buruh, dan hak
berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan budaya dari komunitas, misalnya,
tidak secara inheren mensyaratkan tindakan pemerintah yang positif untuk menikmatinya. Meskipun
begitu, sebagian besar hak-hak asasi generasi kedua tidak membutuhkan intervensi negara dalam alokasi
sumberdaya karena hak-hak itu menggolongkan permintaan lebih kepada materi daripada kepada nilai-nilai
yang tidak dapat diraba
berdasarkan kriteria keadilan distribusi. Hak-hak asasi generasi kedua, pada
dasarnya, adalah tuntutan bagi persamaan sosial. Tetapi, sebagian karena relatif terlambat datangnya
pengaruh sosialis-komunis
dalam bidang normatif masalah-masalah internasional, maka internasionalisasi hak-hak asasi ini agak
terlambat; tetapi dengan
meningkatnya kekuatan Dunia Ketiga di tingkat global, sungguh-sungguh merupakan suatu "revolusi
harapan yang meningkat," hak-hak asasi itu telah mulai dewasa. Generasi Ketiga. Akhirnya, hak-hak asasi generasi ketiga, saling menghubungkan, dan mengkonseptualisasikan kembali
tuntutan-tuntutan nilai yang dan
sosial mereka, maka juga dapat dikatakan merupakan hak asasi perorarigan dari semua pribadi untuk
memperoleh manfaat dari suatu
kebijakan pembangunah berdasarkan pemuasan kebutuhan manusia yang materiil dan nonmateriil. Demikian
juga, walaupun hak atas
penentuan nasib sendiri dan hak atas bantuan kemanusiaan, misalnya, mendapatkan ekspresi pada
bidang hukum maupun moral, mayoritas hak-hak sdlidaritas ini cenderung lebih
bersifat aspirasi daripada
dapat diadili, yang hingga kini menikmati status hukum yang tidak jelas sebagai norma hak-hak asasi
manusia internasional. Dengan
demikian,'pada berbagai tahapan sejarah modern --dari revolusi "borjuis" abad ketujuh betas
dan kedelapan belas, revoliisi sosialis dan Marxis di awal abad kedua puluh, dan revolusi-revolusi antikolonialis yang dimulai segera sesudah Perang Dunia II isi hak-hak asasi manusia didefinisikan
secara umum, bukan dengan dugaan
bahwa hak-hak asasi yang berkaitan dengan satu generasi akan atau seharusnya menjadi usang
ketika muncul yang lain, melainkan karena ekspansi atau melengkapi. Mencerminkan persepsi-persepsi yang berubah yang nilai-nilainya, pada
masa-masa yang berlainan, sangat
membutuhkan dorongan dan proteksi, maka sejarah isi hak-hak asasi manusia juga mencerminkan
tuntutan umat manusia yang berulang-ularig
akan kontinuitas dan stabilitas.[3]
Hak-hak asasi
manusia dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (1945) berawal
dengan penegasan kembali
suatu "kepercayaan terhadap hak-hak asasi manusia, terhadap martabat dan nilai pribadi
manusia, pada hak-hak asasi yang sama dari laki-laki dan perempuan serta dari bangsa-bangsa yang besar dan kecil." Piagam itu
menyatakan bahwa tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, antara lain, "untuk mengembangkan hubungan-hubungan
antarbangsa yang bersahabat berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib
sendiri dari rakyat ...
[dan] untuk mencapai kerja sama intemasional ... dalam mencanangkan serta, mendorong penghormatan
terhadap hak-hak asasi
manusia dan terhadap kebebasan yang fundamental bagi semua tanpa membedakan ras, seks, bahasa,
atau agama...." Dan, dalam dua pasal kunci, semua anggota "berjanji untuk bertindak bersama dan sendiri-sendiri dengan bekerja sama
dengan Organisasi ini". Tentu saja, rintangan-rintangan yang berat
menyertai upaya para pembuat
kebijakan, para aktivis, dan para pengkaji hak-hak asasi manusia. Implementasi
hukum hak-hak asasi manusia internasional sebagian besar tergantung pada
persetujuan bangsa-bangsa sukarela; mekanisme untuk penataan dan pemberlakuan
hak-hak asasi manusia masih
dalam tahap masa pertumbuhan. Sungguhpun demikian, per-hatian yang gamblang terhadap kemajuan hak-hak
asasi manusia pasti terdapat
di sini, karena kebutuhan maupun idealisme. Seperti pernah ditulis oleh pemenang Nobel dan pembangkang
politik Andrey Sakharov
dari pengasingannya di dalam negeri Uni Soviet: Ideologi hak-hak asasi manusia barangkali
merupakan satu-satunya ideologi
yang dapat dikombinasikan dengan ideologi-ideologi yang sangat beraneka ragam seperti komunisme,
demokrasi sosial, agama,
teknokrasi dan ideologi-ideologi yang dapat digambarkan ber-sifat nasional dan pribumi. Ideologi
itu juga dapat berfungsi sebagai tumpuanbagi mereka yang
telah muak dengan banyaknya ideologi, yang tidak satu pun membawa kebahagiaan manusia yang seder-hana. Pembelaan terhadap hak-hak asasi
manusia merupakan jalan kecil yang bersih menuju penyatuan rakyat dalam dunia
kita yang rusuh, dan merupakan
sebuah jalan kecil menuju pembebasan dari penderitaan.[4]
Selama tindakan penegakan hukum itu dilakukan sesuai dengan aturan atau standart
operational procedure (SOP) dan ketentuan yang berlaku maka aparat penegak
hukum tidak perlu takut untuk memberikan
suatu tindakan yang dapat memberikan effect
deterent (efek jera) terhadap para pelaku
kriminal.
Hak asasi manusia menempati posisi yang penting dalam konsepsi hukum pidana
Islam. Ancaman pidana yang tegas terhadap pelaku kejahatan tidak bisa dikatakan
sebagai suatu pelanggaran HAM. Adanya tuduhan bahwa sanksi yang tegas itu
melanggar HAM, perlu diperjelas dengan satu uraian. Sekali lagi, penting
dicatat bahwa ancaman yang keras bagi para pelaku mengandung hikmah yang besar.
Yang penting bagi si terpidana sendiri
adalah membangkitkan kesadaran bahwa tindaknnya keliru. Bahkan jatuhnya pidana
itu bisa menghapus sanksi yang jauh lebih keras di akhirat. Tentu saja konsep
ini tidak bisa dipahami oleh hukum Barat yang sekuler. Bagi umat Islam, setiap
hak harus dikembalikan kepada dua sumber rujukannya yaitu Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Jadi hak asasi manusia menemukan landasan yang kuat dalam hukum
Islam. Dalam Islam, semakin manusia tunduk kepada Allah dan hanya mengabdi
kepada-Nya, semakin bebas ia dari
penghambaan kepada manusia lain
atau makhluk Tuhan lainnya.Dengan mengatakan Allahu Akbar (Allah Mahabesar), ia menutup pintu dari semua
penghambaan. Ini berarti menyatakan dan menegaskan bahwa pada dasarnya dirinya
adalah bebas. Dalam hukum Islam, hak-hak fundamental tidak diciptakan
oleh manusia tetapi hanya dapat dibuat menjadi terang. Hak-hak
tersebut diturunkan secara tidak
langsung dari nilai dasarnya bahwa ia adalah hamba Allah. Dengan demikian, ia
tidak menghamba kepada yang lain. Ia
bebas.[5]
Telah diketahui bersama
bahwa sejak manusia lahir, manusia telah memiliki hak dasar dan hak-haknya tersebut, dijamin dan
dilindungi oleh Undang-Undang. Negara
menjamin setiap warga negaranya dalam memperoleh dan melaksanakan hak-haknya,
Ketentuannya di dalam menjalankan hak alamiahnya asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan
hak alamiahnya dilindungi oleh negara.
Apabila didalam menjalankan hak-haknya terlalu berlebihan dan masuk
dalam kriteria kriminal dengan sangat tegas aparatur berkewajiban
menegakan hukum negara secara absolut.
Ungkapan “hak-hak asasi manusia” relatif baru, yang baru memasuki bahasa sehari-hari sejak Perang
Dunia II dan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945. Ungkapan
ini mengartikan istilah”hak-hak alamiah”,
yang menjadi kurang disukai
sebagaian karena konsep hukum
alam (yang berkaitan erat dengannya telah
menjadi masalah kontroversi yang besar, dan ungkapan “the
rights of Man” yang muncul kemudian, yang
tidak secara universal dianggap mencakup hak-hak kaum wanita dikutip dari Burns
H.Weston.[6]
Pengertian hak asasi manusia sering dipahami sebagai hak kodrati yang
dibawa oleh manusia sejak manusia lahir
ke dunia. Pemahaman terhadap hak asasi yang demikian ini merupakan pemahaman
yang sangat umum dengan tanpa membedakan secara akademik hak-hak dimaksud
serta tanpa mempersoalkan asal-usul atau
sumber diperolehnya hak tersebut.[7]
MPR yang memiliki wewenang menetapkan UUD telah mengamandemen UUD 1945
tahun 2000 dan telah mencantumkan dengan tegas tentang Hak-hak Asasi Manusia
(HAM dalam bab tersendiri dengan rinci dalam 10 pasal, yaitu Pasal 28A-28J.
Dengan demikian hak asasi manusia secara
konstitusif telah diakui sejak
berdirinya negara. Perkembangan yang cukup
signifikan bersamaan dengan pergantian pemerintahan adalah Ketetapan MPR
RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah
menghasilkan Ketetapan instrumen mengenai HAM. Perkembangan instrumen HAM yang cukup penting pada masa
Orde Baru adalah Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, tentang Pembentukan
Komnas HAM. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia(Komnas HAM) yaitu suatu lembaga mandiri yang kedudukannya
setingkat dengan lembaga negara lainnya
yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, pemantauan dan mediasi hak
asasi manusia. Komisi HAM didrikan dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi
yang kondusif bagi pelaksanaan HAM di Indonesia, serta meningkatkan perlindungan dan penegakan Hak
Asasi Manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 Pasal 89, Komnas HAM memiliki fungsi untuk melaksanakan pengkajian,
penyuluhan, serta mediasi mengenai HAM di Indonesia. Dalam pelaksanaan fungsi
pemantauan, Komnas HAM berwenang melakukan: a. Pengamatan pelaksanaan HAM dan
penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut; b. Penyelidikan dan pemeriksaan
terhadap peristiwa yang timbul dalam
masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga ada pelanggaran
HAM-nya; c. Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban, maupun pihak yang
diadukan, untuk dimintai atau didengar keterangannya; d. Pemanggilan saksi
pengadu dimintai menyerahkan semua bukti yang diperlukan; e.Peninjauan di
tempat kejadian dan di tempat lainnya yang dianggap perlu; f. Pemanggilan pihak
terkait untuk memberikan keterangan
secara tertulis atau menyerahkan
dokumen yang diperlukan sesuai
dengan aslinya, dengan disertai persetujuan
Ketua Pengadilan; g. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan,
bangunan dan tempat-tempat lainnya yang
diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua
Pengadilan; h.Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang
diproses peradilan. Bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran HAM, baik dalam masalah
publik maupun dalam acara pemeriksaan oleh pengadilan kemudian pendapat Komnas
HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.[8]
Mengenai fungsi mediasi yaitu
penyelesaian perkara perdata di luar pengadilan atas dasar kesepakatan para pihak, merupakan fungsi baru
yang mencakup kewenangan serta tugas
dalam melakukan: a. Perdamaian kedua belah pihak; b. Penyelesaian perkara
melalui cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli; c. Pemberian saran kepada para
pihak untuk menyelesaikan sengketa
melalui pengadilan; d. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak
asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindak lanjuti; e. Penyampaian
rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada DPR-RI untuk
ditindak lanjuti.[9]
B.
Bagaimana penegakan hukum HAM di Indonesia
Penegakan Hak Asasi
Manusia (HAM) di Indonesia hingga saat ini masih mengecewakan. Dalam kurun 10
tahun terakhir, penegakan HAM tak kunjung menunjukkan perbaikan. Hampir
semua kasus berat, dari 27 Juli dan Mei 1998, sampai
sekarang tidak berani disentuh pemerintah. Kasus-kasus ini ada di Kejaksaan
Agung, Jaksa Agung berada di bawah Presiden, tidak berani ungkap kasus-kasus
ini, kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim di acara Silaturahmi Aktivis
Pro-Demokrasi di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, Sabtu (10/9/2011). Dijelaskannya, pemerintah justru
terkesan ragu melakukan pengusutan kasus-kasus dalam ranah HAM. "Upaya
mengulur waktu dan kasus ini tidak pernah diselesaikan di pengadilan. Ada
keraguan pemerintah sekarang ini, boleh kita katakan tidak ada prestasi dalam
penegakan HAM, baik di pengadilan maupun di luar
pengadilan," terangnya. Dikatakannya,
korban Mei 1998 hampir 200 kali melakukan aksi di depan Istana, namun tidak
digubris. “Ini gambaran kita tidak berhasil membangun aturan hukum yang kuat.
Penegakan hukum pelanggaran HAM sama dengan pemberantasan korupsi, selalu
terkait dengan kekuasaan," pungkasnya. Penggelaran Aksi ribuan mahasiswa yang berunjuk
menolak Sidang Istimewa MPR yang membahas perhelatan pemilu pasca lengsernya
Soeharto (13/11/1998) hingga saat ini menyita perhatian publik. Masyarakat
mengenal tragedi tersebut dengan tragedi semanggi I. Dimana, mahasiswa berunjuk
rasa dihadang aparat keamanan di depan Kampus Unika Atma Jaya Semanggi, Jakarta
Selatan. Hari ini keluarga
korban, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak kekerasan (Kontras), serta Senat Fakultas Hukum dan Ekonomi Unika
Atmajaya mengenang 14 tahun tragedi tersebut dengan aksi tabur bunga di lokasi
penembakan salah satu mahasiswa Unika Atmajaya di pelataran parkir Gedung Unika
Atmajaya, Jalan Semanggi, Jakarta, Selasa (13/11/2012). Walaupun hujan cukup
deras, peserta aksi tetap melangkahkan kakinya untuk melakukan aksi tabur
bunga. Aksi tabur bunga juga terlihat cukup khidmat dilakukan oleh peserta
aksi.
Aktivis Kontras, Muhamad Daud, menilai presiden kurang tegas dalam menangani kasus tragedi Semanggi I. Selain itu, kata dia, Kejaksaan Agung terlalu permisif dalam menuntaskan kasus tersebut. "Seharusnya Jaksa Agung tanpa ada desakan lainya sesuai dengan hukum terutama dalam proses penyidikan, sudah harus berjalan tetapi, kenyataan berbeda dengan yang terjadi, ini membuktikan satu fenomena memang Kejaksaan Agung kebal tehadap hukum, Jaksa Agung ingkar terhadap hukum, jadi solusinya butuh suatu keberanian, dari seorang presiden," ujarnya.
Terlebih lagi, sambung dia, Jaksa Agung merupakan bawahan Presiden. Seharusnya, kasus tersebut dapat terselesaikan dengan jelas. "UU No.26 tahun 2000 pengadilan HAM spesifik pasal 43 ayat 2 presiden punya kewajiban hukum untuk membentuk keputusan presiden tentang pengadilan HAM Ad Hoc, jadi presiden memang dituntut berupaya ekstra keras sebagai suatu kesalah rezim dimasa lalu," terangnya.
Daud yang juga kuasa hukum aktivis 98 ini, mengatakan orang yang terlibat dalam tragedi tersebut justru saat ini mendapat posisi strategis di pemerintahan.
"Orang yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan di masa lalu dan atas hilangnya aktivis 98, insiden Trisakti tapi ketiadaan dalam proses hukum seperti Sjafrie Sjamsoedin, saat ini menjadi wakil Menhan. Bahkan, ada pejabat-pejabat lain yang mungkin kita tidak tahu bermasalah, pada tahun lalu menempati posisi strategis di pemerintahan saat ini, justru ini akan menghambat upaya kedepan," paparnya. Sebenarnya, dalam konteks orang yang terlibat dalam tragedi pelanggaran HAM, kata dia, untuk dijadikan tersangka, Komnas HAM yang menentukan. "Komnas intinya menemukan pelanggaran HAM terberat untuk dijadikan tersangka ini ada di Kejaksaan Agung dengan mulai penyidikan karena penyidikan itu upaya Jaksa Agung sebagai penyidik untuk membuat kasus tersebut menjadi terang, untuk menetapkan tersangka, menyita barang bukti menangkap pelaku, sementara kita tahu Jaksa Agung sampai saat ini belum mampu melakukan penyidikan," tutur dia.
Lebih lanjut, kata dia, para aktivis 1998 dan keluarga korban Semanggi menolak mantan Presiden Soeharto dijadikan pahlawan nasional. Karena menurutnya Soeharto meninggal dalam ketidakpastian hukum. "Statusnya sendiri belum jelas, Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), sampai Soeharto meninggal belum pernah diseret di pengadilan," imbuhnya."Apalagi Soeharto punya kesalahan di masa lalu seperti terlibat, dalam kasus pelanggaran berat atau korupsi misalnya," tutupnya. Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957 menolak usulan Komisi Nasional (Komnas) HAM dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ingin mengungkap kembali kasus pelanggaran HAM tahun 1965.
Ketua DPP Kosgoro 1957, Leo Nababan, menilai hal tersebut bertolak belakang dengan peraturan TAP MPRS RI No.XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI masih berlaku hingga saat ini. "Kenapa? Karena sampai saat ini TAP MPRS tentang PKI masih dilarang di republik ini," tegas Leo, Senin (20/8/2012) malam.
Leo khawatir jika ini kasus tersebut kembali diungkap, maka akan terjadi konflik horizontal di tengah masyarakat. Hal ini disebabkan, jutaan rakyat Indonesia siap untuk membela Pancasila, karena masih ada aturan tentang pelarangan terhadap PKI tersebut. "Ini akan membuat konflik horizontal di tengah masyarakat. Kenapa? Bayangkan kalau kasus ini dibuka, jutaan orang akan siap untuk membela Pancasila. Ada 127 ormas anti Pancasila saat, dibawah pimpinan Kosgoro MKGR, dan ormas lainnya, Pemuda Pancasila. Terutama di garda terdepan adalah Nahdlatul Ulama, yaitu melalui GP Anshor," paparnya. Saat ditanya, apakah ini mengartikan ada upaya penutupan sejarah, Leo menjawab itu bukan sekedar sejarah, tapi lebih mementingkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Mana yang kau pilih?! Penutupan sejarah atau negara ini bubar?! Saya memilih negara NKRI harus tetap. Anda bayangkan, GP Anshor sudah bicara seminggu lalu. Tidak ada urusan penutupan sejarah, daripada negara ini bubar," terangnya.
Wakil Sekjen Partai Golkar tersebut meminta, kepada Komnas HAM, agar tidak bertindak terlalu jauh, karena dapat mengakibatkan kehancuran bagi Indonesia, walaupun dia tahu Komnas HAM bersifat independen.
"Saya lebih cinta negara ini. Saya ingatkan sekali lagi, boleh kita berbicara tentang teori-teori di bangsa ini, tetapi tidak menghancurkan NKRI. Artinya adalah NKRI ini harus segala-galanya, dan untuk itu saya minta jangan bicara sembarangan," simpulnya. Politisi Golkar ini mengatakan akan mengambil sikap tegas dan mengambil posisi sebagai anti-anti komunis. Leo mengaku gerakan-gerakan di bawah masyarakat siap menghadapi hal tersebut, termasuk Kosgoro 1957. "Saya tidak memikirkan itu. Saya lebih memikirkan keutuhan NKRI daripada itu," tutupnya.
Aktivis Kontras, Muhamad Daud, menilai presiden kurang tegas dalam menangani kasus tragedi Semanggi I. Selain itu, kata dia, Kejaksaan Agung terlalu permisif dalam menuntaskan kasus tersebut. "Seharusnya Jaksa Agung tanpa ada desakan lainya sesuai dengan hukum terutama dalam proses penyidikan, sudah harus berjalan tetapi, kenyataan berbeda dengan yang terjadi, ini membuktikan satu fenomena memang Kejaksaan Agung kebal tehadap hukum, Jaksa Agung ingkar terhadap hukum, jadi solusinya butuh suatu keberanian, dari seorang presiden," ujarnya.
Terlebih lagi, sambung dia, Jaksa Agung merupakan bawahan Presiden. Seharusnya, kasus tersebut dapat terselesaikan dengan jelas. "UU No.26 tahun 2000 pengadilan HAM spesifik pasal 43 ayat 2 presiden punya kewajiban hukum untuk membentuk keputusan presiden tentang pengadilan HAM Ad Hoc, jadi presiden memang dituntut berupaya ekstra keras sebagai suatu kesalah rezim dimasa lalu," terangnya.
Daud yang juga kuasa hukum aktivis 98 ini, mengatakan orang yang terlibat dalam tragedi tersebut justru saat ini mendapat posisi strategis di pemerintahan.
"Orang yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan di masa lalu dan atas hilangnya aktivis 98, insiden Trisakti tapi ketiadaan dalam proses hukum seperti Sjafrie Sjamsoedin, saat ini menjadi wakil Menhan. Bahkan, ada pejabat-pejabat lain yang mungkin kita tidak tahu bermasalah, pada tahun lalu menempati posisi strategis di pemerintahan saat ini, justru ini akan menghambat upaya kedepan," paparnya. Sebenarnya, dalam konteks orang yang terlibat dalam tragedi pelanggaran HAM, kata dia, untuk dijadikan tersangka, Komnas HAM yang menentukan. "Komnas intinya menemukan pelanggaran HAM terberat untuk dijadikan tersangka ini ada di Kejaksaan Agung dengan mulai penyidikan karena penyidikan itu upaya Jaksa Agung sebagai penyidik untuk membuat kasus tersebut menjadi terang, untuk menetapkan tersangka, menyita barang bukti menangkap pelaku, sementara kita tahu Jaksa Agung sampai saat ini belum mampu melakukan penyidikan," tutur dia.
Lebih lanjut, kata dia, para aktivis 1998 dan keluarga korban Semanggi menolak mantan Presiden Soeharto dijadikan pahlawan nasional. Karena menurutnya Soeharto meninggal dalam ketidakpastian hukum. "Statusnya sendiri belum jelas, Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), sampai Soeharto meninggal belum pernah diseret di pengadilan," imbuhnya."Apalagi Soeharto punya kesalahan di masa lalu seperti terlibat, dalam kasus pelanggaran berat atau korupsi misalnya," tutupnya. Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957 menolak usulan Komisi Nasional (Komnas) HAM dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ingin mengungkap kembali kasus pelanggaran HAM tahun 1965.
Ketua DPP Kosgoro 1957, Leo Nababan, menilai hal tersebut bertolak belakang dengan peraturan TAP MPRS RI No.XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI masih berlaku hingga saat ini. "Kenapa? Karena sampai saat ini TAP MPRS tentang PKI masih dilarang di republik ini," tegas Leo, Senin (20/8/2012) malam.
Leo khawatir jika ini kasus tersebut kembali diungkap, maka akan terjadi konflik horizontal di tengah masyarakat. Hal ini disebabkan, jutaan rakyat Indonesia siap untuk membela Pancasila, karena masih ada aturan tentang pelarangan terhadap PKI tersebut. "Ini akan membuat konflik horizontal di tengah masyarakat. Kenapa? Bayangkan kalau kasus ini dibuka, jutaan orang akan siap untuk membela Pancasila. Ada 127 ormas anti Pancasila saat, dibawah pimpinan Kosgoro MKGR, dan ormas lainnya, Pemuda Pancasila. Terutama di garda terdepan adalah Nahdlatul Ulama, yaitu melalui GP Anshor," paparnya. Saat ditanya, apakah ini mengartikan ada upaya penutupan sejarah, Leo menjawab itu bukan sekedar sejarah, tapi lebih mementingkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Mana yang kau pilih?! Penutupan sejarah atau negara ini bubar?! Saya memilih negara NKRI harus tetap. Anda bayangkan, GP Anshor sudah bicara seminggu lalu. Tidak ada urusan penutupan sejarah, daripada negara ini bubar," terangnya.
Wakil Sekjen Partai Golkar tersebut meminta, kepada Komnas HAM, agar tidak bertindak terlalu jauh, karena dapat mengakibatkan kehancuran bagi Indonesia, walaupun dia tahu Komnas HAM bersifat independen.
"Saya lebih cinta negara ini. Saya ingatkan sekali lagi, boleh kita berbicara tentang teori-teori di bangsa ini, tetapi tidak menghancurkan NKRI. Artinya adalah NKRI ini harus segala-galanya, dan untuk itu saya minta jangan bicara sembarangan," simpulnya. Politisi Golkar ini mengatakan akan mengambil sikap tegas dan mengambil posisi sebagai anti-anti komunis. Leo mengaku gerakan-gerakan di bawah masyarakat siap menghadapi hal tersebut, termasuk Kosgoro 1957. "Saya tidak memikirkan itu. Saya lebih memikirkan keutuhan NKRI daripada itu," tutupnya.
Dalam
kurum waktu satu tahun dari pertengahan tahun 2011 hingga September 2012,
setidaknya ada 40 kasus pelanggaran HAM oleh polisi yang diabaikan dan tidak
diusut dengan tuntas. Menurut Kepala Divisi
Hukum Politik dan HAM Kontras, Sinung Karto, 40
kasus pelanggaran HAM oleh polisi, para korban sudah didampingi KontraS selalu
diabaikan. Selain itu, ada beberapa model tindakan pelanggaran HAM yang kerap
terjadi dari tahun ke tahun.
"Diantara korban adalah rekayasa kasus pada kelompok
petani dan minoritas keagamaan seperti penggusuran pasar raya padang (2011),
kasus Tiaka Morowali juga jemaat gereja baptis papua (2011), Kongres Rakyat
Papua III (2011) serta kejadian syiah sampang (2012), dan Serikat Pekerja
Indonesia (2012)," kata Sinung, di Gedung KPK, Minggu (7/10/2012). Sinung mengatakan, trend kasus kekerasaan ini mengarah kepada
sejumlah kasus dan rekayasa individual, seperti kasus Koh Seng S2, Aguswandi
Tanjung, Enny Umbas, Paulus Demo Kotan. Kriminalisasi ini, kata dia, biasanya
juga diikuti dengan sejumlah praktik pelanggaran HAM seperti penangkapan
sewenang-wenang, penyiksaan, dan intimidasi penembakan hingga menimbulkan
korban jiwa.
Dalam praktik pengabaian polisi, kata dia, dapat dilihat dari kasus pembubaran beberapa lokasi acara penyerangan Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Jemaat HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin (2011-2012), pemutaran Film Q Festival (2011), kekerasan geng motor ( 2012), pembubaran diskusi Irsyad Manji (2012), penyerangan kelompok Syiah di Sampang (2012) dan yang terbaru adalah pembiaran ancaman kekerasan terhadap aktivis Kontras Papua, Holga Hamadi SH (Oktober 2012). "Dalam kasus ini, biasanya aparat polisi tidak mampu merespons aksi kekerasan yang dilakukan oleh organisasi keagamaaan yang menggunakan kekerasan sebagai advokasinya," tuturnya.
Dalam praktik pengabaian polisi, kata dia, dapat dilihat dari kasus pembubaran beberapa lokasi acara penyerangan Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Jemaat HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin (2011-2012), pemutaran Film Q Festival (2011), kekerasan geng motor ( 2012), pembubaran diskusi Irsyad Manji (2012), penyerangan kelompok Syiah di Sampang (2012) dan yang terbaru adalah pembiaran ancaman kekerasan terhadap aktivis Kontras Papua, Holga Hamadi SH (Oktober 2012). "Dalam kasus ini, biasanya aparat polisi tidak mampu merespons aksi kekerasan yang dilakukan oleh organisasi keagamaaan yang menggunakan kekerasan sebagai advokasinya," tuturnya.
Pemerintah
dinilai belum serius menyikapi kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
berat seperti tragedi Semanggi. Bahkan, kasus tersebut hanya mandek di
Kejaksaan Agung. "Punggawa
hukum kita dari Kejaksaan Agung, hampir 10 tahun bukan menindaklanjuti
penyidikan, sikap tersebut menunjukan suatu realita yang ingkar dan
bebal," ujar Daud, aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
kekerasan (Kontras) saat konferensi pers tragedi Semanggi I di Gedung
Universitas Katolik Atmajaya, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa
(12/11/2012). Menurutnya, kasus
Semanggi I masih dipertanyakan. "Banyak penegakan hukum dalam menangani
kasus Trisakti dan Semanggi belum diperhatikan. Harus jadi acuan presiden.
Sistem keadilan belum sempurna, presiden harus tegas dan Kejaksaan Agung untuk
menindaklanjuti," tuturnya.
Konferensi pers memperingati tragedi semanggi I ini dihadiri oleh keluarga korban dari Wawan, mahasiswa yang tertembak di Gedung Unika Atmajaya.
Selain itu, ikut hadir juga para aktivis 98, Senat Fakulta Hukum dan Fakultas Ekonomi Unika Atmajaya. Usai menggelar konferensi pers, dilanjutkan dengan aksi tabur bunga di pelataran parkir dimana lokasi tersebut tepat tertembaknya Wawan.
Konferensi pers memperingati tragedi semanggi I ini dihadiri oleh keluarga korban dari Wawan, mahasiswa yang tertembak di Gedung Unika Atmajaya.
Selain itu, ikut hadir juga para aktivis 98, Senat Fakulta Hukum dan Fakultas Ekonomi Unika Atmajaya. Usai menggelar konferensi pers, dilanjutkan dengan aksi tabur bunga di pelataran parkir dimana lokasi tersebut tepat tertembaknya Wawan.
Disamping kasus Timor Timur untuk kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi
di Tanjung Priok, Presiden Abdurrahman Wahid yang mkemudian dilanjutkan
dengan Presiden Megawati Soekarnoputri telah mengeluarkan dua keputusan Presiden (Keppres) yang
memerintahkan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc. Tahapan selanjutnya adalah
berkaitan dengan penugasan MPR kepada Presiden untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Penugasan
tersebut kemudian sempat ditindaklanjuti
oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan menerbitkan Keputusan
Presiden(Keppres) Nomor 53 Tahun 2001 tentang “Pembentukan Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakrta Pusat” pada tanggal 23 April 2001.
Pembentukan Keppres ini dilakukan sebagai
pelaksanaan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor
26 Tahun 2000 tentang “Pengadilan Hak Asassi Manusia”, yang menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi
sebelum berlakunya UU tersebut diperiksa
dan diputuskan oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam Keppres tersebut dinyatakan
bahwa pengadilan HAM yang dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut
berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi
di Timor Timur pascajajak pendapat dan yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun
1984. Belum sempat Keppres tersebut dilaksanakan, pada awal kepresidenan Megawati Soekarnoputri,
Keppres ini langsung mengalami revis,
dengan penerbitan Keppres Nomor 96 Tahun 2001 tentang “Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia
Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat”. Bagia yang mengalami penyempurnaan
tersebut adalah pasal 2, dengan maksud untuk lebih memperjelas tempat
dan waktu tindak pidana (locus dan tempus delicti) pelanggaran
HAM berat yang terjadi di Timor Timur
dan Tanjung Priok. [10]
C.
Kendala dalam hukum penegakan HAM di Indonesia
Kendala-kendala dalam
penegakan hukum HAM secara umum adalah adanya intervensi kekuasaan dan politik, kemudian kurangnya
pemahaman dan pengetahuan tentang hak asasi manusia (HAM) oleh aparatur negara
terutama aparat penegak hukumnya sendiri.
Untuk mewujudkan dan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia tidaklah
semudah menuliskan serta mengucapkannya. Hal ini disebabkan banyak hambatan dan
tantangan yang tidak lagi sebatas terorika, melainkan sudah menjadi realita
yang tidak dapat dihindari apalagi ditunda-tunda. Dalam penegakan HAM melalui
sistem hukum pidana yang telah berlaku di Indonesia terdapat kendala-kendala
atau hambatan yang bersifat prinsipil substansil dan klasik. Kendala-kendala dalam pelaksanaan HAM di
Indonesia antara lain:
a. Masih kurang pemahaman tentang HAM.
Banyak orang menangkap pemahaman HAM dari segi pemikiran
formal belaka. HAM hanya dilihat sebagaimana yang tertulis dalam
"Declaration of Human Rights" atau apa yang tertulis dalam
Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Namun, hakikat
pemahaman HAM harus dilihat sebagai suatu konsep yang bersifat multidimensi.
Sebab, dalam pemahaman HAM tertanam di dalamnya konsep dasar "Politik,
Hukum, sosiologi, filosofi, ekonomi dan realitas masyarakat masa kini, agenda
internasional, yurisprudensi analitis, yurisprudensi normatif, etika dan
estetika". Jika makna seperti ini dapat ditangkap melalui suatu proses
pembelajaran, pemahaman, penghayatan dan akhirnya diyakini, barulah kita dapat
menuju kepada suatu proses untuk menjadi HAM ini sebagai bagian dari Wawasan
Nasional. Bagian dari kebijakan nasional, menjadikan HAM sebagai strategi
nasional, program nasional dan konsistensi. Tetapi, jangan lupa bahwa HAM yang
formal ini adalah barang import.
b. Masih kurang pengalaman
Disadari atau tidak kita harus akui bahwa HAM sebagai
suatu konsep formal masih terasa baru di masyarakat kita. Kondisi ini mendorong
kita harus membina kerjasama dengan beberapa negara dalam mencari gagasan,
menciptakan kondisi yang kondusif, dan memberikan proteksi perlindungan HAM,
persepsi dan pemahaman bersama seperti ini perlu didorong dan ditegakkan.
Namun, kita harus hati-hati, khususnya dalam menjalin kerjasama dengan negara
lain. Sebab, forum kerjasama, forum konsultasi, dan berbagai kebijakan selalu
diboncengi kepentingan tertentu yang sering tidak terasa bahwa tujuan yang
hendak dicapai menjadi melenceng jauh dari tujuan yang semula diharapkan.
c. Kemiskinan
Kemiskinan adalah sumber kebodohan, oleh sebab itu harus
diperangi dan diberantas. Tema memberantas kemiskinan telah banyak dipersoalkan
di forum-forum nasional, regional dan internasional, tetapi hingga saat ini
belum ada solusinya. Bahkan, ide memberantas kemiskinan hanya mampu
memobilisasi masyarakat miskin tanpa menambah sepeser pun uang ke
kantong-kantong orang miskin. Dari segi HAM seolah-olah konvensi hak-hak sosial
dan ekonomi yang belum diratifikasi oleh Indonesia perlu diwujudkan.
d. Keterbelakangan;
Keterbelakangan ini adalah suatu penyakit yang bersifat
kultural dan struktural. Kultural karena sering sekelompok orang yang terikat
dalam satu budaya yang sama memiliki adat-istiadat yang sama dan ara berpikir
yang sama pula. Untuk mengatasi diperlukan proses pendidikan dan kebiasaan
menggunakan logika berpikir.
e. Pemahaman HAM masih terbatas dalam
pemahaman gerakan.
Untuk membangun HAM dalam masyarakat untuk menjaga
kerukunan berbangsa dan bernegara diperlukan: 1) adanya personil pemerintahan
yang berkualitas, 2) aparat pemerintah yang bermodal dan bertanggung jawab; 3)
terbangunnya publik opini yang sehat atau tersedia sumber informasi yang jelas,
4) terbangunnya suatu kelompok pers yang berani dan bebas dalam koridor menjaga
keutuhan bangsa dan negara, 5) adanya sanksi terhadap aparat yang melanggar
HAM, 6) tersedianya "bantuan hukum" (legal-aid) di mana-mana, 7)
terbentuknya jaringan aparat pemerintahan yang bersih, berwibawa sehingga
bersinergi.
Dalam memasuki abad ke -21 banyak tantangan besar yang
dihadapi dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia khususnya didalam
era Reformasi Hukum dan dapat dielaborasi kedalam tiga model lingkungan, yaitu:
1. Lingkungan yang memiliki
aspek-aspek nasional dan internasional. Kedua lingkungan tersebut berinteraksi secara simbiosis, mutualistis,
karena baik buruknya penegakan hukum di Indonesia dapat dipengeruhi oleh kedua
lingkungan tersebut.
2. Lingkungan strategis yang
memiliki aspek Internasional. Berkaitan langsung dengan
politik perdagangan global yang menempatkan negara selatan debagai tempat
pemasaran produk-produk global negara utara. Oleh karena itu, timbul tuntutan
untuk menciptakan iklim dan lingkungan dunia perdagangan serta usaha kondusif
dan sehat bagi hubungan perdagangan, baik bilateral ataupun multilateral.
Menghadapi tantangan lingkungan staregis yang bersifat Internasional pemerintah
Republik Indonesia telah melakukan kebijakan-kebijakan. Kebijakan –kebijakan
tersebut, yaitu penegakan GTO/WTO, melakukan penyusunan rancangan Undang-Undang
Arbitrase, undang-undak Kepailitan, telah melakukan serta revisi undang-undang
dalam bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), telah memberlakukan
Undang-undang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli (Competition Act),
serta sudah memberlakukan Undang-undang Perlindungan Konsumen (Consume’s) Undang –undang No.8 1998/1999.
3. Lingkungan strategis yang
memiliki aspek nasional. Dapat dipengaruhi oleh
kondisi sosial politik dan keamanan. Di dalamnya termasuk pembentukan hukum
yang aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat dan mendukung kehidupan politik
yang sehat. Hal tersebut juga disertai dan diperkuat oleh penegakan hukum yang
tegas konsisten dengan dilandasi asas kepastian hukum, asas proporsionalitas,
asas kedilan, dan asas mufakat.
Kebijakan pemerintah menghadapi tantangan lingkungan
strategis yang bersifat nasional dalam bidang perundang-undangan, antara lain:
1. Pencabutan Undang-undang Subversi dan penambahan/ perluasan ke dalam
KUHP.
2. Revisi undang-undang tentang Tindak pidana Korupsi.
3. Mengajukan rancangan Undang – undang tentang HAM dan pembentukan KOMNAS
HAM.
4. Pemberlakuan Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang bersih dari KKN.
5. Memberlakukan Undang- Undang No.
2/2002 dan Undang-Undang No. 3/2002 tentang Hankam dan pemisahan TNI serta
POLRI
KESIMPULAN
Hambatan –hambatan dalam
pelaksanaan HAM di Indonesia antara lain: Masih
kurang pemahaman tentang HAM, masih kurang pengalaman, kemiskinan,
keterbelakangan, pemahaman HAM masih terbatas dalam pemahaman gerakan.
Tantangan besar yang dihadapi dalam
penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia khususnya didalam era Reformasi
Hukum dan dapat dielaborasi kedalam tiga model lingkungan, yaitu: Lingkungan yang memiliki aspek-aspek
nasional dan internasional. Lingkungan strategis yang memiliki aspek
Internasional. Lingkungan strategis yang memiliki aspek nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Bahder Johan
Nasution, Negara Hukum Dan Hak Asasi
Manusia, CV.Mandar Maju, Bandung,cetakan
ke-2 2012.
Muladi, Hak Asasi Manusia, Refika Aditama, Bandung, cetakan
ke-3 2009.
T Mulya Lubis, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam
Masyarakat Dunia , Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,1993.
LAIN-LAIN
Internet
[2] Muladi, Hak
Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat, Reflika Aditama, Bandung,Cetakan ke-3 2009
[3] T.Mulya Lubis,Hak-Hak
Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia Isu dan Tindakan,Yayasan Obor
Indonesia,Jakarta,1993,hlm.9-17.
[8]. T.Mulya Lubis, Op.cit,hlm.43-44.
[10] Satya Arinanto, Hak Asasi
Manusia dalam Transisi Politik Di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia,Jakarta,2008,hlm.374-375
Tidak ada komentar:
Posting Komentar