Minggu, 25 Mei 2014

HUKUM DAN HAM


 PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak seperti hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan merupakan hak yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun, seperti yang tercantum pada rumusan hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia vide Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Perkembangan sejarah, ungkapan "hak-hak asasi manusia" relatif baru, yang baru memasuki bahasa sehari-hari sejak Perang Dunia II dan pembentuka Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945, Ungkapan ini menggac tikan istilah "hak-hak alamiah," yang menjadi kurang disukai st bagian karena kbnsep hukum alam (yang berkaitan erat dengannya telah menjadi masalah kontroversi yang besar, dan ungkapan "th rights of Man" yang muncul kemudian, yang tidak secara univers? dianggap mencakup hak-hak kaum wanita. Kebanyakan pengamat hak-hak asasi manusia menelusuri asal usul sejarah dari konsep itu ke Yunani dan Romawi kuno, karen hak-hak asasi berkaitan erat dengan doktrin-doktrin hukum alai pramodern dari Stoicisme Yunani (mazhab filosofi yang didirika oleh Zeno dari Citrum, yang beranggapan bahwa suatu kekuata universal meliputi semua ciptaan dan bahwa karenanya tindal tanduk manusia hendaknya dinilai menurut, dan diselaraskan de ngan, hukum alam). Contoh klasik, yang diambil dari literatur Yur ani, adalah mengenai Antigone, yang, karena dimarahi oleh Creo sebab menentang perintahnya agar tidak mengubur saudara lelak nya yang tewas dibunuh, menegaskan bahwa ia bertindak sesu; dengan hukum para dewa yang abadi.
Sebagian karena Stoicisme Hellenistik memainkan suatu pera kunci dalam pembentukan dan penyebarannya, hukum Romav dapat juga dilihat sebagai mengijinkan eksistensi suatu hukum alai dan, dengan itu, mengikuti jus gentium ("hukum bangsa-bangsa" hak-hak asasi universal tertentu yang meluas melebihi hak-ha warga negara. Menurut hakim Romawi, Ulpian, misalnva, hukui alam adalah hukum yang alam, bukan Negara menentukan bagi semua makhluk manusia, warga Roma atau bukan. Tetapi, baru sesudah Abad Pertengahan doktrin hukum alam berkaitan erat dengan teori-teori politik liberal mengenai hak-hak alamiah. Pada zaman Yunani-Roma dan abad pertengahan, doktrin-doktrin  hukum  alam terutama mengajarkan kewajiban-kewajiban yang berbeda dari hak-hak asasi "Man" (Manusia). Lagi pula, seperti tampak jelas pada tulisan-tulisan Aristoteles dan St. Thomas Aquinas, doktrin-doktrin ini mengakui legitimasi dari perbudakan dan perhambaan dan, dengan berbuat demikian, mengesampingkan ide-ide yang mungkin paling sentral dari hak-hak asasi manusia sebagaimana ide ide itu dipahami dewasa ini, ide mengenai kemerdekaan (kebebasan) dan persamaan. Agar ide hak-hak asasi manusia (yakni, alamiah) menjadi suatu kebutuhan dan realitas sosial yang umum, perlu terjadi perubahan mendasar  pada  anggapan  dan  praktik-praktik  masyarakat, jenis perubahan yang berevolusi dari sekitar abad kesembilah belas hingga Perdamaian Westphalia (1648), semasa Renaisans dan merosotnya feodalisme. Ketika perlawanan terhadap sikap agama yang tidak toleran  dan  perhambaan  politik-ekonomi  memulai  transisi yang panjang menuju kepada gagasan kebebasan dan persamaan yang liberal, khususnya sehubungan dengan penggunaan dan pemilikan harta, maka landasan dari apa yang dewasa ini dinamakan hak-hak asasi  manusia  sungguh-sungguh  diletakkan.  Selama  periode  ini, dengan mencerminkan kegagalan para penguasa untuk memenuhi kewajiban-kewajiban hukum alam mereka maupun komitmen yang belum  pernah  ada  terhadap ekspresi  individual  dan  pengalaman duniawi yang merupakan ciri Renaisans, dilakukanlah pergeseran dari hukum alam sebagai kewajiban kepada hukum sebagai hak. Ajaran-ajaran Aquinas (1224/1225-1274) dan Hugo Grotius (1583-1645) di benua Eropa, dan Magna Carta (1215), Petisi Hak Asasi tahun 1628, dan Pernyataan Hak-hak Asasi Manusia Iriggris (1689) di Inggris,  merupakan bukti perubahan ini. Semua memberikan kesaksian kepada pandangan yang semakin populer bahwa makhluk manusia dikaruniai hak-hak yang kekal dan tidak dapat dicabut, yang tidak pernah ditinggalkan ketika umat manusia "dikontrak" untuk memasuki  keadaan sosial dari keadaan  primitif dan  tidak pernah berkurang karena tuntutan "hak ilahi para raja." Tetapi,   menguraikan konsepsi modernis mengenai hukum alam ini sebagai  berarti atau  mengimplikasikan  hak-hak alamiah  terutama untuk abad-abad ketujuh belas dan kedelapan belas. Pencapaian-pencapaian ilmiah dan intelektual abad kesembilan belas -penemuan Galileo dati Sir Isaac Newton, materialisme Thomas Hobbes, rasionalisrne Rene Descartes dan Gottfried Wilhelm Leib­niz, panteisme Benedict de Spinoza, tmpirisistne Francis Bacon ,serta John Locke - menggalakkan kepercayaan terhadap hukum alam dan tatanan universal; dan sepanjang abad kedelapan belas, apa yang dinamakan Zamaft Pencerahan, suatu keyakinan yang sedang berkembang terhadap nalar manusia dan kemampuan untuk sempurna dari masalah-masalah manusiawi mengarah kepada ekspresi yang lebih komprehensif Yang terutama patut dicatat adalah tulis-an-tulisan dari filsuf Inggris abad ketujuh belas, John Locke barangkali teoretisi hukum alam terpenting pada zaman modern serta karya para filsuf abad kedelapan belas yang terutama berpusal di Paris, termasuk Montesquieu, Voltaire, dan Jean-Jacques Rousseau. Locke berargumentasi secara rinci, terutama dalam tulisan-tulisan yang berkaitan dengan Revolusi tahun 1688 (Glorious Revolution),  bahwa hak-hak asasi tertentu sudah jelas dengan sendirinya mengenai individu-individu sebagai makhluk manusia (karena hak-hak asasi itu hadir dalam "keadaan alamiah" sebelum umat manusia menjadi masyarakat beradab); bahwa yang utama di antaranya adalah hak-hak asasi atas kehidupan, kebebasan (kemerdekaan dari pemerin-tahan yang sewenang-wenang), serta hak milik; bahwa, ketika menjadi masyarakat beradab (menurut suatu "kontrak sosial"), umat manusia menyerahkan kepada negara hak untuk menyelenggarakan hak-hal alamiah ini saja, bukan hak itu sendiri; dan bahwa kegagalan negars untuk menegakkan hak-hak alamiah yang dikhususkan ini (negars sendiri berada di bawah kontrak untuk melindungi kepentingac para anggotanya) menimbulkan suatu hak atas revolusi rakyat yan§ bertanggung jawab. Filsuf-filsuf, yang berdiri di atas Locke dan yanf Iain-lain serta mencakup banyak dan beraneka ragam aliran pemikirar dengan keyakinan tertinggi yang umum terhadap nalar, dengar gigih menyerang dogmatisme agama dan dogmatisme keilmuan sikap yang tidak toleran, sensor, serta kendala-kendala sosial-ekonomi.
Reflections on the Revolution in France (1790), Burke, seorang penganut hukum alam yang bagaimanapun juga membantah bahwa "Rights of Man" dapat diturunkan dari nya, mengritik para penyusun Declaration of the Rights of Man and of the Citizen (Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak Warga Negara) karena memproklamasikan "fiksj yang menakutkan" mengenai persamaan manusia, yang, nienurut kilahnya, hanya berfungsi mengilhami "ide-ide yang tidak benar dan harapan-harapan yang sia-sia pada manusia yang telah ditakdirkan untuk menjalani perjalanan kehidupan yang tidak jelas dengan susah-payah." Bentham, salah seorang pendiri Utili-tarianisme dan seorang yang tidak percaya, tidak kalah menghi-nanya. "Hak" tulisnya, "adalah anak hukum"; dari hukum yang nyata muncul hak-hak yang nyata; tetapi dari hukum-hukum yang imajiner, dari 'hukum alam,' muncul hak-hak imajiner. Hak-hak alamiah adalah omong kosong sederhana; hak-hak yang alamiah dan tidak dapat dicabut (suatu ungkapan Amerika), omong kosong yang retorik, omong kosong di atas jangkungan." Hume setuju dengan Bentham; hukum alam dan hak-hak alamiah, ia bersikeras, meru­pakan fenomena metafisik yang tidak nyata.
Serangan terhadap hukum alam dan hak-hak alamiah ini, dengan demikian dimulai pada masa akhir abad kedelapan belas, keduanya menjadi intensif dan meluas pada masa abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. John Stuart Mill, kendati pembelaannya yang gigih terhadap kebebasan, memproklamasikan bahwa hak pada akhirnya berdasarkan pada utilitas. Ahli hukum Jerman Friedrich Karl von Savigny, Sir Henry Maine dari Inggris, serta para sejarawan yang lain menekankan bahwa hak merupakan fungsi dari variabel-variabel budaya dan lingkungan yang unik bagi komunitas-komuni-tas tertentu. Dan ahli hukum John Austin serta filsuf Ludwig Wittgen­stein, masing-masing bersikeras bahwa satu-satunya hukum adalah "perintah dari yang berdaulat" (sebuah ungkapan dari Thomas Hobbes) dan bahwa satu-satunya kebenaran adalah kebenaran yang dapat dipastikan melalui pengalaman yang dapat diverifikasi. Menjelang Perang Dunia I, hampir tidak ada teoretisi yang akan atau dapat bagian hak-hak asasi. Ahli waris dari Reformasi Protestan dan revolusi-revolusi Inggris, Amerika, Prancis, Meksiko, Rusia, dari Cina, di paruh terakhir abad kedua puluh telah menyaksikan, dalam kata-kata Louis Henkin cendekiawan hak-hak asasi manusia, "penerimaan yang pada pokoknya universal terhadap hak-hak asasi manusia pada prinsipnya" sedemikian rupa sehingga "tidak ada pemerintah yang berahi membangkang terhadap ideologi hak-hak asasi manusia dewasa ini." Memang, kecuali untuk beberapa demonstrasi keprihatinan kemanusiaan internasional abad kesembilan belas yang pada pokoknya terisolasi, yang akan dikemukakan di bawah, paruh ter­akhir abad kedua puluh dapat dikatakan secara adil menandai lahirnya pengakuan internasional maupun universal terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam traktat pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), semua anggota berjanji untuk melakukan tindakan bersama dan terpisah untuk pencapaian "penghormatan universal kepada, dan ketaatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan yang fundamental bagi semua tanpa pembedaan ras, seks, bahasa, atau agama." Dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (1948), para wakil dari banyak budaya yang beraneka ragam membenarkan hak-hak asasi yang dinyatakan di sana "sebagai suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa." Dan pada tahun 1976, Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Eko-nomi, Sosial dan Budaya serta Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik, masing-masing disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1966, mulai berlaku   dan dijalankan.
Oleh sebab itu perlu dikaji lebih lanjut, yaitu  makalah yang berkenaan dengan  PENEGAKAN HUKUM  HAM DI INDONESIA, oleh karena makalah ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan yang lebih sesuai dengan judul yang bersangkutan.
B.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimana penegakan hukum HAM di Indonesia?
2.   Kendala dalam hukum penegakan HAM di Indonesia?
C.   Tujuan
1.  Agar pembaca mengetahui apa yang dimaksud dengan penegakan hukum HAM .
2.  Agar pembaca mengetahui bagaimana penerapan yang benar tentang penegakan hukum HAM
3.  Agar pembaca mengetahui apa saja kemungkinan yang berpotensi menjadi kendala dalam penegakan hukum HAM .

II.      PEMBAHASAN
A.           Pengertian apa yang dimaksud dengan penegakan hukum HAM.
Penegakan hukum sengaja diterapkan, dilakukan  dengan  tujuan  agar  hukum  itu  memiliki peran dan  menjadi lebih berwibawa, oleh karena itu negara mengaturnya melalui undang-undang  kepada siapa saja yang memiliki kewenangan  melekat atau kewenangan karena pendelegasian.

Penegakan  hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk  tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu  dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku,  berarti  dia  menjalankan  atau  menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit , dari segi  subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya  diartikan  sebagai upaya  aparatur  penegakan hukum tertentu  untuk menjamin dan memastikan  tegaknya  hukum itu, apabila diperlukan, aparatur  penegak hukum  itu  diperkenankan untuk menggunakan daya paksa (Philipus M, Hadjon,1994:5).[1]

Melihat fakta dilapangan atau yuridis empiris dapat diketahui bahwa aparatur kita cenderung melakukan pelanggaran HAM didalam melakukan tindakan represif, artinya  bahwa petugas yang berperan dalam penegakan hukum  telah melampaui  dari batasan-batasan yang seharus tidak dilakukan.
Terdapat banyak batasan tentang hak asasi manusia, Hendarmin Ranadireksa(2002:139) memberikan definisi tentang hak asasi manusia pada hakekatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau  pembatasan ruang gerak warga negara oleh negara. Artinya ada  pembatasan-pembatasan tertentu yang diberlakukan pada negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindung dari kesewenang-wenangan kekuasaan.[2]

Definisi Hak-Hak Asasi.Mengatakan bahwa asas hak-hak asasi manusia pada taraf domestik dan internasional diterima secara luas bukan berarti mengatakan bahwa sifat dari hak-hak semacam itu atau ruang lingkup substantif mereka - yakni definisinya, disetujui sepenuhnya. Sebagian dari masalah-masalah paling dasar belum menerima jawaban yang final. Apakah hak-hak asasi manusia akan dipandang sebagai pemberian hak ilahi, moral, atau hukum; apakah hak-hak asasi akan disahkan dengan intuisi, kebiasaan, teori kontrak sosial, asas keadilan dis-tribusi, atau sebagai prasyarat bagi kebahagiaan; apakah hak-hak asasi akan dianggap tidak dapat ditarik kembali atau dapat ditarik kembali sebagian; apakah hak-hak asasi akan luas atau terbatas dalam hal jumlah dan isi isu-isu ini dan yang sama merupakan bahah perdebatan yang terus-menerus dan cenderung akan tetap de-mikian selama ada pendekatan-pendekatan yang bertentangan ter-hadap ketertiban umum dan langkanya sumberdaya. Alam.Tetapi kendatt terdapat kurangnya konsensus ini, sejumlah postulat yang diterima secara luas dan saling berhubungan tampaknya membantu, jika bukan menyelesaikan, tugas pendefinisian hak-hak asasi manusia. Lima postulat terutama menonjol, meski patut di-catat bahwa hal ini pun bukan tanpa kontroversi. Pertama, lepas dari asal-usul atau pembenaran postulat tersebut yang terakhir, hak-hak asasi manusia dipahami sebagai mewakili tuntutan individual dan kelompok bagi pembentukan dan pem-bagian kekuasaan, kekayaan, pencerahan, dan nilai-nilai lain yang berharga dalam proses komunitas, terutama nilai penghormatan dan kesabaran bersama dalam pencarian semua nilai yang lain. Akibatnya, hak-hak asasi itu mengimplikasikan tuntutan terhadap pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga yang menghalangi realisasi dan tolok ukur untuk menilai legitimasi dari hukum dan tradisi. Pada dasarnya, hak-hak asasi manusia membatasi kekuasaan negara.
Kedua, dengan mencerminkan berbagai keadaan lingkungan. pandangan-pandangan dunia yang berbeda, dan saling ketergan-tungan yang tidak dapat dihindari di dalam dan di antara proses-proses nilai, hak-hak asasi manusia mengacu kepada suatu kontinum dari tuntutan nilai yang luas, mulai dari yang paling dapat diadili hingga yang paling mengandung aspirasi. Generasi Pertama.  Generasi pertama berupa hak-hak sipil dan politik berasal terutama dari teori-teori reformis abad ketujuh belas dan kedelapan belas yang dikemukakan di atas, yang berkaitan dengan revolusfrevolusi Inggris, Amerika, dan Prancis. Dunfus dengan filosofi politik dari individualisme liberal dan doktrin ekonomi dan sosial laissez-faire, generasi pertama mengartikan hak-hak asasi manusia dengan isti-lah-istilah yang lebih bersifat negatif ("bebas dari") daripada positif ("hak atas"); geherasi pertama lebih suka abstensi daripada in-tervensi pemerintah dalam pencarian martabat manusia, seperti dilambangkan oleh pernyataan H. L. Mencken bahwa "semua pe­merintah, tentu saja, menentang kebebasan." Dengan demikian, termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak-hak asasi yang dituntut seperti itu yang diuraikan dalam Pasal 2-21 Deldarasi Uni­versal Hak-hak Asasi Manusia, termasuk kebebasan dari bentuk-bentuk diskriminasi dan rasial yang setara; hak atas kehidupan, kebebasan, dan keamanan pribadi; kebebasan dari perbudakan atau kerja palcsa; kebebasan dari penganiayaan dan dari perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau nierendahkan marta­bat; kebebasan dari penangkapan yang sewenang-wenang, penahan-an, atau pengasingan; hak atas peradilan yang adil dan terbuka; kebebasan dari campur tangan dalam privasi dan korespondensi; kebebasan untuk pindah dan bertempat tinggal; hak suaka dari penindasan; kebebasan berpikir, berhati nurani, dan beragama; kebebasan berpendapat dan berekspresi; kebebasan berkumpul dan berhimpun secara damai; dan hak untuk berpartisipasi dalam pe­merintah, secara langsung atau melalui pemilihan-pemilihan yang bebas. Termasuk juga di dalamnya adalah hak untuk memiliki harta dan hak seseorang untuk tidak dirampas hartanya secara sewenang-wenang, masing-masing fundamental bagi kepentingan-kepenting-an yang diperjuangkan dalam revolusi Amerika dan Prancis serta bagi bangkitnya kapitalisme. Tentu saja, akan merupakan kesalahan bila menyatakan bahwa hak-hak asasi generasi pertama ini dan yang lain sepenuhnya sesuai dengan ide hak-hak "negatif" yang berlawanari dengan hak-hak "positif." Hak atas keamanan pribadi, atas suatu peradilan yang adil dan terbuka, atas suaka dari penindasan, dan atas pemilihan yang bebas, misalnya, tidak dapat dipastikan secara nyata tanpa suatu tindakan positif dari pemerintah. Tetapi yang tetap di dalam kon­sepsi generasi pertama ini adalah. gagasan mengenai kebebasan, suatu perisai yang melindungi individu, sehdirian, dan dalam asosiasi dengan yang Iain-lain, dari penyelewehgan dan penyalahgunaan otoritas politik. Ini merupakan nilai sentralnya. Ditonjolkan dalam hampir setiap konstitusi dari negara-negara yang kini berjumlah sekitar 160, dan mendominasi sebagian besar deklarasi dan kovenan internasidnal yang disetujui sejak Perang Dunia II, konsepsi hak-hak asasi manusia yang pada pokoknya bersifat Barat ini kadang-kadang diromantiskan sebagai kejayaan pengikut aliran individual-isme Hobbes-Locke atau paham kenegaraan Hegel. Generasi Kedua. Generasi kedua berupa hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya berasal terutama dari tradisi sosialis yang terdapat di antara kaum Saint-Simon di Prancis awal abad kesembilan belas dan dicanangkan dengan berbagai eara oleh perjuangan-perjuangan revolusioner dan gerakan kesejahteraan sejak itu. Pada umumnya, hal ini merupakan suatu tanggapan terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan pembangunan kapitalis dan konsepsi kebebasan individual yang mendasarinya, yang pada pokoknya tidak menentukan, yang mentolerir, bahkan mengesahkan, eksploitasi kelas pekerja dan rakyat-rakyat daerah jajahan. Menurut sejarah, hal ini merupakan titik-balik terhadap generasi pertama hak-hak sipil dan politik, dengan hak-hak asasi manusia dipahami lebih dalam istilah-istilah yang positif ("hak-hak atas") daripada negatif ("kebebasan dari"), yang mensyaratkan intervensi, bukan abstensi negara, daripada negara dengan tujuan untuk memastikan partisipasi yang merata dalam prpduksi dan distrihusi nilai-nilai yang dikandung. Uustratif   adalah hak-hak asasi yang dituntut yang diuraikati dalam Pasal 22^27 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, seperti hak atas jaminan sosial; hak atas pekerjaan dan proteksi terhadap penganggurari; hak untuk beristirahat dan bersenang-senang, termasuk hari-hari libur perio-dik yang dibayar; hak atas standar hidup yang layak bagi kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarga; hak atas pendidikan; dan hak atas perlidungan produk ilmiah, kesusasteraan, dan kesenian dari seseorang. Sekalipun demikian, seperti halnya semua hak dicakup oleh generasi pertama yaitu hak-hak sipil dan politik tidak dapat disebut dengan tepat sebagai "hak-hak negatif," demikian pula semua hak asasi yang dicakup oleh generasi kedua yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak dapat dengan tepat diberi label "hak-hak positif." Hak memilih pekerjaan dengan bebas, hak untuk memben-tuk dan bergabung dengan serikat buruh, dan hak berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan budaya dari komunitas, misalnya, tidak secara inheren mensyaratkan tindakan pemerintah yang po­sitif untuk menikmatinya. Meskipun begitu, sebagian besar hak-hak asasi generasi kedua tidak membutuhkan intervensi negara dalam alokasi sumberdaya karena hak-hak itu menggolongkan permintaan lebih kepada materi daripada kepada nilai-nilai yang tidak dapat diraba berdasarkan kriteria keadilan distribusi. Hak-hak asasi gene­rasi kedua, pada dasarnya, adalah tuntutan bagi persamaan sosial. Tetapi, sebagian karena relatif terlambat datangnya pengaruh sosialis-komunis dalam bidang normatif masalah-masalah internasional, maka internasionalisasi hak-hak asasi ini agak terlambat; tetapi de­ngan meningkatnya kekuatan Dunia Ketiga di tingkat global, sungguh-sungguh merupakan suatu "revolusi harapan yang meningkat," hak-hak asasi itu telah mulai dewasa. Generasi Ketiga. Akhirnya, hak-hak asasi generasi ketiga, saling menghubungkan, dan mengkonseptualisasikan kembali tuntutan-tuntutan nilai yang dan sosial mereka, maka juga dapat dikatakan merupakan hak asasi perorarigan dari semua pribadi untuk memperoleh manfaat dari suatu kebijakan pembangunah berdasarkan pemuasan kebutuhan manusia yang materiil dan nonmateriil. Demikian juga, walaupun hak atas penentuan nasib sendiri dan hak atas bantuan kemanusiaan, misalnya, mendapatkan ekspresi pada bidang hukum maupun moral, mayoritas hak-hak sdlidaritas ini cenderung lebih bersifat aspirasi daripada dapat diadili, yang hingga kini menikmati status hukum yang tidak jelas sebagai norma hak-hak asasi manusia internasional. Dengan demikian,'pada berbagai tahapan sejarah modern --dari revolusi "borjuis" abad ketujuh betas dan kedelapan belas, revoliisi sosialis dan Marxis di awal abad kedua puluh, dan revolusi-revolusi antikolonialis yang dimulai segera sesudah Perang Dunia II isi hak-hak asasi manusia didefinisikan secara umum, bukan dengan dugaan bahwa hak-hak asasi yang berkaitan dengan satu generasi akan atau seharusnya menjadi usang ketika muncul yang lain, melainkan karena ekspansi atau melengkapi. Mencerminkan persepsi-persepsi yang berubah yang nilai-nilainya, pada masa-masa yang berlainan, sangat membutuhkan dorongan dan proteksi, maka sejarah isi hak-hak asasi manusia juga mencerminkan tuntutan umat manusia yang berulang-ularig akan kontinuitas dan stabilitas.[3]

Hak-hak asasi manusia dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (1945) berawal dengan penegasan kembali suatu "kepercayaan terhadap hak-hak asasi manusia, ter­hadap martabat dan nilai pribadi manusia, pada hak-hak asasi yang sama dari laki-laki dan perempuan serta dari bangsa-bangsa yang besar dan kecil." Piagam itu menyatakan bahwa tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, antara lain, "untuk mengembangkan hubungan-hubungan antarbangsa yang bersahabat berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari rakyat ... [dan] untuk mencapai kerja sama intemasional ... dalam mencanangkan serta, mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan terhadap kebebasan yang fundamental bagi semua tanpa membedakan ras, seks, bahasa, atau agama...." Dan, dalam dua pasal kunci, semua anggota "berjanji untuk bertindak bersama dan sendiri-sendiri dengan bekerja sama dengan  Organisasi ini". Tentu saja, rintangan-rintangan yang berat menyertai upaya para pembuat kebijakan, para aktivis, dan para pengkaji hak-hak asasi manusia. Implementasi hukum hak-hak asasi manusia internasional sebagian besar tergantung pada persetujuan bangsa-bangsa sukarela; mekanisme untuk penataan dan pemberlakuan hak-hak asasi manusia masih dalam tahap masa pertumbuhan. Sungguhpun demikian, per-hatian yang gamblang terhadap kemajuan hak-hak asasi manusia pasti terdapat di sini, karena kebutuhan maupun idealisme. Seperti pernah ditulis oleh pemenang Nobel dan pembangkang politik Andrey Sakharov dari pengasingannya di dalam negeri Uni Soviet: Ideologi hak-hak asasi manusia barangkali merupakan satu-satunya ideologi yang dapat dikombinasikan dengan ideologi-ideologi yang sangat beraneka ragam seperti komunisme, demokrasi sosial, agama, teknokrasi dan ideologi-ideologi yang dapat digambarkan ber-sifat nasional dan pribumi. Ideologi itu juga dapat berfungsi sebagai tumpuanbagi mereka yang telah muak dengan banyaknya ideolo­gi, yang tidak satu pun membawa kebahagiaan manusia yang seder-hana. Pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan jalan kecil yang bersih menuju penyatuan rakyat dalam dunia kita yang rusuh, dan merupakan sebuah jalan kecil menuju pembebasan dari penderitaan.[4]



Selama tindakan  penegakan hukum itu dilakukan  sesuai dengan aturan atau standart operational procedure (SOP) dan ketentuan yang berlaku maka aparat penegak hukum tidak perlu takut untuk memberikan  suatu tindakan yang dapat memberikan effect deterent (efek jera) terhadap para pelaku  kriminal.

Hak asasi manusia menempati posisi yang penting dalam konsepsi hukum pidana Islam. Ancaman pidana yang tegas terhadap pelaku kejahatan tidak bisa dikatakan sebagai suatu pelanggaran HAM. Adanya tuduhan bahwa sanksi yang tegas itu melanggar HAM, perlu diperjelas dengan satu uraian. Sekali lagi, penting dicatat bahwa ancaman yang keras bagi para pelaku mengandung hikmah yang besar. Yang penting  bagi si terpidana sendiri adalah membangkitkan kesadaran bahwa tindaknnya keliru. Bahkan jatuhnya pidana itu bisa menghapus sanksi yang jauh lebih keras di akhirat. Tentu saja konsep ini tidak bisa dipahami oleh hukum Barat yang sekuler. Bagi umat Islam, setiap hak harus dikembalikan kepada dua sumber rujukannya yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jadi hak asasi manusia menemukan landasan yang kuat dalam hukum Islam. Dalam Islam, semakin manusia tunduk kepada Allah dan hanya mengabdi kepada-Nya, semakin bebas ia dari  penghambaan  kepada manusia lain atau makhluk Tuhan lainnya.Dengan mengatakan Allahu Akbar (Allah Mahabesar), ia menutup pintu dari semua penghambaan. Ini berarti menyatakan dan menegaskan bahwa pada dasarnya dirinya adalah bebas. Dalam hukum Islam, hak-hak fundamental tidak  diciptakan  oleh manusia tetapi hanya dapat dibuat menjadi terang. Hak-hak tersebut  diturunkan secara tidak langsung dari nilai dasarnya bahwa ia adalah hamba Allah. Dengan demikian, ia tidak  menghamba kepada yang lain. Ia bebas.[5]

Telah diketahui bersama bahwa sejak manusia lahir, manusia telah memiliki hak dasar dan   hak-haknya tersebut, dijamin dan dilindungi  oleh Undang-Undang. Negara menjamin setiap warga negaranya dalam memperoleh dan melaksanakan hak-haknya, Ketentuannya di dalam menjalankan hak alamiahnya asalkan   tidak melanggar peraturan perundang-undangan hak alamiahnya dilindungi oleh negara.   Apabila didalam menjalankan hak-haknya terlalu berlebihan dan masuk dalam kriteria kriminal dengan sangat tegas aparatur berkewajiban menegakan  hukum negara secara  absolut.

Ungkapan “hak-hak asasi manusia” relatif baru, yang  baru memasuki bahasa sehari-hari sejak Perang Dunia II dan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945. Ungkapan ini mengartikan istilah”hak-hak alamiah”,  yang menjadi kurang disukai  sebagaian  karena konsep hukum alam (yang berkaitan erat dengannya telah  menjadi  masalah  kontroversi yang besar, dan ungkapan “the rights of Man” yang  muncul kemudian, yang tidak secara universal dianggap mencakup hak-hak kaum wanita dikutip dari Burns H.Weston.[6]

Pengertian hak asasi manusia sering dipahami sebagai hak kodrati yang dibawa oleh  manusia sejak manusia lahir ke dunia. Pemahaman terhadap hak asasi yang demikian ini merupakan pemahaman yang sangat umum dengan tanpa membedakan secara akademik hak-hak dimaksud serta  tanpa mempersoalkan asal-usul atau sumber diperolehnya hak tersebut.[7]

MPR yang memiliki wewenang menetapkan UUD telah mengamandemen UUD 1945 tahun 2000 dan telah mencantumkan dengan tegas tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM dalam bab tersendiri dengan rinci dalam 10 pasal, yaitu Pasal 28A-28J. Dengan demikian hak asasi manusia secara  konstitusif telah diakui  sejak berdirinya negara. Perkembangan yang cukup  signifikan bersamaan dengan pergantian pemerintahan adalah Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah menghasilkan Ketetapan instrumen mengenai HAM. Perkembangan  instrumen HAM yang cukup penting pada masa Orde Baru adalah Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, tentang Pembentukan Komnas HAM. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia(Komnas HAM) yaitu  suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara  lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, pemantauan dan mediasi hak asasi manusia. Komisi HAM didrikan dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM di Indonesia, serta  meningkatkan perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia  seutuhnya.  Berdasarkan Undang-Undang  Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 89, Komnas HAM memiliki fungsi untuk melaksanakan pengkajian, penyuluhan, serta mediasi mengenai HAM di Indonesia. Dalam pelaksanaan fungsi pemantauan, Komnas HAM berwenang melakukan: a. Pengamatan pelaksanaan HAM dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut; b. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul  dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga ada pelanggaran HAM-nya; c. Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban, maupun pihak yang diadukan, untuk dimintai atau didengar keterangannya; d. Pemanggilan saksi pengadu dimintai menyerahkan semua bukti yang diperlukan; e.Peninjauan di tempat kejadian dan di tempat lainnya yang dianggap perlu; f. Pemanggilan pihak terkait  untuk memberikan  keterangan  secara tertulis atau menyerahkan  dokumen  yang diperlukan sesuai dengan  aslinya, dengan disertai  persetujuan  Ketua Pengadilan; g. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan tempat-tempat lainnya yang  diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; h.Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan  terhadap perkara tertentu yang sedang diproses peradilan.  Bilamana dalam  perkara tersebut  terdapat pelanggaran HAM, baik dalam masalah publik maupun dalam acara pemeriksaan oleh pengadilan kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.[8]


Mengenai  fungsi mediasi yaitu penyelesaian perkara perdata di luar pengadilan atas dasar  kesepakatan para pihak, merupakan fungsi baru yang  mencakup kewenangan serta tugas dalam melakukan: a. Perdamaian kedua belah pihak; b. Penyelesaian perkara melalui  cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli; c. Pemberian saran kepada para pihak  untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan; d. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindak lanjuti; e. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada DPR-RI untuk ditindak lanjuti.[9]


B.                 Bagaimana penegakan hukum HAM di Indonesia
Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia hingga saat ini masih mengecewakan. Dalam kurun 10 tahun terakhir, penegakan HAM tak kunjung menunjukkan perbaikan. Hampir semua kasus berat, dari 27 Juli dan Mei 1998, sampai sekarang tidak berani disentuh pemerintah. Kasus-kasus ini ada di Kejaksaan Agung, Jaksa Agung berada di bawah Presiden, tidak berani ungkap kasus-kasus ini, kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim di acara Silaturahmi Aktivis Pro-Demokrasi di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, Sabtu (10/9/2011). Dijelaskannya, pemerintah justru terkesan ragu melakukan pengusutan kasus-kasus dalam ranah HAM. "Upaya mengulur waktu dan kasus ini tidak pernah diselesaikan di pengadilan. Ada keraguan pemerintah sekarang ini, boleh kita katakan tidak ada prestasi dalam penegakan HAM, baik di pengadilan maupun di luar pengadilan," terangnya. Dikatakannya, korban Mei 1998 hampir 200 kali melakukan aksi di depan Istana, namun tidak digubris. “Ini gambaran kita tidak berhasil membangun aturan hukum yang kuat. Penegakan hukum pelanggaran HAM sama dengan pemberantasan korupsi, selalu terkait dengan kekuasaan," pungkasnya. Penggelaran Aksi ribuan mahasiswa yang berunjuk menolak Sidang Istimewa MPR yang membahas perhelatan pemilu pasca lengsernya Soeharto (13/11/1998) hingga saat ini menyita perhatian publik. Masyarakat mengenal tragedi tersebut dengan tragedi semanggi I. Dimana, mahasiswa berunjuk rasa dihadang aparat keamanan di depan Kampus Unika Atma Jaya Semanggi, Jakarta Selatan. Hari ini keluarga korban, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras), serta Senat Fakultas Hukum dan Ekonomi Unika Atmajaya mengenang 14 tahun tragedi tersebut dengan aksi tabur bunga di lokasi penembakan salah satu mahasiswa Unika Atmajaya di pelataran parkir Gedung Unika Atmajaya, Jalan Semanggi, Jakarta, Selasa (13/11/2012). Walaupun hujan cukup deras, peserta aksi tetap melangkahkan kakinya untuk melakukan aksi tabur bunga. Aksi tabur bunga juga terlihat cukup khidmat dilakukan oleh peserta aksi.  
Aktivis Kontras, Muhamad Daud, menilai presiden kurang tegas dalam menangani kasus tragedi Semanggi I. Selain itu, kata dia, Kejaksaan Agung terlalu permisif dalam menuntaskan kasus tersebut.
  "Seharusnya Jaksa Agung tanpa ada desakan lainya sesuai dengan hukum terutama dalam proses penyidikan, sudah harus berjalan tetapi, kenyataan berbeda dengan yang terjadi, ini membuktikan satu fenomena memang Kejaksaan Agung kebal tehadap hukum, Jaksa Agung ingkar terhadap hukum, jadi solusinya butuh suatu keberanian, dari seorang presiden," ujarnya.
Terlebih lagi, sambung dia, Jaksa Agung merupakan bawahan Presiden. Seharusnya, kasus tersebut dapat terselesaikan dengan jelas.
"UU No.26 tahun 2000 pengadilan HAM spesifik pasal 43 ayat 2 presiden punya kewajiban hukum untuk membentuk keputusan presiden tentang pengadilan HAM Ad Hoc, jadi presiden memang dituntut berupaya ekstra keras sebagai suatu kesalah rezim dimasa lalu," terangnya.
Daud yang juga kuasa hukum aktivis 98 ini, mengatakan orang yang terlibat dalam tragedi tersebut justru saat ini mendapat posisi strategis di pemerintahan.
 
           "Orang yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan di masa lalu dan atas hilangnya aktivis 98, insiden Trisakti tapi ketiadaan dalam proses hukum seperti Sjafrie Sjamsoedin, saat ini menjadi wakil Menhan. Bahkan, ada pejabat-pejabat lain yang mungkin kita tidak tahu bermasalah, pada tahun lalu menempati posisi strategis di pemerintahan saat ini, justru ini akan menghambat upaya kedepan," paparnya. Sebenarnya, dalam konteks orang yang terlibat dalam tragedi pelanggaran HAM, kata dia, untuk dijadikan tersangka, Komnas HAM yang menentukan. "Komnas intinya menemukan pelanggaran HAM terberat untuk dijadikan tersangka ini ada di Kejaksaan Agung dengan mulai penyidikan karena penyidikan itu upaya Jaksa Agung sebagai penyidik untuk membuat kasus tersebut menjadi terang, untuk menetapkan tersangka, menyita barang bukti menangkap pelaku, sementara kita tahu Jaksa Agung sampai saat ini belum mampu melakukan penyidikan," tutur dia. 
Lebih lanjut, kata dia, para aktivis 1998 dan keluarga korban Semanggi menolak mantan Presiden Soeharto dijadikan pahlawan nasional. Karena menurutnya Soeharto meninggal dalam ketidakpastian hukum. "Statusnya sendiri belum jelas, Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), sampai Soeharto meninggal belum pernah diseret di pengadilan," imbuhnya."Apalagi Soeharto punya kesalahan di masa lalu seperti terlibat, dalam kasus pelanggaran berat atau korupsi misalnya," tutupnya.
Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957 menolak usulan Komisi Nasional (Komnas) HAM dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ingin mengungkap kembali kasus pelanggaran HAM tahun 1965.
Ketua DPP Kosgoro 1957, Leo Nababan, menilai hal tersebut bertolak belakang dengan peraturan TAP MPRS RI No.XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI masih berlaku hingga saat ini. 
"Kenapa? Karena sampai saat ini TAP MPRS tentang PKI masih dilarang di republik ini," tegas Leo, Senin (20/8/2012) malam.
Leo khawatir jika ini kasus tersebut kembali diungkap, maka akan terjadi konflik horizontal di tengah masyarakat. Hal ini disebabkan, jutaan rakyat Indonesia siap untuk membela Pancasila, karena masih ada aturan tentang pelarangan terhadap PKI tersebut.
"Ini akan membuat konflik horizontal di tengah masyarakat. Kenapa? Bayangkan kalau kasus ini dibuka, jutaan orang akan siap untuk membela Pancasila. Ada 127 ormas anti Pancasila saat, dibawah pimpinan Kosgoro MKGR, dan ormas lainnya, Pemuda Pancasila. Terutama di garda terdepan adalah Nahdlatul Ulama, yaitu melalui GP Anshor," paparnya. Saat ditanya, apakah ini mengartikan ada upaya penutupan sejarah, Leo menjawab itu bukan sekedar sejarah, tapi lebih mementingkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Mana yang kau pilih?! Penutupan sejarah atau negara ini bubar?! Saya memilih negara NKRI harus tetap. Anda bayangkan, GP Anshor sudah bicara seminggu lalu. Tidak ada urusan penutupan sejarah, daripada negara ini bubar," terangnya.

Wakil Sekjen Partai Golkar tersebut meminta, kepada Komnas HAM, agar tidak bertindak terlalu jauh, karena dapat mengakibatkan kehancuran bagi Indonesia, walaupun dia tahu Komnas HAM bersifat independen.
"Saya lebih cinta negara ini. Saya ingatkan sekali lagi, boleh kita berbicara tentang teori-teori di bangsa ini, tetapi tidak menghancurkan NKRI.  Artinya adalah NKRI ini harus segala-galanya, dan untuk itu saya minta jangan bicara sembarangan," simpulnya.
Politisi Golkar ini mengatakan akan mengambil sikap tegas dan mengambil posisi sebagai anti-anti komunis. Leo mengaku gerakan-gerakan di bawah masyarakat siap menghadapi hal tersebut, termasuk Kosgoro 1957. "Saya tidak memikirkan itu. Saya lebih memikirkan keutuhan NKRI daripada itu," tutupnya. 
Dalam kurum waktu satu tahun dari pertengahan tahun 2011 hingga September 2012, setidaknya ada 40 kasus pelanggaran HAM oleh polisi yang diabaikan dan tidak diusut dengan tuntas.  Menurut Kepala Divisi Hukum Politik dan HAM Kontras, Sinung Karto, 40 kasus pelanggaran HAM oleh polisi, para korban sudah didampingi KontraS selalu diabaikan. Selain itu, ada beberapa model tindakan pelanggaran HAM yang kerap terjadi dari tahun ke tahun.  "Diantara korban adalah rekayasa kasus pada kelompok petani dan minoritas keagamaan seperti penggusuran pasar raya padang (2011), kasus Tiaka Morowali juga jemaat gereja baptis papua (2011), Kongres Rakyat Papua III (2011) serta kejadian syiah sampang (2012), dan Serikat Pekerja Indonesia (2012)," kata Sinung,  di Gedung KPK, Minggu (7/10/2012). Sinung mengatakan, trend kasus kekerasaan ini mengarah kepada sejumlah kasus dan rekayasa individual, seperti kasus Koh Seng S2, Aguswandi Tanjung, Enny Umbas, Paulus Demo Kotan. Kriminalisasi ini, kata dia, biasanya juga diikuti dengan sejumlah praktik pelanggaran HAM seperti penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan intimidasi penembakan hingga menimbulkan korban jiwa.
Dalam praktik pengabaian polisi, kata dia, dapat dilihat dari kasus pembubaran beberapa lokasi acara penyerangan Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Jemaat HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin (2011-2012), pemutaran Film Q Festival (2011), kekerasan geng motor ( 2012), pembubaran diskusi Irsyad Manji (2012), penyerangan kelompok Syiah di Sampang (2012) dan yang terbaru adalah pembiaran ancaman kekerasan terhadap aktivis Kontras Papua, Holga Hamadi SH (Oktober 2012).
"Dalam kasus ini, biasanya aparat polisi tidak mampu merespons aksi kekerasan yang dilakukan oleh organisasi keagamaaan yang menggunakan kekerasan sebagai advokasinya," tuturnya.
Pemerintah dinilai belum serius menyikapi kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat seperti tragedi Semanggi. Bahkan, kasus tersebut hanya mandek di Kejaksaan Agung.  "Punggawa hukum kita dari Kejaksaan Agung, hampir 10 tahun bukan menindaklanjuti penyidikan, sikap tersebut menunjukan suatu realita yang ingkar dan bebal," ujar Daud, aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras) saat konferensi pers tragedi Semanggi I di Gedung Universitas Katolik Atmajaya, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (12/11/2012). Menurutnya, kasus Semanggi I masih dipertanyakan. "Banyak penegakan hukum dalam menangani kasus Trisakti dan Semanggi belum diperhatikan. Harus jadi acuan presiden. Sistem keadilan belum sempurna, presiden harus tegas dan Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti," tuturnya. 
Konferensi pers memperingati tragedi semanggi I ini dihadiri oleh keluarga korban dari Wawan, mahasiswa yang tertembak di Gedung Unika Atmajaya.

Selain itu, ikut hadir juga para aktivis 98, Senat Fakulta Hukum dan Fakultas Ekonomi Unika Atmajaya.
Usai menggelar konferensi pers, dilanjutkan dengan aksi tabur bunga di pelataran parkir dimana lokasi tersebut tepat tertembaknya Wawan.
Disamping kasus Timor Timur untuk kasus pelanggaran HAM berat  yang terjadi  di Tanjung Priok, Presiden Abdurrahman Wahid yang mkemudian dilanjutkan dengan Presiden Megawati Soekarnoputri telah mengeluarkan  dua keputusan Presiden (Keppres) yang memerintahkan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc. Tahapan selanjutnya adalah berkaitan dengan penugasan MPR kepada Presiden untuk menyelesaikan  kasus-kasus pelanggaran HAM. Penugasan tersebut kemudian sempat ditindaklanjuti  oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan menerbitkan Keputusan Presiden(Keppres) Nomor 53 Tahun 2001 tentang “Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakrta Pusat” pada tanggal 23 April 2001. Pembentukan Keppres ini  dilakukan sebagai pelaksanaan Pasal 43 ayat (1)   UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang “Pengadilan Hak Asassi Manusia”, yang menentukan  bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut  diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa pengadilan HAM yang dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur pascajajak pendapat dan yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984. Belum sempat Keppres tersebut dilaksanakan, pada  awal kepresidenan Megawati Soekarnoputri, Keppres ini langsung  mengalami revis, dengan penerbitan Keppres Nomor 96 Tahun 2001 tentang “Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc  pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”. Bagia yang mengalami penyempurnaan  tersebut adalah pasal 2, dengan maksud untuk lebih memperjelas tempat dan waktu tindak pidana  (locus dan tempus delicti) pelanggaran HAM berat  yang terjadi di Timor Timur dan Tanjung Priok. [10]
 

C.           Kendala dalam hukum penegakan HAM di Indonesia
Kendala-kendala dalam penegakan hukum HAM secara umum adalah adanya intervensi  kekuasaan dan politik, kemudian kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang hak asasi manusia (HAM) oleh aparatur negara terutama aparat penegak hukumnya sendiri.
Untuk mewujudkan dan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia tidaklah semudah menuliskan serta mengucapkannya. Hal ini disebabkan banyak hambatan dan tantangan yang tidak lagi sebatas terorika, melainkan sudah menjadi realita yang tidak dapat dihindari apalagi ditunda-tunda. Dalam penegakan HAM melalui sistem hukum pidana yang telah berlaku di Indonesia terdapat kendala-kendala atau hambatan yang bersifat prinsipil substansil dan klasik. Kendala-kendala dalam pelaksanaan HAM di Indonesia antara lain:
a. Masih kurang pemahaman tentang HAM.
Banyak orang menangkap pemahaman HAM dari segi pemikiran formal belaka. HAM hanya dilihat sebagaimana yang tertulis dalam "Declaration of Human Rights" atau apa yang tertulis dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Namun, hakikat pemahaman HAM harus dilihat sebagai suatu konsep yang bersifat multidimensi. Sebab, dalam pemahaman HAM tertanam di dalamnya konsep dasar "Politik, Hukum, sosiologi, filosofi, ekonomi dan realitas masyarakat masa kini, agenda internasional, yurisprudensi analitis, yurisprudensi normatif, etika dan estetika". Jika makna seperti ini dapat ditangkap melalui suatu proses pembelajaran, pemahaman, penghayatan dan akhirnya diyakini, barulah kita dapat menuju kepada suatu proses untuk menjadi HAM ini sebagai bagian dari Wawasan Nasional. Bagian dari kebijakan nasional, menjadikan HAM sebagai strategi nasional, program nasional dan konsistensi. Tetapi, jangan lupa bahwa HAM yang formal ini adalah barang import.
b. Masih kurang pengalaman
Disadari atau tidak kita harus akui bahwa HAM sebagai suatu konsep formal masih terasa baru di masyarakat kita. Kondisi ini mendorong kita harus membina kerjasama dengan beberapa negara dalam mencari gagasan, menciptakan kondisi yang kondusif, dan memberikan proteksi perlindungan HAM, persepsi dan pemahaman bersama seperti ini perlu didorong dan ditegakkan. Namun, kita harus hati-hati, khususnya dalam menjalin kerjasama dengan negara lain. Sebab, forum kerjasama, forum konsultasi, dan berbagai kebijakan selalu diboncengi kepentingan tertentu yang sering tidak terasa bahwa tujuan yang hendak dicapai menjadi melenceng jauh dari tujuan yang semula diharapkan.
c. Kemiskinan
Kemiskinan adalah sumber kebodohan, oleh sebab itu harus diperangi dan diberantas. Tema memberantas kemiskinan telah banyak dipersoalkan di forum-forum nasional, regional dan internasional, tetapi hingga saat ini belum ada solusinya. Bahkan, ide memberantas kemiskinan hanya mampu memobilisasi masyarakat miskin tanpa menambah sepeser pun uang ke kantong-kantong orang miskin. Dari segi HAM seolah-olah konvensi hak-hak sosial dan ekonomi yang belum diratifikasi oleh Indonesia perlu diwujudkan.
d. Keterbelakangan;
Keterbelakangan ini adalah suatu penyakit yang bersifat kultural dan struktural. Kultural karena sering sekelompok orang yang terikat dalam satu budaya yang sama memiliki adat-istiadat yang sama dan ara berpikir yang sama pula. Untuk mengatasi diperlukan proses pendidikan dan kebiasaan menggunakan logika berpikir.
e. Pemahaman HAM masih terbatas dalam pemahaman gerakan.
Untuk membangun HAM dalam masyarakat untuk menjaga kerukunan berbangsa dan bernegara diperlukan: 1) adanya personil pemerintahan yang berkualitas, 2) aparat pemerintah yang bermodal dan bertanggung jawab; 3) terbangunnya publik opini yang sehat atau tersedia sumber informasi yang jelas, 4) terbangunnya suatu kelompok pers yang berani dan bebas dalam koridor menjaga keutuhan bangsa dan negara, 5) adanya sanksi terhadap aparat yang melanggar HAM, 6) tersedianya "bantuan hukum" (legal-aid) di mana-mana, 7) terbentuknya jaringan aparat pemerintahan yang bersih, berwibawa sehingga bersinergi.
Dalam memasuki abad ke -21 banyak tantangan besar yang dihadapi dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia khususnya didalam era Reformasi Hukum dan dapat dielaborasi kedalam tiga model lingkungan, yaitu:
1. Lingkungan yang memiliki aspek-aspek nasional dan internasional. Kedua lingkungan tersebut berinteraksi secara simbiosis, mutualistis, karena baik buruknya penegakan hukum di Indonesia dapat dipengeruhi oleh kedua lingkungan tersebut.
2. Lingkungan strategis yang memiliki aspek Internasional. Berkaitan langsung dengan politik perdagangan global yang menempatkan negara selatan debagai tempat pemasaran produk-produk global negara utara. Oleh karena itu, timbul tuntutan untuk menciptakan iklim dan lingkungan dunia perdagangan serta usaha kondusif dan sehat bagi hubungan perdagangan, baik bilateral ataupun multilateral. Menghadapi tantangan lingkungan staregis yang bersifat Internasional pemerintah Republik Indonesia telah melakukan kebijakan-kebijakan. Kebijakan –kebijakan tersebut, yaitu penegakan GTO/WTO, melakukan penyusunan rancangan Undang-Undang Arbitrase, undang-undak Kepailitan, telah melakukan serta revisi undang-undang dalam bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), telah memberlakukan Undang-undang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli (Competition Act), serta sudah memberlakukan Undang-undang Perlindungan Konsumen (Consume’s) Undang –undang No.8 1998/1999.
3. Lingkungan strategis yang memiliki aspek nasional. Dapat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik dan keamanan. Di dalamnya termasuk pembentukan hukum yang aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat dan mendukung kehidupan politik yang sehat. Hal tersebut juga disertai dan diperkuat oleh penegakan hukum yang tegas konsisten dengan dilandasi asas kepastian hukum, asas proporsionalitas, asas kedilan, dan asas mufakat.
Kebijakan pemerintah menghadapi tantangan lingkungan strategis yang bersifat nasional dalam bidang perundang-undangan, antara lain:
1. Pencabutan Undang-undang Subversi dan penambahan/ perluasan ke dalam KUHP.
2. Revisi undang-undang tentang Tindak pidana Korupsi.
3. Mengajukan rancangan Undang – undang tentang HAM dan pembentukan KOMNAS HAM.
4. Pemberlakuan Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dari KKN.
5. Memberlakukan Undang- Undang No. 2/2002 dan Undang-Undang No. 3/2002 tentang Hankam dan pemisahan TNI serta POLRI

KESIMPULAN
Hambatan –hambatan dalam pelaksanaan HAM di Indonesia antara lain: Masih kurang pemahaman tentang HAM, masih kurang pengalaman, kemiskinan, keterbelakangan, pemahaman HAM masih terbatas dalam pemahaman gerakan.
Tantangan besar yang dihadapi dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia khususnya didalam era Reformasi Hukum dan dapat dielaborasi kedalam tiga model lingkungan, yaitu: Lingkungan yang memiliki aspek-aspek nasional dan internasional. Lingkungan strategis yang memiliki aspek Internasional. Lingkungan strategis yang memiliki aspek nasional.


















DAFTAR PUSTAKA

Bahder Johan Nasution, Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia, CV.Mandar Maju, Bandung,cetakan ke-2 2012.
Muladi, Hak Asasi Manusia, Refika Aditama, Bandung, cetakan ke-3 2009.
T Mulya Lubis, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia , Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,1993.

LAIN-LAIN
Internet







[1] Bahder Johan Nasution,Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia, CV.Mandar Maju,Bandung,2012
[2] Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Reflika Aditama, Bandung,Cetakan ke-3 2009
[3] T.Mulya Lubis,Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia Isu dan Tindakan,Yayasan Obor Indonesia,Jakarta,1993,hlm.9-17.

[4] Ibid.hlm.
[5] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani,Jakarta,2003.hlm.67-68.
[6] T.Mulya Lubis,Op.cit,hlm.2.
[7] Bahder Johan Nasution,Op.Cit,hlm.129
[8]. T.Mulya Lubis, Op.cit,hlm.43-44.
[9] T.Mulya Lubis,Op.cit,.hlm.44
[10] Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,Jakarta,2008,hlm.374-375

Tidak ada komentar:

Posting Komentar