KEKUATAN SOSIAL INDONESIA
LSM SEBAGAI KEKUATAN SOSIAL BARU
Kebanyakan studi ilmu politik memfokuskan pada peranan dari badan dan kelembagaan formal di dalam sistem politik. Hubungan yang dinamis antara negara dan masyarakat lebih banyak diwakili oleh lembaga kepresidenan, parlemen, dan kehakiman di satu pihak; dan di pihak lain institusi politik yang telah mapan, seperti partai politik (parpol), organisasi kemasyarakatan (ormas), dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya, baik dari kalangan bisnis, profesi, dan lainnya. Karena itu, LSM merupakan fenomena baru dalam sistem politik, dan sejujurnya belum banyak dimengerti orang meskipun sudah hadir sejak tahun 1960-an.
LSM sebagai Sektor Ketiga
Bila kita ingat pada zaman Orba, LSM pada masa itu identik dengan kelompok antipemerintah atau oposan atau bahkan dituduh sebagai "agen asing". Masa Orba adalah masa yang gelap dalam demokrasi. Ketika itu kita selalu merasakan kehadiran militer dan intel di mana-mana. Pertemuan atau seminar dengan mudah dilarang. Banyak orang takut atau khawatir bisa "diciduk" setiap saat atau dituduh PKI. Kasus-kasus penindasan dalam isu-isu pertanahan, perburuhan, kehutanan, dan lingkungan bukan main banyaknya. Di pihak lain, penguasa dengan mudah menumpuk kekayaan dan kekuasaan tanpa batas, dan Soeharto terus-menerus menjadi presiden tanpa kita tahu kapan berakhirnya. LSM pada saat itu adalah musuh penguasa. Dan akibatnya yang positif, semua aktivis LSM, meskipun berbeda-beda ideologi dan posisi, merasa menjadi satu dan mempunyai musuh yang satu. Baru semenjak reformasi, di mana ada kebebasan politik, LSM dianggap sebagai salah satu bagian kelembagaan politik yang penting dan diakui.
Kini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), LSM telah tumbuh dari hanya berjumlah sekitar 10.000 di tahun 1996 menjadi sekitar 70.000 di tahun 2000. Fenomena ini sama dengan yang terjadi di berbagai negara lainnya, di mana jumlah LSM telah meningkat secara tajam. Karena itu tidak mengherankan, bahwa LSM telah menjadi "Sektor Ketiga", yaitu sektor publik yang mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Sektor Pertama adalah sektor negara atau pemerintah yang berkewajiban menjamin pelayanan bagi warga negaranya dan menyediakan kebutuhan sosial dasar, sedangkan Sektor Kedua adalah sektor swasta yang terdiri dari kalangan bisnis dan industrial yang bertujuan mencari penghidupan dan menciptakan kekayaan. Sebagai Sektor Ketiga, maka LSM beroperasi di luar pemerintah dan pasar. Mengutip Salamon dan Anheier, LSM mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur; (2) Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah; (3) Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit) kepada direktur atau pengurusnya; (4) Menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; (5) Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu; (6) Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama; dan (7) Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu.
Studi tentang LSM mula-mula lebih banyak dalam konteks studi manajemen. LSM dikategorikan sebagai sektor voluntary, yaitu terletak di wilayah yang merupakan irisan dari dunia birokratik dengan dunia swasta. Akan tetapi, sejak awal tahun 1990, mengutip buku Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, dinyatakan bahwa telah terjadi ekspansi demokratik secara global dengan menyebarnya tuntutan populer akan kebebasan politik, representasi, partisipasi, dan akuntabilitas. Hal ini mendorong munculnya teori "masyarakat sipil" (civil society) dan "gerakan sosial" (social movement). Dengan mengutip Joel Migdal, maka agen-agen utama dalam hubungan negara dan masyarakat adalah "kekuatan-kekuatan sosial" (social forces), dan bukan lagi "kelas-kelas sosial" (social classes). LSM adalah salah satu kekuatan sosial tersebut, yang lahir karena respons yang spontan dari berbagai kelompok di masyarakat yang peduli karena adanya stagnasi ekonomi, represi politik, dan sektarianisme yang menghinggapi kelompok-kelompok revolusioner. Dengan memasukkan LSM sebagai bagian dari "organisasi masyarakat sipil" dan "gerakan sosial baru", maka dimensi analisisnya juga menjadi berbeda sama sekali. Dari sinilah LSM menjadi bagian penting dari sistem politik yang berubah di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.
LSM dan Otoriterisme Orba
Orba sebagai sebuah negara developmental terus-menerus berusaha menciptakan legitimasinya melalui kinerja ekonominya. Dan pencapaian ekonomi ini yang sebenarnya mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok kritis yang baru di masyarakat, yaitu kalangan wiraswastawan, mahasiswa, kaum profesional, dan LSM-LSM, yang sesungguhnya juga diuntungkan dari kebijakan ekonomi pemerintah.
Akan tetapi, justru kelompok-kelompok kritis baru inilah yang menuntut diadakannya keterbukaan politik dari rezim Soeharto. Dan hal inilah yang tidak dipenuhi oleh Soeharto, yang selama tiga dekade kekuasaannya berusaha terus- menerus menumpuk kekuasaannya dan mengabaikan tuntutan masyarakat. Bentuk pemerintahan otoriter semacam inilah yang berdampak negatif kepada kekuasaan Soeharto sendiri karena memunculkan ketidakpuasan dari berbagai kelompok tersebut dan menggerogoti basis kekuasaannya sendiri. Tiadanya "keterbukaan politik" merupakan dasar dari ketidakpuasan kelas menengah yang baru tumbuh di Indonesia. Di sinilah kiranya tempat dari bertumbuhnya LSM. Mereka inilah yang banyak di antaranya mendirikan atau bergabung ke dalam LSM, baik para mantan aktivis mahasiswa maupun pemimpin-pemimpin sosial semacam Abdurrahman Wahid.
LSM telah bekerja di bawah tekanan yang terus-menerus di masa Orba sehingga mereka harus sering mengubah strategi dan pendekatannya. Eldridge telah membuat tiga model paradigma LSM dalam hubungannya dengan negara, yaitu: (1) kerja sama tingkat tinggi-pembangunan akar rumput (grassroot); (2) politik tingkat tinggi-mobilisasi akar rumput; dan (3) pemberdayaan dari bawah. Hal ini paralel dengan model pendekatan LSM yang diajukan oleh David Korten tentang LSM generasi satu (pendekatan kesejahteraan), generasi dua (pendekatan developmental), dan generasi tiga (pendekatan pemberdayaan). Juga tidak jauh berbeda dari Charles Elliot tentang tiga jenis strategi LSM, yaitu kesejahteraan, pembangunan, dan pemberdayaan.
Patut dicatat bahwa perubahan strategi dan pendekatan LSM mulai berubah karena kritik internal di dalam dirinya, yang tertuang dalam "Deklarasi Baturraden" tanggal 19 Desember 1990, yang mengkritik kecenderungan konservatif di kalangan LSM, serta menuntut strategi baru yang bersifat pemberdayaan akar rumput. Sejak tahun 1990-an ke atas, LSM secara eksplisit masuk ke dalam pengorganisasian politik, yang disebut sebagai LSM advokasi atau masuk ke dalam gerakan sosial. Fenomena ini menarik karena LSM telah ikut mengubah dunia politik tradisional dari sekadar lembaga-lembaga politik formal dan tradisional menjadi berorientasi pada kekuatan masyarakat.
Gerakan advokasi oleh LSM
Sejak tahun 1990-an, semakin banyak LSM yang bergerak "melawan" pemerintah. Sepanjang dasawarsa 1990-an, hubungan antara pemerintah dan LSM semakin memburuk. Tuduhan utama adalah LSM telah berlawanan dengan ideologi negara maupun dengan kepentingan nasional. Akan tetapi, faktor sebenarnya dari memburuknya hubungan tersebut adalah karena tumbuhnya generasi baru LSM yang berorientasi radikal yang menentang berbagai kebijakan pemerintah. LSM telah dituduh "berpolitik" dan mengorganisasikan rakyat miskin. Konfrontasi terbuka antara pemerintah dan LSM yang mencuat ke publik dikenal sebagai "insiden Brussel" di tahun 1989, yang dianggap menghina Presiden Soeharto dalam kunjungannya ke Brussel, Belgia, dan yang menyebabkan pengejaran dan penangkapan atas aktivis-aktivis LSM.
Puncak kemarahan rezim adalah ditutupnya IGGI oleh Soeharto pada April 1992. Akan tetapi, LSM juga semakin berubah, dari membantu kaum miskin secara jangka pendek, kini mengarah ke tuntutan perubahan norma, nilai, struktur, dan kelembagaan yang telah menyebabkan ketidakadilan dan penindasan. Sejak itu, LSM memperkuat resistensi mereka terhadap rezim Soeharto dengan mengedepankan aksi-aksi kolektif populer yang terkait dengan organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok akar rumput.
Sejak itu, sebenarnya di kalangan LSM juga terjadi polarisasi, antara LSM yang bersifat "pembangunan" dan LSM yang bersifat "gerakan". Kedua hal ini dibedakan berdasarkan orientasinya, yaitu dalam hal: (1) peran; (2) falsafah organisasi; (3) misi dan tujuan; (4) bidang kegiatan; (5) pandangan atas kemiskinan; (6) hubungannya dengan kelompok sasaran; dan (7) hubungannya dengan pemerintah. Sebenarnya perubahan ke arah gerakan sosial dan pendekatan pemberdayaan juga muncul karena beberapa alasan, yaitu: (a) adanya radikalisasi di dalam gerakan mahasiswa, di mana gerakan mahasiswa yang tersumbat sejak NKK/BKK kemudian menyalurkan aspirasinya ke LSM; (b) peran kaum intelektual yang membawa perspektif radikal ke komunitas LSM, seperti lewat teori ketergantungan dan teori penyadarannya Paulo Freire; (c) meningkatnya represi, eksploitasi, dan marjinalisasi kelas-kelas bawah (petani, buruh, sektor informal, dan lainnya) yang menyumbang pada radikalisasi LSM. Sejak itu, pemberdayaan akar rumput menjadi agenda utama dari berbagai LSM gerakan.
Di pihak lain, jenis LSM yang bersifat "politik" ini disebut sebagai LSM advokasi. LSM advokasi didefinisikan sebagai "mereka yang kegiatannya bertujuan untuk adanya perubahan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah". Ciri-ciri utama LSM advokasi adalah: (a) Target pada badan-badan pemerintah; (b) Target pada badan-badan internasional; (c) Adanya strategi advokasi; (d) Adanya metode advokasi; dan (e) Adanya tujuan-tujuan transformasi. Isu-isu advokasi juga dilakukan lewat pembentukan opini publik di media massa. Bagi LSM, advokasi bukan hanya alat untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, tetapi juga untuk memperluas ruang politik mereka.
Dengan mempertanyakan legitimasi pemerintah lewat isu-isu tertentu, semacam lingkungan hidup, maka LSM dapat sekaligus mengkritik kegagalan pemerintah dalam kebijakan pembangunannya. Dalam banyak hal, advokasi LSM menyentuh masalah-masalah perubahan politik. Dengan sendirinya ini membuat mereka berhadapan langsung dengan kekuasaan otoriter negara Orba. Beberapa isu politik yang biasa diadvokasikan LSM adalah mengenai: (1) kebebasan berorganisasi; (2) kebebasan berekspresi; (3) pemilu yang adil; (4) aturan hukum (rule of law); (5) UU Antisubversi dan Haatzaai Artikelen; dan (6) UU yang membatasi ekspresi politik.
Strategi advokasi LSM Indonesia umumnya berkisar pada tiga hal, yaitu: (1) memilih pengadilan sebagai arena politik; (2) menargetkan pada perubahan peraturan/UU; dan (3) menggali dukungan advokasi internasional. Strategi ini ditempuh agar mendapatkan cara yang lebih aman dan efektif. Bagi LSM, advokasi politik, seperti melalui DPR, dipandang terlalu riskan dan tidak berguna karena DPR dikuasai pemerintah juga. Karena itu, advokasi lebih banyak dilakukan lewat bantuan media massa dan lewat pertemuan-pertemuan publik. Advokasi juga dilakukan melalui jaringan-jaringan yang ada maupun lewat pembentukan koalisi-koalisi.
Pada akhirnya, dampak advokasi LSM dalam hal membuat hidup yang lebih baik bagi komunitas lokal tidaklah signifikan. Kasus- kasus yang diangkat dari Kedung Ombo, Jelmu Sibak, dan perburuhan tidak menghasilkan kompensasi yang adil kepada masyarakat lokal. Dampak LSM hanya dapat dilihat dari aspek politik, seperti dalam kasus Kedung Ombo, pemerintah menjadi sadar akan adanya kemungkinan citra negatif dari pelaksanaan program/proyek pemerintah yang salah. Demikian pula di perburuhan, pemogokan kini diakui sebagai bentuk ekspresi yang sah dari perselisihan perburuhan. Di Jelmu Sibak, keberhasilannya terletak pada dihentikannya kegiatan pembalakan hutan dan naiknya isu tersebut ke tingkat nasional.
LSM pasca-Soeharto
Apa yang dikerjakan LSM setelah jatuhnya Soeharto? Ini adalah pertanyaan yang muncul setelah berubahnya konstelasi politik di Indonesia. Jatuhnya rezim Soeharto menandai juga transisi ke demokrasi, yang populer disebut sebagai reformasi. Hanya dalam jangka waktu tiga tahun sejak 1998, ada tiga presiden Indonesia silih berganti. Ini transisi politik dengan dinamika politik yang luar biasa, terutama bila dibandingkan dengan kekuasaan Presiden Soeharto selama 32 tahun. Sejak reformasi itu pula, lahir berbagai macam parpol dan ormas, serta meningkatnya jumlah LSM.
Kehadiran LSM, baik yang bersifat pembangunan maupun gerakan, masihlah diperlukan. Dua alasannya adalah: pertama, meningkatnya kemiskinan, baik di kota maupun desa, karena konsekuensi pelaksanaan kebijakan penyesuaian struktural yang mengakibatkan pengangguran, penghapusan subsidi pemerintah, dan ambruknya sistem jaminan sosial. Meningkatnya kemiskinan membuat relevannya LSM pembangunan dalam membantu masyarakat.
Kedua, meningkatnya konflik dan ketidakteraturan publik di seluruh Indonesia selama periode transisi ke demokrasi membuat relevan hadirnya LSM gerakan. Dengan demikian, peran LSM pada era pasca-Soeharto bisa dirumuskan sebagai "memfasilitasi transisi ke demokrasi". LSM adalah lembaga yang mempunyai akses ke organisasi akar-rumput dan mempunyai komitmen kepada kelompok-kelompok marjinal.
Meskipun demikian, banyak tantangan yang dihadapi LSM dalam era transisi ke demokrasi, sebagaimana terjadi dalam kasus Brasil dan Uruguay. Di negara-negara tersebut, masyarakatnya menoleh kepada partai-partai politik yang lebih dapat memberikan simbol-simbol dan identitas ideologis yang lebih kuat. Hal seperti itu juga dalam derajat tertentu terjadi di Indonesia. Karena itu, perlu bagi LSM untuk meredefinisikan kembali peran-peran mereka saat ini. LSM perlu terlibat dalam konteks politik yang lebih besar.
LSM Memperkuat Nilai-nilai Perjuangan
Menghadapi transisi demokrasi yang tampaknya tidak berkesudahan ini, ditambah lagi kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, bagaimana peran dan posisi LSM sekarang? Setelah "Reposisi Ornop" tahun 1999, maka LSM belum lagi mengadakan evaluasi dan reposisi dari dalam. Saat ini kebanyakan LSM menjalankan spesialisasi bidang yang semakin beragam dan dengan keahlian (kompetensi) yang cukup memadai, dan ini cukup diakui oleh pihak-pihak lain, baik pemerintah maupun badan asing. Meskipun demikian, LSM bukanlah wadah profesi dan bukan juga wadah politik. LSM adalah gerakan sosial. Banyaknya LSM "gadungan" dan LSM "buatan" dari pihak-pihak luar yang oportunistik tidak menghancurkan reputasi LSM.
Meskipun jumlahnya semakin besar, LSM adalah juga komunitas yang kecil karena adanya komunitas inti. Masing- masing aktivis mengetahui dan mengikuti record aktivis lainnya. Dalam masa reformasi, banyak aktivis yang "menyimpang" atau "keluar" dari etika LSM, dan segera namanya dicoret secara "otomatis" dari keanggotaan komunitas LSM. Karena itu, memang di balik membesarnya LSM, nilai-nilai "puritan" perjuangan LSM masihlah menjadi bawah sadar para aktivisnya, serta menjadi ukuran dalam menilai gerakan mereka sendiri. Banyak penelitian tentang LSM yang tidak menyadari hal tersebut. Seberapa pun banyaknya varian LSM, semua di dalamnya menyadari bahwa LSM adalah bagian dari gerakan sosial yang bekerja dan berpihak ke rakyat kecil. Dan, itu yang menyatukan semua aktivis LSM di seluruh Indonesia dan juga di seluruh dunia.
LSM SEBAGAI KEKUATAN SOSIAL BARU
Kebanyakan studi ilmu politik memfokuskan pada peranan dari badan dan kelembagaan formal di dalam sistem politik. Hubungan yang dinamis antara negara dan masyarakat lebih banyak diwakili oleh lembaga kepresidenan, parlemen, dan kehakiman di satu pihak; dan di pihak lain institusi politik yang telah mapan, seperti partai politik (parpol), organisasi kemasyarakatan (ormas), dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya, baik dari kalangan bisnis, profesi, dan lainnya. Karena itu, LSM merupakan fenomena baru dalam sistem politik, dan sejujurnya belum banyak dimengerti orang meskipun sudah hadir sejak tahun 1960-an.
LSM sebagai Sektor Ketiga
Bila kita ingat pada zaman Orba, LSM pada masa itu identik dengan kelompok antipemerintah atau oposan atau bahkan dituduh sebagai "agen asing". Masa Orba adalah masa yang gelap dalam demokrasi. Ketika itu kita selalu merasakan kehadiran militer dan intel di mana-mana. Pertemuan atau seminar dengan mudah dilarang. Banyak orang takut atau khawatir bisa "diciduk" setiap saat atau dituduh PKI. Kasus-kasus penindasan dalam isu-isu pertanahan, perburuhan, kehutanan, dan lingkungan bukan main banyaknya. Di pihak lain, penguasa dengan mudah menumpuk kekayaan dan kekuasaan tanpa batas, dan Soeharto terus-menerus menjadi presiden tanpa kita tahu kapan berakhirnya. LSM pada saat itu adalah musuh penguasa. Dan akibatnya yang positif, semua aktivis LSM, meskipun berbeda-beda ideologi dan posisi, merasa menjadi satu dan mempunyai musuh yang satu. Baru semenjak reformasi, di mana ada kebebasan politik, LSM dianggap sebagai salah satu bagian kelembagaan politik yang penting dan diakui.
Kini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), LSM telah tumbuh dari hanya berjumlah sekitar 10.000 di tahun 1996 menjadi sekitar 70.000 di tahun 2000. Fenomena ini sama dengan yang terjadi di berbagai negara lainnya, di mana jumlah LSM telah meningkat secara tajam. Karena itu tidak mengherankan, bahwa LSM telah menjadi "Sektor Ketiga", yaitu sektor publik yang mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Sektor Pertama adalah sektor negara atau pemerintah yang berkewajiban menjamin pelayanan bagi warga negaranya dan menyediakan kebutuhan sosial dasar, sedangkan Sektor Kedua adalah sektor swasta yang terdiri dari kalangan bisnis dan industrial yang bertujuan mencari penghidupan dan menciptakan kekayaan. Sebagai Sektor Ketiga, maka LSM beroperasi di luar pemerintah dan pasar. Mengutip Salamon dan Anheier, LSM mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur; (2) Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah; (3) Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit) kepada direktur atau pengurusnya; (4) Menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; (5) Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu; (6) Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama; dan (7) Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu.
Studi tentang LSM mula-mula lebih banyak dalam konteks studi manajemen. LSM dikategorikan sebagai sektor voluntary, yaitu terletak di wilayah yang merupakan irisan dari dunia birokratik dengan dunia swasta. Akan tetapi, sejak awal tahun 1990, mengutip buku Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, dinyatakan bahwa telah terjadi ekspansi demokratik secara global dengan menyebarnya tuntutan populer akan kebebasan politik, representasi, partisipasi, dan akuntabilitas. Hal ini mendorong munculnya teori "masyarakat sipil" (civil society) dan "gerakan sosial" (social movement). Dengan mengutip Joel Migdal, maka agen-agen utama dalam hubungan negara dan masyarakat adalah "kekuatan-kekuatan sosial" (social forces), dan bukan lagi "kelas-kelas sosial" (social classes). LSM adalah salah satu kekuatan sosial tersebut, yang lahir karena respons yang spontan dari berbagai kelompok di masyarakat yang peduli karena adanya stagnasi ekonomi, represi politik, dan sektarianisme yang menghinggapi kelompok-kelompok revolusioner. Dengan memasukkan LSM sebagai bagian dari "organisasi masyarakat sipil" dan "gerakan sosial baru", maka dimensi analisisnya juga menjadi berbeda sama sekali. Dari sinilah LSM menjadi bagian penting dari sistem politik yang berubah di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.
LSM dan Otoriterisme Orba
Orba sebagai sebuah negara developmental terus-menerus berusaha menciptakan legitimasinya melalui kinerja ekonominya. Dan pencapaian ekonomi ini yang sebenarnya mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok kritis yang baru di masyarakat, yaitu kalangan wiraswastawan, mahasiswa, kaum profesional, dan LSM-LSM, yang sesungguhnya juga diuntungkan dari kebijakan ekonomi pemerintah.
Akan tetapi, justru kelompok-kelompok kritis baru inilah yang menuntut diadakannya keterbukaan politik dari rezim Soeharto. Dan hal inilah yang tidak dipenuhi oleh Soeharto, yang selama tiga dekade kekuasaannya berusaha terus- menerus menumpuk kekuasaannya dan mengabaikan tuntutan masyarakat. Bentuk pemerintahan otoriter semacam inilah yang berdampak negatif kepada kekuasaan Soeharto sendiri karena memunculkan ketidakpuasan dari berbagai kelompok tersebut dan menggerogoti basis kekuasaannya sendiri. Tiadanya "keterbukaan politik" merupakan dasar dari ketidakpuasan kelas menengah yang baru tumbuh di Indonesia. Di sinilah kiranya tempat dari bertumbuhnya LSM. Mereka inilah yang banyak di antaranya mendirikan atau bergabung ke dalam LSM, baik para mantan aktivis mahasiswa maupun pemimpin-pemimpin sosial semacam Abdurrahman Wahid.
LSM telah bekerja di bawah tekanan yang terus-menerus di masa Orba sehingga mereka harus sering mengubah strategi dan pendekatannya. Eldridge telah membuat tiga model paradigma LSM dalam hubungannya dengan negara, yaitu: (1) kerja sama tingkat tinggi-pembangunan akar rumput (grassroot); (2) politik tingkat tinggi-mobilisasi akar rumput; dan (3) pemberdayaan dari bawah. Hal ini paralel dengan model pendekatan LSM yang diajukan oleh David Korten tentang LSM generasi satu (pendekatan kesejahteraan), generasi dua (pendekatan developmental), dan generasi tiga (pendekatan pemberdayaan). Juga tidak jauh berbeda dari Charles Elliot tentang tiga jenis strategi LSM, yaitu kesejahteraan, pembangunan, dan pemberdayaan.
Patut dicatat bahwa perubahan strategi dan pendekatan LSM mulai berubah karena kritik internal di dalam dirinya, yang tertuang dalam "Deklarasi Baturraden" tanggal 19 Desember 1990, yang mengkritik kecenderungan konservatif di kalangan LSM, serta menuntut strategi baru yang bersifat pemberdayaan akar rumput. Sejak tahun 1990-an ke atas, LSM secara eksplisit masuk ke dalam pengorganisasian politik, yang disebut sebagai LSM advokasi atau masuk ke dalam gerakan sosial. Fenomena ini menarik karena LSM telah ikut mengubah dunia politik tradisional dari sekadar lembaga-lembaga politik formal dan tradisional menjadi berorientasi pada kekuatan masyarakat.
Gerakan advokasi oleh LSM
Sejak tahun 1990-an, semakin banyak LSM yang bergerak "melawan" pemerintah. Sepanjang dasawarsa 1990-an, hubungan antara pemerintah dan LSM semakin memburuk. Tuduhan utama adalah LSM telah berlawanan dengan ideologi negara maupun dengan kepentingan nasional. Akan tetapi, faktor sebenarnya dari memburuknya hubungan tersebut adalah karena tumbuhnya generasi baru LSM yang berorientasi radikal yang menentang berbagai kebijakan pemerintah. LSM telah dituduh "berpolitik" dan mengorganisasikan rakyat miskin. Konfrontasi terbuka antara pemerintah dan LSM yang mencuat ke publik dikenal sebagai "insiden Brussel" di tahun 1989, yang dianggap menghina Presiden Soeharto dalam kunjungannya ke Brussel, Belgia, dan yang menyebabkan pengejaran dan penangkapan atas aktivis-aktivis LSM.
Puncak kemarahan rezim adalah ditutupnya IGGI oleh Soeharto pada April 1992. Akan tetapi, LSM juga semakin berubah, dari membantu kaum miskin secara jangka pendek, kini mengarah ke tuntutan perubahan norma, nilai, struktur, dan kelembagaan yang telah menyebabkan ketidakadilan dan penindasan. Sejak itu, LSM memperkuat resistensi mereka terhadap rezim Soeharto dengan mengedepankan aksi-aksi kolektif populer yang terkait dengan organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok akar rumput.
Sejak itu, sebenarnya di kalangan LSM juga terjadi polarisasi, antara LSM yang bersifat "pembangunan" dan LSM yang bersifat "gerakan". Kedua hal ini dibedakan berdasarkan orientasinya, yaitu dalam hal: (1) peran; (2) falsafah organisasi; (3) misi dan tujuan; (4) bidang kegiatan; (5) pandangan atas kemiskinan; (6) hubungannya dengan kelompok sasaran; dan (7) hubungannya dengan pemerintah. Sebenarnya perubahan ke arah gerakan sosial dan pendekatan pemberdayaan juga muncul karena beberapa alasan, yaitu: (a) adanya radikalisasi di dalam gerakan mahasiswa, di mana gerakan mahasiswa yang tersumbat sejak NKK/BKK kemudian menyalurkan aspirasinya ke LSM; (b) peran kaum intelektual yang membawa perspektif radikal ke komunitas LSM, seperti lewat teori ketergantungan dan teori penyadarannya Paulo Freire; (c) meningkatnya represi, eksploitasi, dan marjinalisasi kelas-kelas bawah (petani, buruh, sektor informal, dan lainnya) yang menyumbang pada radikalisasi LSM. Sejak itu, pemberdayaan akar rumput menjadi agenda utama dari berbagai LSM gerakan.
Di pihak lain, jenis LSM yang bersifat "politik" ini disebut sebagai LSM advokasi. LSM advokasi didefinisikan sebagai "mereka yang kegiatannya bertujuan untuk adanya perubahan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah". Ciri-ciri utama LSM advokasi adalah: (a) Target pada badan-badan pemerintah; (b) Target pada badan-badan internasional; (c) Adanya strategi advokasi; (d) Adanya metode advokasi; dan (e) Adanya tujuan-tujuan transformasi. Isu-isu advokasi juga dilakukan lewat pembentukan opini publik di media massa. Bagi LSM, advokasi bukan hanya alat untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, tetapi juga untuk memperluas ruang politik mereka.
Dengan mempertanyakan legitimasi pemerintah lewat isu-isu tertentu, semacam lingkungan hidup, maka LSM dapat sekaligus mengkritik kegagalan pemerintah dalam kebijakan pembangunannya. Dalam banyak hal, advokasi LSM menyentuh masalah-masalah perubahan politik. Dengan sendirinya ini membuat mereka berhadapan langsung dengan kekuasaan otoriter negara Orba. Beberapa isu politik yang biasa diadvokasikan LSM adalah mengenai: (1) kebebasan berorganisasi; (2) kebebasan berekspresi; (3) pemilu yang adil; (4) aturan hukum (rule of law); (5) UU Antisubversi dan Haatzaai Artikelen; dan (6) UU yang membatasi ekspresi politik.
Strategi advokasi LSM Indonesia umumnya berkisar pada tiga hal, yaitu: (1) memilih pengadilan sebagai arena politik; (2) menargetkan pada perubahan peraturan/UU; dan (3) menggali dukungan advokasi internasional. Strategi ini ditempuh agar mendapatkan cara yang lebih aman dan efektif. Bagi LSM, advokasi politik, seperti melalui DPR, dipandang terlalu riskan dan tidak berguna karena DPR dikuasai pemerintah juga. Karena itu, advokasi lebih banyak dilakukan lewat bantuan media massa dan lewat pertemuan-pertemuan publik. Advokasi juga dilakukan melalui jaringan-jaringan yang ada maupun lewat pembentukan koalisi-koalisi.
Pada akhirnya, dampak advokasi LSM dalam hal membuat hidup yang lebih baik bagi komunitas lokal tidaklah signifikan. Kasus- kasus yang diangkat dari Kedung Ombo, Jelmu Sibak, dan perburuhan tidak menghasilkan kompensasi yang adil kepada masyarakat lokal. Dampak LSM hanya dapat dilihat dari aspek politik, seperti dalam kasus Kedung Ombo, pemerintah menjadi sadar akan adanya kemungkinan citra negatif dari pelaksanaan program/proyek pemerintah yang salah. Demikian pula di perburuhan, pemogokan kini diakui sebagai bentuk ekspresi yang sah dari perselisihan perburuhan. Di Jelmu Sibak, keberhasilannya terletak pada dihentikannya kegiatan pembalakan hutan dan naiknya isu tersebut ke tingkat nasional.
LSM pasca-Soeharto
Apa yang dikerjakan LSM setelah jatuhnya Soeharto? Ini adalah pertanyaan yang muncul setelah berubahnya konstelasi politik di Indonesia. Jatuhnya rezim Soeharto menandai juga transisi ke demokrasi, yang populer disebut sebagai reformasi. Hanya dalam jangka waktu tiga tahun sejak 1998, ada tiga presiden Indonesia silih berganti. Ini transisi politik dengan dinamika politik yang luar biasa, terutama bila dibandingkan dengan kekuasaan Presiden Soeharto selama 32 tahun. Sejak reformasi itu pula, lahir berbagai macam parpol dan ormas, serta meningkatnya jumlah LSM.
Kehadiran LSM, baik yang bersifat pembangunan maupun gerakan, masihlah diperlukan. Dua alasannya adalah: pertama, meningkatnya kemiskinan, baik di kota maupun desa, karena konsekuensi pelaksanaan kebijakan penyesuaian struktural yang mengakibatkan pengangguran, penghapusan subsidi pemerintah, dan ambruknya sistem jaminan sosial. Meningkatnya kemiskinan membuat relevannya LSM pembangunan dalam membantu masyarakat.
Kedua, meningkatnya konflik dan ketidakteraturan publik di seluruh Indonesia selama periode transisi ke demokrasi membuat relevan hadirnya LSM gerakan. Dengan demikian, peran LSM pada era pasca-Soeharto bisa dirumuskan sebagai "memfasilitasi transisi ke demokrasi". LSM adalah lembaga yang mempunyai akses ke organisasi akar-rumput dan mempunyai komitmen kepada kelompok-kelompok marjinal.
Meskipun demikian, banyak tantangan yang dihadapi LSM dalam era transisi ke demokrasi, sebagaimana terjadi dalam kasus Brasil dan Uruguay. Di negara-negara tersebut, masyarakatnya menoleh kepada partai-partai politik yang lebih dapat memberikan simbol-simbol dan identitas ideologis yang lebih kuat. Hal seperti itu juga dalam derajat tertentu terjadi di Indonesia. Karena itu, perlu bagi LSM untuk meredefinisikan kembali peran-peran mereka saat ini. LSM perlu terlibat dalam konteks politik yang lebih besar.
LSM Memperkuat Nilai-nilai Perjuangan
Menghadapi transisi demokrasi yang tampaknya tidak berkesudahan ini, ditambah lagi kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, bagaimana peran dan posisi LSM sekarang? Setelah "Reposisi Ornop" tahun 1999, maka LSM belum lagi mengadakan evaluasi dan reposisi dari dalam. Saat ini kebanyakan LSM menjalankan spesialisasi bidang yang semakin beragam dan dengan keahlian (kompetensi) yang cukup memadai, dan ini cukup diakui oleh pihak-pihak lain, baik pemerintah maupun badan asing. Meskipun demikian, LSM bukanlah wadah profesi dan bukan juga wadah politik. LSM adalah gerakan sosial. Banyaknya LSM "gadungan" dan LSM "buatan" dari pihak-pihak luar yang oportunistik tidak menghancurkan reputasi LSM.
Meskipun jumlahnya semakin besar, LSM adalah juga komunitas yang kecil karena adanya komunitas inti. Masing- masing aktivis mengetahui dan mengikuti record aktivis lainnya. Dalam masa reformasi, banyak aktivis yang "menyimpang" atau "keluar" dari etika LSM, dan segera namanya dicoret secara "otomatis" dari keanggotaan komunitas LSM. Karena itu, memang di balik membesarnya LSM, nilai-nilai "puritan" perjuangan LSM masihlah menjadi bawah sadar para aktivisnya, serta menjadi ukuran dalam menilai gerakan mereka sendiri. Banyak penelitian tentang LSM yang tidak menyadari hal tersebut. Seberapa pun banyaknya varian LSM, semua di dalamnya menyadari bahwa LSM adalah bagian dari gerakan sosial yang bekerja dan berpihak ke rakyat kecil. Dan, itu yang menyatukan semua aktivis LSM di seluruh Indonesia dan juga di seluruh dunia.
Berdasarkan referensi buku:
Hadiwinata, Bob S. The Politics of NGOs in Indonesia: Developing Democracy and Managing a Movement. New York: Routledge Curzon, 2003
Ganie-Rochman, Meuthia. An Uphill Struggle: Advocacy NGOs Under Soeharto’s New Order. Depok: Lab Sosio FISIP UI, 2002
Kebanyakan studi ilmu politik memfokuskan pada peranan dari badan dan kelembagaan formal di dalam sistem politik. Hubungan yang dinamis antara negara dan masyarakat lebih banyak diwakili oleh lembaga kepresidenan, parlemen, dan kehakiman di satu pihak; dan di pihak lain institusi politik yang telah mapan, seperti partai politik (parpol), organisasi kemasyarakatan (ormas), dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya, baik dari kalangan bisnis, profesi, dan lainnya. Karena itu, LSM merupakan fenomena baru dalam sistem politik, dan sejujurnya belum banyak dimengerti orang meskipun sudah hadir sejak tahun 1960-an.
LSM sebagai Sektor Ketiga
Bila kita ingat pada zaman Orba, LSM pada masa itu identik dengan kelompok antipemerintah atau oposan atau bahkan dituduh sebagai "agen asing". Masa Orba adalah masa yang gelap dalam demokrasi. Ketika itu kita selalu merasakan kehadiran militer dan intel di mana-mana. Pertemuan atau seminar dengan mudah dilarang. Banyak orang takut atau khawatir bisa "diciduk" setiap saat atau dituduh PKI. Kasus-kasus penindasan dalam isu-isu pertanahan, perburuhan, kehutanan, dan lingkungan bukan main banyaknya. Di pihak lain, penguasa dengan mudah menumpuk kekayaan dan kekuasaan tanpa batas, dan Soeharto terus-menerus menjadi presiden tanpa kita tahu kapan berakhirnya. LSM pada saat itu adalah musuh penguasa. Dan akibatnya yang positif, semua aktivis LSM, meskipun berbeda-beda ideologi dan posisi, merasa menjadi satu dan mempunyai musuh yang satu. Baru semenjak reformasi, di mana ada kebebasan politik, LSM dianggap sebagai salah satu bagian kelembagaan politik yang penting dan diakui.
Kini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), LSM telah tumbuh dari hanya berjumlah sekitar 10.000 di tahun 1996 menjadi sekitar 70.000 di tahun 2000. Fenomena ini sama dengan yang terjadi di berbagai negara lainnya, di mana jumlah LSM telah meningkat secara tajam. Karena itu tidak mengherankan, bahwa LSM telah menjadi "Sektor Ketiga", yaitu sektor publik yang mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Sektor Pertama adalah sektor negara atau pemerintah yang berkewajiban menjamin pelayanan bagi warga negaranya dan menyediakan kebutuhan sosial dasar, sedangkan Sektor Kedua adalah sektor swasta yang terdiri dari kalangan bisnis dan industrial yang bertujuan mencari penghidupan dan menciptakan kekayaan. Sebagai Sektor Ketiga, maka LSM beroperasi di luar pemerintah dan pasar. Mengutip Salamon dan Anheier, LSM mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur; (2) Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah; (3) Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit) kepada direktur atau pengurusnya; (4) Menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; (5) Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu; (6) Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama; dan (7) Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu.
Studi tentang LSM mula-mula lebih banyak dalam konteks studi manajemen. LSM dikategorikan sebagai sektor voluntary, yaitu terletak di wilayah yang merupakan irisan dari dunia birokratik dengan dunia swasta. Akan tetapi, sejak awal tahun 1990, mengutip buku Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, dinyatakan bahwa telah terjadi ekspansi demokratik secara global dengan menyebarnya tuntutan populer akan kebebasan politik, representasi, partisipasi, dan akuntabilitas. Hal ini mendorong munculnya teori "masyarakat sipil" (civil society) dan "gerakan sosial" (social movement). Dengan mengutip Joel Migdal, maka agen-agen utama dalam hubungan negara dan masyarakat adalah "kekuatan-kekuatan sosial" (social forces), dan bukan lagi "kelas-kelas sosial" (social classes). LSM adalah salah satu kekuatan sosial tersebut, yang lahir karena respons yang spontan dari berbagai kelompok di masyarakat yang peduli karena adanya stagnasi ekonomi, represi politik, dan sektarianisme yang menghinggapi kelompok-kelompok revolusioner. Dengan memasukkan LSM sebagai bagian dari "organisasi masyarakat sipil" dan "gerakan sosial baru", maka dimensi analisisnya juga menjadi berbeda sama sekali. Dari sinilah LSM menjadi bagian penting dari sistem politik yang berubah di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.
LSM dan Otoriterisme Orba
Orba sebagai sebuah negara developmental terus-menerus berusaha menciptakan legitimasinya melalui kinerja ekonominya. Dan pencapaian ekonomi ini yang sebenarnya mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok kritis yang baru di masyarakat, yaitu kalangan wiraswastawan, mahasiswa, kaum profesional, dan LSM-LSM, yang sesungguhnya juga diuntungkan dari kebijakan ekonomi pemerintah.
Akan tetapi, justru kelompok-kelompok kritis baru inilah yang menuntut diadakannya keterbukaan politik dari rezim Soeharto. Dan hal inilah yang tidak dipenuhi oleh Soeharto, yang selama tiga dekade kekuasaannya berusaha terus- menerus menumpuk kekuasaannya dan mengabaikan tuntutan masyarakat. Bentuk pemerintahan otoriter semacam inilah yang berdampak negatif kepada kekuasaan Soeharto sendiri karena memunculkan ketidakpuasan dari berbagai kelompok tersebut dan menggerogoti basis kekuasaannya sendiri. Tiadanya "keterbukaan politik" merupakan dasar dari ketidakpuasan kelas menengah yang baru tumbuh di Indonesia. Di sinilah kiranya tempat dari bertumbuhnya LSM. Mereka inilah yang banyak di antaranya mendirikan atau bergabung ke dalam LSM, baik para mantan aktivis mahasiswa maupun pemimpin-pemimpin sosial semacam Abdurrahman Wahid.
LSM telah bekerja di bawah tekanan yang terus-menerus di masa Orba sehingga mereka harus sering mengubah strategi dan pendekatannya. Eldridge telah membuat tiga model paradigma LSM dalam hubungannya dengan negara, yaitu: (1) kerja sama tingkat tinggi-pembangunan akar rumput (grassroot); (2) politik tingkat tinggi-mobilisasi akar rumput; dan (3) pemberdayaan dari bawah. Hal ini paralel dengan model pendekatan LSM yang diajukan oleh David Korten tentang LSM generasi satu (pendekatan kesejahteraan), generasi dua (pendekatan developmental), dan generasi tiga (pendekatan pemberdayaan). Juga tidak jauh berbeda dari Charles Elliot tentang tiga jenis strategi LSM, yaitu kesejahteraan, pembangunan, dan pemberdayaan.
Patut dicatat bahwa perubahan strategi dan pendekatan LSM mulai berubah karena kritik internal di dalam dirinya, yang tertuang dalam "Deklarasi Baturraden" tanggal 19 Desember 1990, yang mengkritik kecenderungan konservatif di kalangan LSM, serta menuntut strategi baru yang bersifat pemberdayaan akar rumput. Sejak tahun 1990-an ke atas, LSM secara eksplisit masuk ke dalam pengorganisasian politik, yang disebut sebagai LSM advokasi atau masuk ke dalam gerakan sosial. Fenomena ini menarik karena LSM telah ikut mengubah dunia politik tradisional dari sekadar lembaga-lembaga politik formal dan tradisional menjadi berorientasi pada kekuatan masyarakat.
Gerakan advokasi oleh LSM
Sejak tahun 1990-an, semakin banyak LSM yang bergerak "melawan" pemerintah. Sepanjang dasawarsa 1990-an, hubungan antara pemerintah dan LSM semakin memburuk. Tuduhan utama adalah LSM telah berlawanan dengan ideologi negara maupun dengan kepentingan nasional. Akan tetapi, faktor sebenarnya dari memburuknya hubungan tersebut adalah karena tumbuhnya generasi baru LSM yang berorientasi radikal yang menentang berbagai kebijakan pemerintah. LSM telah dituduh "berpolitik" dan mengorganisasikan rakyat miskin. Konfrontasi terbuka antara pemerintah dan LSM yang mencuat ke publik dikenal sebagai "insiden Brussel" di tahun 1989, yang dianggap menghina Presiden Soeharto dalam kunjungannya ke Brussel, Belgia, dan yang menyebabkan pengejaran dan penangkapan atas aktivis-aktivis LSM.
Puncak kemarahan rezim adalah ditutupnya IGGI oleh Soeharto pada April 1992. Akan tetapi, LSM juga semakin berubah, dari membantu kaum miskin secara jangka pendek, kini mengarah ke tuntutan perubahan norma, nilai, struktur, dan kelembagaan yang telah menyebabkan ketidakadilan dan penindasan. Sejak itu, LSM memperkuat resistensi mereka terhadap rezim Soeharto dengan mengedepankan aksi-aksi kolektif populer yang terkait dengan organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok akar rumput.
Sejak itu, sebenarnya di kalangan LSM juga terjadi polarisasi, antara LSM yang bersifat "pembangunan" dan LSM yang bersifat "gerakan". Kedua hal ini dibedakan berdasarkan orientasinya, yaitu dalam hal: (1) peran; (2) falsafah organisasi; (3) misi dan tujuan; (4) bidang kegiatan; (5) pandangan atas kemiskinan; (6) hubungannya dengan kelompok sasaran; dan (7) hubungannya dengan pemerintah. Sebenarnya perubahan ke arah gerakan sosial dan pendekatan pemberdayaan juga muncul karena beberapa alasan, yaitu: (a) adanya radikalisasi di dalam gerakan mahasiswa, di mana gerakan mahasiswa yang tersumbat sejak NKK/BKK kemudian menyalurkan aspirasinya ke LSM; (b) peran kaum intelektual yang membawa perspektif radikal ke komunitas LSM, seperti lewat teori ketergantungan dan teori penyadarannya Paulo Freire; (c) meningkatnya represi, eksploitasi, dan marjinalisasi kelas-kelas bawah (petani, buruh, sektor informal, dan lainnya) yang menyumbang pada radikalisasi LSM. Sejak itu, pemberdayaan akar rumput menjadi agenda utama dari berbagai LSM gerakan.
Di pihak lain, jenis LSM yang bersifat "politik" ini disebut sebagai LSM advokasi. LSM advokasi didefinisikan sebagai "mereka yang kegiatannya bertujuan untuk adanya perubahan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah". Ciri-ciri utama LSM advokasi adalah: (a) Target pada badan-badan pemerintah; (b) Target pada badan-badan internasional; (c) Adanya strategi advokasi; (d) Adanya metode advokasi; dan (e) Adanya tujuan-tujuan transformasi. Isu-isu advokasi juga dilakukan lewat pembentukan opini publik di media massa. Bagi LSM, advokasi bukan hanya alat untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, tetapi juga untuk memperluas ruang politik mereka.
Dengan mempertanyakan legitimasi pemerintah lewat isu-isu tertentu, semacam lingkungan hidup, maka LSM dapat sekaligus mengkritik kegagalan pemerintah dalam kebijakan pembangunannya. Dalam banyak hal, advokasi LSM menyentuh masalah-masalah perubahan politik. Dengan sendirinya ini membuat mereka berhadapan langsung dengan kekuasaan otoriter negara Orba. Beberapa isu politik yang biasa diadvokasikan LSM adalah mengenai: (1) kebebasan berorganisasi; (2) kebebasan berekspresi; (3) pemilu yang adil; (4) aturan hukum (rule of law); (5) UU Antisubversi dan Haatzaai Artikelen; dan (6) UU yang membatasi ekspresi politik.
Strategi advokasi LSM Indonesia umumnya berkisar pada tiga hal, yaitu: (1) memilih pengadilan sebagai arena politik; (2) menargetkan pada perubahan peraturan/UU; dan (3) menggali dukungan advokasi internasional. Strategi ini ditempuh agar mendapatkan cara yang lebih aman dan efektif. Bagi LSM, advokasi politik, seperti melalui DPR, dipandang terlalu riskan dan tidak berguna karena DPR dikuasai pemerintah juga. Karena itu, advokasi lebih banyak dilakukan lewat bantuan media massa dan lewat pertemuan-pertemuan publik. Advokasi juga dilakukan melalui jaringan-jaringan yang ada maupun lewat pembentukan koalisi-koalisi.
Pada akhirnya, dampak advokasi LSM dalam hal membuat hidup yang lebih baik bagi komunitas lokal tidaklah signifikan. Kasus- kasus yang diangkat dari Kedung Ombo, Jelmu Sibak, dan perburuhan tidak menghasilkan kompensasi yang adil kepada masyarakat lokal. Dampak LSM hanya dapat dilihat dari aspek politik, seperti dalam kasus Kedung Ombo, pemerintah menjadi sadar akan adanya kemungkinan citra negatif dari pelaksanaan program/proyek pemerintah yang salah. Demikian pula di perburuhan, pemogokan kini diakui sebagai bentuk ekspresi yang sah dari perselisihan perburuhan. Di Jelmu Sibak, keberhasilannya terletak pada dihentikannya kegiatan pembalakan hutan dan naiknya isu tersebut ke tingkat nasional.
LSM pasca-Soeharto
Apa yang dikerjakan LSM setelah jatuhnya Soeharto? Ini adalah pertanyaan yang muncul setelah berubahnya konstelasi politik di Indonesia. Jatuhnya rezim Soeharto menandai juga transisi ke demokrasi, yang populer disebut sebagai reformasi. Hanya dalam jangka waktu tiga tahun sejak 1998, ada tiga presiden Indonesia silih berganti. Ini transisi politik dengan dinamika politik yang luar biasa, terutama bila dibandingkan dengan kekuasaan Presiden Soeharto selama 32 tahun. Sejak reformasi itu pula, lahir berbagai macam parpol dan ormas, serta meningkatnya jumlah LSM.
Kehadiran LSM, baik yang bersifat pembangunan maupun gerakan, masihlah diperlukan. Dua alasannya adalah: pertama, meningkatnya kemiskinan, baik di kota maupun desa, karena konsekuensi pelaksanaan kebijakan penyesuaian struktural yang mengakibatkan pengangguran, penghapusan subsidi pemerintah, dan ambruknya sistem jaminan sosial. Meningkatnya kemiskinan membuat relevannya LSM pembangunan dalam membantu masyarakat.
Kedua, meningkatnya konflik dan ketidakteraturan publik di seluruh Indonesia selama periode transisi ke demokrasi membuat relevan hadirnya LSM gerakan. Dengan demikian, peran LSM pada era pasca-Soeharto bisa dirumuskan sebagai "memfasilitasi transisi ke demokrasi". LSM adalah lembaga yang mempunyai akses ke organisasi akar-rumput dan mempunyai komitmen kepada kelompok-kelompok marjinal.
Meskipun demikian, banyak tantangan yang dihadapi LSM dalam era transisi ke demokrasi, sebagaimana terjadi dalam kasus Brasil dan Uruguay. Di negara-negara tersebut, masyarakatnya menoleh kepada partai-partai politik yang lebih dapat memberikan simbol-simbol dan identitas ideologis yang lebih kuat. Hal seperti itu juga dalam derajat tertentu terjadi di Indonesia. Karena itu, perlu bagi LSM untuk meredefinisikan kembali peran-peran mereka saat ini. LSM perlu terlibat dalam konteks politik yang lebih besar.
LSM Memperkuat Nilai-nilai Perjuangan
Menghadapi transisi demokrasi yang tampaknya tidak berkesudahan ini, ditambah lagi kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, bagaimana peran dan posisi LSM sekarang? Setelah "Reposisi Ornop" tahun 1999, maka LSM belum lagi mengadakan evaluasi dan reposisi dari dalam. Saat ini kebanyakan LSM menjalankan spesialisasi bidang yang semakin beragam dan dengan keahlian (kompetensi) yang cukup memadai, dan ini cukup diakui oleh pihak-pihak lain, baik pemerintah maupun badan asing. Meskipun demikian, LSM bukanlah wadah profesi dan bukan juga wadah politik. LSM adalah gerakan sosial. Banyaknya LSM "gadungan" dan LSM "buatan" dari pihak-pihak luar yang oportunistik tidak menghancurkan reputasi LSM.
Meskipun jumlahnya semakin besar, LSM adalah juga komunitas yang kecil karena adanya komunitas inti. Masing- masing aktivis mengetahui dan mengikuti record aktivis lainnya. Dalam masa reformasi, banyak aktivis yang "menyimpang" atau "keluar" dari etika LSM, dan segera namanya dicoret secara "otomatis" dari keanggotaan komunitas LSM. Karena itu, memang di balik membesarnya LSM, nilai-nilai "puritan" perjuangan LSM masihlah menjadi bawah sadar para aktivisnya, serta menjadi ukuran dalam menilai gerakan mereka sendiri. Banyak penelitian tentang LSM yang tidak menyadari hal tersebut. Seberapa pun banyaknya varian LSM, semua di dalamnya menyadari bahwa LSM adalah bagian dari gerakan sosial yang bekerja dan berpihak ke rakyat kecil. Dan, itu yang menyatukan semua aktivis LSM di seluruh Indonesia dan juga di seluruh dunia.
LSM SEBAGAI KEKUATAN SOSIAL BARU
Kebanyakan studi ilmu politik memfokuskan pada peranan dari badan dan kelembagaan formal di dalam sistem politik. Hubungan yang dinamis antara negara dan masyarakat lebih banyak diwakili oleh lembaga kepresidenan, parlemen, dan kehakiman di satu pihak; dan di pihak lain institusi politik yang telah mapan, seperti partai politik (parpol), organisasi kemasyarakatan (ormas), dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya, baik dari kalangan bisnis, profesi, dan lainnya. Karena itu, LSM merupakan fenomena baru dalam sistem politik, dan sejujurnya belum banyak dimengerti orang meskipun sudah hadir sejak tahun 1960-an.
LSM sebagai Sektor Ketiga
Bila kita ingat pada zaman Orba, LSM pada masa itu identik dengan kelompok antipemerintah atau oposan atau bahkan dituduh sebagai "agen asing". Masa Orba adalah masa yang gelap dalam demokrasi. Ketika itu kita selalu merasakan kehadiran militer dan intel di mana-mana. Pertemuan atau seminar dengan mudah dilarang. Banyak orang takut atau khawatir bisa "diciduk" setiap saat atau dituduh PKI. Kasus-kasus penindasan dalam isu-isu pertanahan, perburuhan, kehutanan, dan lingkungan bukan main banyaknya. Di pihak lain, penguasa dengan mudah menumpuk kekayaan dan kekuasaan tanpa batas, dan Soeharto terus-menerus menjadi presiden tanpa kita tahu kapan berakhirnya. LSM pada saat itu adalah musuh penguasa. Dan akibatnya yang positif, semua aktivis LSM, meskipun berbeda-beda ideologi dan posisi, merasa menjadi satu dan mempunyai musuh yang satu. Baru semenjak reformasi, di mana ada kebebasan politik, LSM dianggap sebagai salah satu bagian kelembagaan politik yang penting dan diakui.
Kini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), LSM telah tumbuh dari hanya berjumlah sekitar 10.000 di tahun 1996 menjadi sekitar 70.000 di tahun 2000. Fenomena ini sama dengan yang terjadi di berbagai negara lainnya, di mana jumlah LSM telah meningkat secara tajam. Karena itu tidak mengherankan, bahwa LSM telah menjadi "Sektor Ketiga", yaitu sektor publik yang mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Sektor Pertama adalah sektor negara atau pemerintah yang berkewajiban menjamin pelayanan bagi warga negaranya dan menyediakan kebutuhan sosial dasar, sedangkan Sektor Kedua adalah sektor swasta yang terdiri dari kalangan bisnis dan industrial yang bertujuan mencari penghidupan dan menciptakan kekayaan. Sebagai Sektor Ketiga, maka LSM beroperasi di luar pemerintah dan pasar. Mengutip Salamon dan Anheier, LSM mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur; (2) Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah; (3) Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit) kepada direktur atau pengurusnya; (4) Menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; (5) Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu; (6) Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama; dan (7) Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu.
Studi tentang LSM mula-mula lebih banyak dalam konteks studi manajemen. LSM dikategorikan sebagai sektor voluntary, yaitu terletak di wilayah yang merupakan irisan dari dunia birokratik dengan dunia swasta. Akan tetapi, sejak awal tahun 1990, mengutip buku Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, dinyatakan bahwa telah terjadi ekspansi demokratik secara global dengan menyebarnya tuntutan populer akan kebebasan politik, representasi, partisipasi, dan akuntabilitas. Hal ini mendorong munculnya teori "masyarakat sipil" (civil society) dan "gerakan sosial" (social movement). Dengan mengutip Joel Migdal, maka agen-agen utama dalam hubungan negara dan masyarakat adalah "kekuatan-kekuatan sosial" (social forces), dan bukan lagi "kelas-kelas sosial" (social classes). LSM adalah salah satu kekuatan sosial tersebut, yang lahir karena respons yang spontan dari berbagai kelompok di masyarakat yang peduli karena adanya stagnasi ekonomi, represi politik, dan sektarianisme yang menghinggapi kelompok-kelompok revolusioner. Dengan memasukkan LSM sebagai bagian dari "organisasi masyarakat sipil" dan "gerakan sosial baru", maka dimensi analisisnya juga menjadi berbeda sama sekali. Dari sinilah LSM menjadi bagian penting dari sistem politik yang berubah di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.
LSM dan Otoriterisme Orba
Orba sebagai sebuah negara developmental terus-menerus berusaha menciptakan legitimasinya melalui kinerja ekonominya. Dan pencapaian ekonomi ini yang sebenarnya mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok kritis yang baru di masyarakat, yaitu kalangan wiraswastawan, mahasiswa, kaum profesional, dan LSM-LSM, yang sesungguhnya juga diuntungkan dari kebijakan ekonomi pemerintah.
Akan tetapi, justru kelompok-kelompok kritis baru inilah yang menuntut diadakannya keterbukaan politik dari rezim Soeharto. Dan hal inilah yang tidak dipenuhi oleh Soeharto, yang selama tiga dekade kekuasaannya berusaha terus- menerus menumpuk kekuasaannya dan mengabaikan tuntutan masyarakat. Bentuk pemerintahan otoriter semacam inilah yang berdampak negatif kepada kekuasaan Soeharto sendiri karena memunculkan ketidakpuasan dari berbagai kelompok tersebut dan menggerogoti basis kekuasaannya sendiri. Tiadanya "keterbukaan politik" merupakan dasar dari ketidakpuasan kelas menengah yang baru tumbuh di Indonesia. Di sinilah kiranya tempat dari bertumbuhnya LSM. Mereka inilah yang banyak di antaranya mendirikan atau bergabung ke dalam LSM, baik para mantan aktivis mahasiswa maupun pemimpin-pemimpin sosial semacam Abdurrahman Wahid.
LSM telah bekerja di bawah tekanan yang terus-menerus di masa Orba sehingga mereka harus sering mengubah strategi dan pendekatannya. Eldridge telah membuat tiga model paradigma LSM dalam hubungannya dengan negara, yaitu: (1) kerja sama tingkat tinggi-pembangunan akar rumput (grassroot); (2) politik tingkat tinggi-mobilisasi akar rumput; dan (3) pemberdayaan dari bawah. Hal ini paralel dengan model pendekatan LSM yang diajukan oleh David Korten tentang LSM generasi satu (pendekatan kesejahteraan), generasi dua (pendekatan developmental), dan generasi tiga (pendekatan pemberdayaan). Juga tidak jauh berbeda dari Charles Elliot tentang tiga jenis strategi LSM, yaitu kesejahteraan, pembangunan, dan pemberdayaan.
Patut dicatat bahwa perubahan strategi dan pendekatan LSM mulai berubah karena kritik internal di dalam dirinya, yang tertuang dalam "Deklarasi Baturraden" tanggal 19 Desember 1990, yang mengkritik kecenderungan konservatif di kalangan LSM, serta menuntut strategi baru yang bersifat pemberdayaan akar rumput. Sejak tahun 1990-an ke atas, LSM secara eksplisit masuk ke dalam pengorganisasian politik, yang disebut sebagai LSM advokasi atau masuk ke dalam gerakan sosial. Fenomena ini menarik karena LSM telah ikut mengubah dunia politik tradisional dari sekadar lembaga-lembaga politik formal dan tradisional menjadi berorientasi pada kekuatan masyarakat.
Gerakan advokasi oleh LSM
Sejak tahun 1990-an, semakin banyak LSM yang bergerak "melawan" pemerintah. Sepanjang dasawarsa 1990-an, hubungan antara pemerintah dan LSM semakin memburuk. Tuduhan utama adalah LSM telah berlawanan dengan ideologi negara maupun dengan kepentingan nasional. Akan tetapi, faktor sebenarnya dari memburuknya hubungan tersebut adalah karena tumbuhnya generasi baru LSM yang berorientasi radikal yang menentang berbagai kebijakan pemerintah. LSM telah dituduh "berpolitik" dan mengorganisasikan rakyat miskin. Konfrontasi terbuka antara pemerintah dan LSM yang mencuat ke publik dikenal sebagai "insiden Brussel" di tahun 1989, yang dianggap menghina Presiden Soeharto dalam kunjungannya ke Brussel, Belgia, dan yang menyebabkan pengejaran dan penangkapan atas aktivis-aktivis LSM.
Puncak kemarahan rezim adalah ditutupnya IGGI oleh Soeharto pada April 1992. Akan tetapi, LSM juga semakin berubah, dari membantu kaum miskin secara jangka pendek, kini mengarah ke tuntutan perubahan norma, nilai, struktur, dan kelembagaan yang telah menyebabkan ketidakadilan dan penindasan. Sejak itu, LSM memperkuat resistensi mereka terhadap rezim Soeharto dengan mengedepankan aksi-aksi kolektif populer yang terkait dengan organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok akar rumput.
Sejak itu, sebenarnya di kalangan LSM juga terjadi polarisasi, antara LSM yang bersifat "pembangunan" dan LSM yang bersifat "gerakan". Kedua hal ini dibedakan berdasarkan orientasinya, yaitu dalam hal: (1) peran; (2) falsafah organisasi; (3) misi dan tujuan; (4) bidang kegiatan; (5) pandangan atas kemiskinan; (6) hubungannya dengan kelompok sasaran; dan (7) hubungannya dengan pemerintah. Sebenarnya perubahan ke arah gerakan sosial dan pendekatan pemberdayaan juga muncul karena beberapa alasan, yaitu: (a) adanya radikalisasi di dalam gerakan mahasiswa, di mana gerakan mahasiswa yang tersumbat sejak NKK/BKK kemudian menyalurkan aspirasinya ke LSM; (b) peran kaum intelektual yang membawa perspektif radikal ke komunitas LSM, seperti lewat teori ketergantungan dan teori penyadarannya Paulo Freire; (c) meningkatnya represi, eksploitasi, dan marjinalisasi kelas-kelas bawah (petani, buruh, sektor informal, dan lainnya) yang menyumbang pada radikalisasi LSM. Sejak itu, pemberdayaan akar rumput menjadi agenda utama dari berbagai LSM gerakan.
Di pihak lain, jenis LSM yang bersifat "politik" ini disebut sebagai LSM advokasi. LSM advokasi didefinisikan sebagai "mereka yang kegiatannya bertujuan untuk adanya perubahan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah". Ciri-ciri utama LSM advokasi adalah: (a) Target pada badan-badan pemerintah; (b) Target pada badan-badan internasional; (c) Adanya strategi advokasi; (d) Adanya metode advokasi; dan (e) Adanya tujuan-tujuan transformasi. Isu-isu advokasi juga dilakukan lewat pembentukan opini publik di media massa. Bagi LSM, advokasi bukan hanya alat untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, tetapi juga untuk memperluas ruang politik mereka.
Dengan mempertanyakan legitimasi pemerintah lewat isu-isu tertentu, semacam lingkungan hidup, maka LSM dapat sekaligus mengkritik kegagalan pemerintah dalam kebijakan pembangunannya. Dalam banyak hal, advokasi LSM menyentuh masalah-masalah perubahan politik. Dengan sendirinya ini membuat mereka berhadapan langsung dengan kekuasaan otoriter negara Orba. Beberapa isu politik yang biasa diadvokasikan LSM adalah mengenai: (1) kebebasan berorganisasi; (2) kebebasan berekspresi; (3) pemilu yang adil; (4) aturan hukum (rule of law); (5) UU Antisubversi dan Haatzaai Artikelen; dan (6) UU yang membatasi ekspresi politik.
Strategi advokasi LSM Indonesia umumnya berkisar pada tiga hal, yaitu: (1) memilih pengadilan sebagai arena politik; (2) menargetkan pada perubahan peraturan/UU; dan (3) menggali dukungan advokasi internasional. Strategi ini ditempuh agar mendapatkan cara yang lebih aman dan efektif. Bagi LSM, advokasi politik, seperti melalui DPR, dipandang terlalu riskan dan tidak berguna karena DPR dikuasai pemerintah juga. Karena itu, advokasi lebih banyak dilakukan lewat bantuan media massa dan lewat pertemuan-pertemuan publik. Advokasi juga dilakukan melalui jaringan-jaringan yang ada maupun lewat pembentukan koalisi-koalisi.
Pada akhirnya, dampak advokasi LSM dalam hal membuat hidup yang lebih baik bagi komunitas lokal tidaklah signifikan. Kasus- kasus yang diangkat dari Kedung Ombo, Jelmu Sibak, dan perburuhan tidak menghasilkan kompensasi yang adil kepada masyarakat lokal. Dampak LSM hanya dapat dilihat dari aspek politik, seperti dalam kasus Kedung Ombo, pemerintah menjadi sadar akan adanya kemungkinan citra negatif dari pelaksanaan program/proyek pemerintah yang salah. Demikian pula di perburuhan, pemogokan kini diakui sebagai bentuk ekspresi yang sah dari perselisihan perburuhan. Di Jelmu Sibak, keberhasilannya terletak pada dihentikannya kegiatan pembalakan hutan dan naiknya isu tersebut ke tingkat nasional.
LSM pasca-Soeharto
Apa yang dikerjakan LSM setelah jatuhnya Soeharto? Ini adalah pertanyaan yang muncul setelah berubahnya konstelasi politik di Indonesia. Jatuhnya rezim Soeharto menandai juga transisi ke demokrasi, yang populer disebut sebagai reformasi. Hanya dalam jangka waktu tiga tahun sejak 1998, ada tiga presiden Indonesia silih berganti. Ini transisi politik dengan dinamika politik yang luar biasa, terutama bila dibandingkan dengan kekuasaan Presiden Soeharto selama 32 tahun. Sejak reformasi itu pula, lahir berbagai macam parpol dan ormas, serta meningkatnya jumlah LSM.
Kehadiran LSM, baik yang bersifat pembangunan maupun gerakan, masihlah diperlukan. Dua alasannya adalah: pertama, meningkatnya kemiskinan, baik di kota maupun desa, karena konsekuensi pelaksanaan kebijakan penyesuaian struktural yang mengakibatkan pengangguran, penghapusan subsidi pemerintah, dan ambruknya sistem jaminan sosial. Meningkatnya kemiskinan membuat relevannya LSM pembangunan dalam membantu masyarakat.
Kedua, meningkatnya konflik dan ketidakteraturan publik di seluruh Indonesia selama periode transisi ke demokrasi membuat relevan hadirnya LSM gerakan. Dengan demikian, peran LSM pada era pasca-Soeharto bisa dirumuskan sebagai "memfasilitasi transisi ke demokrasi". LSM adalah lembaga yang mempunyai akses ke organisasi akar-rumput dan mempunyai komitmen kepada kelompok-kelompok marjinal.
Meskipun demikian, banyak tantangan yang dihadapi LSM dalam era transisi ke demokrasi, sebagaimana terjadi dalam kasus Brasil dan Uruguay. Di negara-negara tersebut, masyarakatnya menoleh kepada partai-partai politik yang lebih dapat memberikan simbol-simbol dan identitas ideologis yang lebih kuat. Hal seperti itu juga dalam derajat tertentu terjadi di Indonesia. Karena itu, perlu bagi LSM untuk meredefinisikan kembali peran-peran mereka saat ini. LSM perlu terlibat dalam konteks politik yang lebih besar.
LSM Memperkuat Nilai-nilai Perjuangan
Menghadapi transisi demokrasi yang tampaknya tidak berkesudahan ini, ditambah lagi kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, bagaimana peran dan posisi LSM sekarang? Setelah "Reposisi Ornop" tahun 1999, maka LSM belum lagi mengadakan evaluasi dan reposisi dari dalam. Saat ini kebanyakan LSM menjalankan spesialisasi bidang yang semakin beragam dan dengan keahlian (kompetensi) yang cukup memadai, dan ini cukup diakui oleh pihak-pihak lain, baik pemerintah maupun badan asing. Meskipun demikian, LSM bukanlah wadah profesi dan bukan juga wadah politik. LSM adalah gerakan sosial. Banyaknya LSM "gadungan" dan LSM "buatan" dari pihak-pihak luar yang oportunistik tidak menghancurkan reputasi LSM.
Meskipun jumlahnya semakin besar, LSM adalah juga komunitas yang kecil karena adanya komunitas inti. Masing- masing aktivis mengetahui dan mengikuti record aktivis lainnya. Dalam masa reformasi, banyak aktivis yang "menyimpang" atau "keluar" dari etika LSM, dan segera namanya dicoret secara "otomatis" dari keanggotaan komunitas LSM. Karena itu, memang di balik membesarnya LSM, nilai-nilai "puritan" perjuangan LSM masihlah menjadi bawah sadar para aktivisnya, serta menjadi ukuran dalam menilai gerakan mereka sendiri. Banyak penelitian tentang LSM yang tidak menyadari hal tersebut. Seberapa pun banyaknya varian LSM, semua di dalamnya menyadari bahwa LSM adalah bagian dari gerakan sosial yang bekerja dan berpihak ke rakyat kecil. Dan, itu yang menyatukan semua aktivis LSM di seluruh Indonesia dan juga di seluruh dunia.
Berdasarkan referensi buku:
Hadiwinata, Bob S. The Politics of NGOs in Indonesia: Developing Democracy and Managing a Movement. New York: Routledge Curzon, 2003
Ganie-Rochman, Meuthia. An Uphill Struggle: Advocacy NGOs Under Soeharto’s New Order. Depok: Lab Sosio FISIP UI, 2002
Cobalah Anda identifikasilingkungan
organisasi tempat Anda bekerja. Lingkungan internal digunakan untuk
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan, sedangkan lingkungan eksternal
digunakan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman.?
Korporasi adalah salah satu bentuk organisasi bisnis, sebagai
aktivitas komersial untuk memperoleh profit dengan menjalankan suatu aktivitas
yang menghasilkan barang atau jasa. Salah satu ciri umum korporasi adalah
adanya pemisahan kemepilikan organisasi yang menyebabkan keterbatasan tanggung jawab dari
pemilik. Hal ini juga dikarenakan dalam korporasi terjadi penerbitan saham yang
mudah dipindahtangankan. Korporasi dapat menjalankan bisnisnya dengan produk
tunggal maupun produk yang bermacam-macam, selain juga memungkinkan tempat
beroperasi dan menjalankan layanan produksi yang luas di berbagai tempat.
Dalam persaingan antar korporasi, strategi merupakan
suatu cara untuk menjadi berbeda dengan pesaing yang berarti korporasi harus
mampu untuk menciptakan serangkaian aktivitas untuk dapat memberikan nilai yang
unik bagi pengguna. Strategi merupakan perebutan posisi di mata pengguna
melalui pemberian nilai yang berbeda dengan pesaing. Dengan demikian, strategi korporasi
dapat diartikan sebagai pendekatan yang dilakukan oleh organisasi bisnis untuk dapat
merealisasikan visinya sehingga mampu memberikan nilai kepada penggunanya
secara berbeda dibanding pesaingnya. Pengertian Strategi
Definisi strategi adalah cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi bisnis bisa berupa perluasan geografis, diversifikasi, akusisi, pengembangan produk, penetrasi pasar, rasionalisasi karyawan, divestasi, likuidasi dan joint venture (David, p.15, 2004).
Pengertian strategi adalah Rencana yang disatukan, luas dan berintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis perusahaan dengan tantangan lingkungan, yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dari perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh organisasi (Glueck dan Jauch, p.9, 1989).
Definisi strategi adalah cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi bisnis bisa berupa perluasan geografis, diversifikasi, akusisi, pengembangan produk, penetrasi pasar, rasionalisasi karyawan, divestasi, likuidasi dan joint venture (David, p.15, 2004).
Pengertian strategi adalah Rencana yang disatukan, luas dan berintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis perusahaan dengan tantangan lingkungan, yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dari perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh organisasi (Glueck dan Jauch, p.9, 1989).
Pengertian strategi secara umum dan khusus sebagai berikut:
1. Pengertian Umum
Strategi adalah proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai.
2. Pengertian khusus
Strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan. Dengan demikian, strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar yang baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti (core competencies). Perusahaan perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis yang dilakukan.
Perumusan Strategi
Perumusan strategi merupakan proses penyusunan langkah-langkah ke depan yang dimaksudkan untuk membangun visi dan misi organisasi, menetapkan tujuan strategis dan keuangan perusahaan, serta merancang strategi untuk mencapai tujuan tersebut dalam rangka menyediakan customer value terbaik.
Beberapa langkah yang perlu dilakukan perusahaan dalam merumuskan strategi, yaitu:
1. Mengidentifikasi lingkungan yang akan dimasuki oleh perusahaan di masa depan dan menentukan misi perusahaan untuk mencapai visi yang dicita-citakan dalam lingkungan tersebut.
2. Melakukan analisis lingkungan internal dan eksternal untuk mengukur kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang akan dihadapi oleh perusahaan dalam menjalankan misinya.
3. Merumuskan faktor-faktor ukuran keberhasilan (key success factors) dari strategi-strategi yang dirancang berdasarkan analisis sebelumnya.
4. Menentukan tujuan dan target terukur, mengevaluasi berbagai alternatif strategi dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki dan kondisi eksternal yang dihadapi.
5. Memilih strategi yang paling sesuai untuk mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang. (Hariadi, 2005).
Tingkat-tingkat Strategi
Dengan merujuk pada pandangan Dan Schendel dan Charles Hofer, Higgins (1985) menjelaskan adanya empat tingkatan strategi.
Keseluruhannya disebut Master Strategy, yaitu: enterprise strategy, corporate strategy, business strategy dan functional strategy.
a) Enterprise Strategy
Strategi ini berkaitan dengan respons masyarakat. Setiap organisasi mempunyai hubungan dengan masyarakat. Masyarakat adalah kelompok yang berada di luar organisasi yang tidak dapat dikontrol. Di dalam masyarakat yang tidak terkendali itu, ada pemerintah dan berbagai kelompok lain seperti kelompok penekan, kelompok politik dan kelompok sosial lainnya. Jadi dalam strategi enterprise terlihat relasi antara organisasi dan masyarakat luar, sejauh interaksi itu akan dilakukan sehingga dapat menguntungkan organisasi. Strategi itu juga menampakkan bahwa organisasi sungguh-sungguh bekerja dan berusaha untuk memberi pelayanan yang baik terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
b) Corporate Strategy
Strategi ini berkaitan dengan misi organisasi, sehingga sering disebut Grand Strategy yang meliputi bidang yang digeluti oleh suatu organisasi. Pertanyaan apa yang menjadi bisnis atau urusan kita dan bagaimana kita mengendalikan bisnis itu, tidak semata-
mata untuk dijawab oleh organisasi bisnis, tetapi juga oleh setiap organisasi pemerintahan dan organisasi nonprofit. Apakah misi universitas yang utama? Apakah misi yayasan ini, yayasan itu, apakah misi lembaga ini, lembaga itu? Apakah misi utama
direktorat jenderal ini, direktorat jenderal itu? Apakah misi badan ini, badan itu? Begitu seterusnya.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu sangat penting dan kalau keliru dijawab bisa fatal. Misalnya, kalau jawaban terhadap misi universitas ialah terjun kedalam dunia bisnis agar menjadi kaya maka akibatnya bisa menjadi buruk, baik terhadap anak didiknya, terhadap pemerintah, maupun terhadap bangsa dan negaranya. Bagaimana misi itu dijalankan juga penting. Ini memerlukan keputusan-keputusan stratejik dan perencanaan
stratejik yang selayaknya juga disiapkan oleh setiap organisasi.
c) Business Strategy
Strategi pada tingkat ini menjabarkan bagaimana merebut pasaran di tengah masyarakat. Bagaimana menempatkan organisasi di hati para penguasa, para pengusaha, para donor dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan untuk dapat memperoleh keuntungan-keuntungan
stratejik yang sekaligus mampu menunjang berkembangnya organisasi ke tingkat yang lebih baik.
d) Functional Strategy
Strategi ini merupakan strategi pendukung dan untuk menunjang suksesnya strategi lain. Ada tiga jenis strategi functional yaitu:
• Strategi functional ekonomi yaitu mencakup fungsi-fungsi yang memungkinkan organisasi hidup sebagai satu kesatuan ekonomi yang sehat, antara lain yang berkaitan dengan keuangan, pemasaran, sumber daya, penelitian dan pengembangan.
• Strategi functional manajemen, mencakup fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, implementating, controlling, staffing, leading, motivating, communicating,
decision making, representing, dan integrating.
• Strategi isu stratejik, fungsi utamanya ialah mengontrol lingkungan, baik situasi lingkungan yang sudah diketahui maupun situasi yang belum diketahui atau yang selalu berubah (J. Salusu, p 101, 1996).
Tingkat-tingkat strategi itu merupakan kesatuan yang bulat dan menjadi isyarat bagi setiap pengambil keputusan tertinggi bahwa mengelola organisasi tidak boleh dilihat dari sudut kerapian administratif semata, tetapi juga hendaknya memperhitungkan soal
“kesehatan” organisasi dari sudut ekonomi (J. Salusu, p 104, 1996).
Jenis-jenis Strategi
Banyak organisasi menjalankan dua strategi atau lebih secara bersamaan, namun strategi kombinasi dapat sangat beresiko jika dijalankan terlalu jauh. Di perusahaan yang besar dan terdiversifikasi, strategi kombinasi biasanya digunakan ketika divisi-divisi yang
berlainan menjalankan strategi yang berbeda. Juga, organisasi yang berjuang untuk tetap hidup mungkin menggunakan gabungan dari sejumlah strategi defensif, seperti divestasi, likuidasi, dan rasionalisasi biaya secara bersamaan.
Jenis-jenis strategi adalah sebagai berikut:
1. Strategi Integrasi
Integrasi ke depan, integrasi ke belakang, integrasi horizontal kadang semuanya disebut sebagai integrasi vertikal. Strategi integrasi vertikal memungkinkan perusahaan dapat mengendalikan para distributor, pemasok, dan / atau pesaing.
2. Strategi Intensif
Penetrasi pasar, dan pengembangan produk kadang disebut sebagai strategi intensif
karena semuanya memerlukan usaha-usaha intensif jika posisi persaingan perusahaan dengan produk yang ada hendak ditingkatkan.
3. Strategi Diversifikasi
Terdapat tiga jenis strategi diversifikasi, yaitu diversifikasi konsentrik, horizontal, dan konglomerat. Menambah produk atau jasa baru, namun masih terkait biasanya disebut diversifikasi konsentrik. Menambah produk atau jasa baru yang tidak terkait untuk pelanggan yang sudah ada disebut diversifikasi horizontal. Menambah produk atau jasa baru yang tidak disebut diversifikasi konglomerat.
4. Strategi Defensif
Disamping strategi integrative, intensif, dan diversifikasi, organisasi juga dapat menjalankan strategi rasionalisasi biaya, divestasi, atau likuidasi.
Rasionalisasi Biaya, terjadi ketika suatu organisasi melakukan restrukturisasi melalui penghematan biaya dan aset untuk meningkatkan kembali penjualan dan laba yang sedang
menurun. Kadang disebut sebagai strategi berbalik (turnaround) atau reorganisasi, rasionalisasi biaya dirancang untuk memperkuat kompetensi pembeda dasar organisasi. Selama proses rasionalisasi biaya, perencana strategi bekerja dengan sumber daya terbatas dan menghadapi tekanan dari para pemegang saham, karyawan dan media.
Divestasi adalah menjual suatu divisi atau bagian dari organisasi. Divestasi sering digunakan untuk meningkatkan modal yang selanjutnya akan digunakan untuk akusisi atau investasi strategis lebih lanjut. Divestasi dapat menjadi bagian dari strategi rasionalisasi biaya menyeluruh untuk melepaskan organisasi dari bisnis yang tidak menguntungkan, yang memerlukan modal terlalu besar, atau tidak cocok dengan aktivitas lainnya dalam perusahaan. Likuidasi adalah menjual semua aset sebuah perusahaan secara bertahap sesuai nilai nyata aset tersebut. Likuidasi merupakan pengakuan kekalahan dan akibatnya bisa merupakan strategi yang secara emosional sulit dilakukan. Namun, barangkali lebih baik berhenti beroperasi daripada terus menderita kerugian dalam jumlah besar.
5. Strategi Umum Michael Porter
Menurut Porter, ada tiga landasan strategi yang dapat membantu organisasi memperoleh keunggulan kompetitif, yaitu keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus. Porter menamakan ketiganya strategi umum.
Keunggulan biaya menekankan pada pembuatan produk standar dengan biaya per unit sangat rendah untuk konsumen yang peka terhadap perubahan harga. Diferensiasi adalah strategi dengan tujuan membuat produk dan menyediakan jasa yang dianggap unik di seluruh industri dan ditujukan kepada konsumen yang relatif tidak terlalu peduli terhadap perubahan harga. Fokus berarti membuat produk dan menyediakan jasa yang memenuhi keperluan sejumlah kelompok kecil konsumen.
(David, p.231, 2004)
Selain asas pemerintahan umum yang baik, penyelenggaraan pemerintahan menganut asas kedaerahan. Uraikankanlah asas penyelenggaraan
daerah.
Petunjuk :
1. Tugas diketik dengan menggunakan program Word VERSI 2003 ATAU 2007
2. Menggunakan huruf Time New Roman, 12, spasi 1.5
3. Jumlah halaman tidak lebih dari 3 halaman kertas A4
4. Tulisan disertai dengan Daftar Pustaka atau referensi .
Selamat Mengerjakan
Petunjuk :
1. Tugas diketik dengan menggunakan program Word VERSI 2003 ATAU 2007
2. Menggunakan huruf Time New Roman, 12, spasi 1.5
3. Jumlah halaman tidak lebih dari 3 halaman kertas A4
4. Tulisan disertai dengan Daftar Pustaka atau referensi .
Selamat Mengerjakan
MENJAWAB TUGAS
ABSTRAK
Di
erah otnomi daerah (pemerintah daerah) kewenangan eksekutif tidak lagi
hanya merumuskan dan menentukan arah pembangunan
suatu daerah tetapi eksekutif juga dapat mengatur kebijakannya melalui
kewenangan legislative yang ada padanya. Kewenangan ini merupakan suatu
pijakan, pedoman maupun perlindungan hukum agar setiap langka
ataupun rencana yang telah disipkan tidak lagi dapat diganggu gugatoleh
siapapukn juga. Hal ini dikarenakan, potensi dan keaneka ragaman,
peluang dan persaingan global dengan memberikan peluang yang
seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan
kewajiban menyelenggarakan
pemerintah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat di daerah. Sehingga keinginan untuk memberikan hak otonomi
dalam menjalankan sendiri pemerintahan didaerah, pemerintah pusat melalui
berbagai peraturan perundang- undangan berupaya secara maksimal untuk
lebih memperhatikan lagi daerah-daerah yang ada gunanya menjaga keutuhan
NKRI dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
LATAR
BELAKANG
Negara Republik Indonesia
sebagai negara kesatuan menganut asasdesentralisasi dalam menyelenggarakan
pemerintah dengan memberikankesempatan dan keleluasan kepada daerah untuk
menyelenggarakanotonomi daerah. Ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, Pasal 18 ayat 1 menyebutkan bahwa Negara
KesatuanRepublik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsidibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dankotra mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatyur oleh undang-undang.
Era otonomi daerah menjadi
parameter terbaru bagi siap tidaknyadaerah mengurus rumah tangganya sendiri.
Eksistensi dan kebijaksanaantersebut diarahkan agar pemerintah daerah mampu
mencobapembangunan dirinya dalam rangka meningkatkan kesejahteraanmasyarakat.
Dalam kaintannya dengan itu, maka otonomi daerah bisadipahami sebagai pemberian
kepercayaan yang strategis kepada organisasipemerintah daerah. Maka, konsep
otonomi harus mampu mengalahkanprakarsa, inovasi reorganisasi dalam
menggerakkan semangat rakyatnyauntuk membangun daerahnya.Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal18 (sebelum mengalami perubahan)
memang tidak mengatur secara detailsegala aspek menyangkut pemerintahan daerah,
akan tetapi hanyamengatur pokok-pokoknya saja. Oleh karena itu,
the founding father
telahmemformulasikan adanya
pembagian organisasi Negara Indonesia kedalambangsa Indonesia
memiliki berbagai keberagaman yang tidak bisa dikeloladengan menerapkan paham
sentralistik. Namun diperlukan kearifan localdan tindakan local yang memiliki
oleh masing-masing pemerintah daerahdan masyarakat yang disesuaikan dengan
etika dan budaya local, tanpamenyimpang dari tujuan nasional dan prinsip Negara
kesatuan NKRI.Dalam konteks otonomi daerah inilah sangat diperlukan
perubahanorganisasi yang lebih tanggap dan memilki akuntabilitas. Dalam
kaitannyadengan itu, maka diperlukan pelayanan birokrasi untuk memberikan
responterhadap berbagai tantangan secara adil dan bijaksana.
Munculnyapartisipasi politik terhadap pengambilan kebijaksanaan
birokrasimerupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan. Dalam hal
itu,diperlukan perubahan yang cukup mendasar dalam menyusun program-program pemerintah dengan tanpa meninggalkan tata aturan organisasiyang ada.Melihat keadaan ini, perlu
segera dilakukan reorganisasi birokratpemerintahan daerah. Sehingga menjadi
bentuk organisasi yang terbuka,fleksibel, ramping, efisien, rasional, dan
terdesentralisasi secara kuat. Artinya harus diciptakan wahana baru
birokrasi pemerintah dengan titik berat pada pemberdayaan secara social,
ekonomi dan politik pada daerahkabupaten dan kota. Karena, daerah berkeinginan
untuk mengelola sendiripelaksanaan administrasi pemerintahan serta
sumber-sumber kekayaanyang dimilkinya.Terdapat beberapa dasar pemikiran yang
melatar beklakangimengapa kepemimpinan kepal daerah penting dan menraik untuk
dipelajari. Sepanjang sejarah,
sejak masa pemerintahan Hindia Belanda,masa pendudukan Jepang, masa prokalamasi
kemerdekaan, masa ordelama, orde reformasi dewasa ini, kedudukan dan peran
kepala daerahdengan beragam penyebutan seperti gubernur, bupati, walikota
telahmenunjukan esistensinya baik sebagai pemimpin organisasi pemrintahanyang
mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat, maupun dalammemimpin organisasi
administrasi pemerintahan.Oleh karena itu,
dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1
angka 2 yang terdiri dari kepaldaerah dan perwakilan daerah (DPRD). Keberadaan
pemerintahan didaerah adalah merupakan suatu bentuk organisasi pemerintah yang
lebihkecil atau pada tingkatan daerah yang dikatakan sebagai
pemerintahandaerah. Karena itu, penyerahan kekuasaan dari rakyat pada
Negarademokrasi terbagi dua.1.
Pemerintah (eksekutif) yang
diserahi kekuasaan untuk melaksanakan pengaturan berbagai kebutuhan masyarakat.2.
Lembaga perwakilan rakyat
(legislative) yaitu lembaga yangberwenang dalam hal merumuskan dan membuat
aturan untuk dilaksanakan oleh pemerintah serta melakukan pengawasan
atastindakan-tindakan pemerintah.Fungsi yang diemban oleh eksekutif (kepala daerah) terdiri dari tigafingsi yaitu: fungsi eksekutif,
fungsi legislative dan fungsi yudikatif. Olehkarena itu, eksekutif dalam
melaksanakan system demokrasi salah satufungsinya yang paling menonjol adalah
fungsi pemerintahan. Sehingga,sejalan dengan berbagai hal tersebut di atas
mendorong secara seriuskepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) untuk
melaksanakan danmenjalankan roda pemerintahan guna mewujudkan masyarakat
yangsejahtera dan pembangunan yang berkelanjutan.Berbagai pengaturan dalam semua
undang-undang tentangpemerintahan daerah membuat peran kepala daerah sangat
strategis,karena kepala daerah sangat penting dalam menunjukan
keberhasilanpembangunan local maupun pembangunan nasional pada umumnya,
sebabpemerintahan daerah merupakan subsistem dari pemerintahan nasionalatau
Negara, efektifitas pemerintahan Negara tergantung pada
efektifitaspenyelenggaraan pemerintahan di daerah. Keberhasilan kepemimpinan
didaerah menentukan kesuksesan kepemimpinan nasional. Ketidakmampuankepala
daerah dalam mensukseskan kinerja dan efektifitaspenyelenggaraan pembangunan nasional
Pembangunan dan tidak ikut
campurnya pemerintah pusat dalam halpelaksanaan otonomi di daerah belumlah
menjadi suatu jaminan akantercipta serta terlaksananya prinsip-prinsip
good governance
(tatapemerintahan yang baik). Bagian
juga yang sangat mwenetukan terhadappelaksanaannya
good governance
adalah pelaksanan fungsi
admnistrasipemerintahan. Karena, kepala daerah (gubernur/bupati dan
walikota)bersama dengan wakil kepala daerahnya sering tidak sejalan
dalammanajemen pemerintahan ayang akhirnya berdampak kepada programmenjadi
terhambat. Kemudian juga, sering terjadi pergantian pejabat yangmemimpin suatu
biro, dinas, instansi dan badan setiap saat tanpa melihatbeberapa lama penjabat
tersebut menjabat. Selain itu, penempatan parapejabat yang tidak sesuai dengan
latar belakang pendidikannya.
OTONOMI
DAERAH SECARA UMUM
Pelaksanaan otonomi daerah
dilihat sebagai wada berkah bagidaerah-daerah. Dengan kewenangan yang diatur
dalam Undang-UndangNomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah itu,
daerah-daerahmenjadi milik keleluasan dan kebebasan untuk mengatur dan
mengeloladirinya sendiri. Otonomi bertiti tolak dari adanya hak dan wewenang
untuk berprakarsa dan mengambil keputusan dalam mengatur dan mengurusrumah
tangga daerahnya guna kepentingan masyarakatnya dengan jalanmengadakan berbagai
peraturan daerah yang tidak bertentangan denganUUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi(E.Koswara 2001:77).Dalam hubungan
inilah pemerintah perlu melaksanakan pembagiankekuasaan kapada pemerintah
daerah yang dikenal dengan istilahdesentralisasi, bentuk dan susunannya tampak
dari ketentuan-ketentuandidalam undang-undang yang mengaturnya. Seperti
Undang-UndangNomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
memuatpengertian otonomi daerah dalam Pasal 1 angka 5 “otonomi daerah
adalahhak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur danmengurus
sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakatsetempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.Karena praktek penyelenggaraan Negara yang dahulu
dilaksanakandiubah yaitu kekuasaan eksekutif yang tidak terpusat dan
mekanismehubungan pusat dan daerah pun menganut asas desentralisasi
dalampenyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kekuasaan kepadadaerah
untuk menyelenggarakan otonomi daerah melalui peraturan
perundang-undangan tentang
pemerintahan didaerah. Hal yang sangatmendasar dari peraturan
perundang-undangan tersebut adalahmemberikan kesempatan dan kekuasaan daerah
untuk membangundaerahnya dan lebih memberdayakan masyarakat,
menumbuhkan prakarsadan kreativitas serta meningkatkan peran dan fungsi lembaga
eksekutif,(gubernur, bupati, walikota) serta legislative
(DPRD).Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah, pada BAB 1
ketentuan umum Pasal 1 ayat (5) menuliskan,otonomi daerah adalah hak, wewenang
dan kewajiban daerah otonomuntuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dankepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Bahwa, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerahsesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesiatahun
1945, pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiriurusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan pembantuan, diarahkanuntuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melaluipeningkatan, pelayanan, pem,berdayaan,
dan peran serta masyarakat,serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsipdemokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan suatudaerah dalam system Negara Kesatuan Republik
Indonesia.Jadi, inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah
upayamemaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitandan
hal-hal yang menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengandemikian tuntutan
masyarakat dapat diwujudkan secara nyata danpenerapan otonomi daerah luas dan kelangsungan
pelayanan umum untuk tidak terabaikan. Selain itu juga, kata kunci otonomi
daerah sebenarnyaadalah kewenangan. Makin besar kewenangan digunakan
untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat maka makin
bermanfaatimplementasi daerah itu. Kemudian Van Kepmen mendefinisikan
otonomidaerah antara lain:a.
Bahwa otonomi mempunyai arti
lain dari pada kedaulatan yangmerupakan atribut dari Negara, akan tetapi tidak
pernahmerupakan atribut dari bagian-bagiannya seperti gemeente,provinsi dan
sebagainya, yang hanya memiliki hak-hak yangberasal dari Negara, sebagai bagian
yang dapat berdiri sendiriakan tetapi tidak mungkin dianggap merdeka, lepas
ataupunsejajar dengan Negara. Bahwa dengan demikian, Negara atau pemerintah
pusatlah yangmempunyai kata terakhir terhadap ketentuan tentang
batas-batasotonom, baik dengan cara positif maupun negative.c.
Bahwa yang demikian itu, sesuai
pula sepenuhnya dengan maksuddari pada desentralisasi, yang tidak lebih dari
pada suatu saranuntuk mencapai penyelenggaraan kepentingan-kepentingansetempat
dengan cara yang tepat atau patut, sehinggadesentralisasi itu dilakukan tidak
hanya karena adanya kehendak untuk mendentralisasikan.Pengertian otonomi daerah
diatas mencerminkan adanyadesentralisasi, sebagaimana isi dari Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 7 “desentralisasi
adalahpenyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerahotonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalamsystem Negara Kesatuan
Republik Indonesia”. Ada beberapa alasanmengapa pemerintah perlu melakukan
desentralisasi kekuasaan kepadapemerintah daerah. Menurut Josep Riwu Kaho
antara lain:a.
Dilihat dari sudut politik
sebagai permainan kekuasaan (gameteori), desentralisasi dimaksudkan untuk
mencegah penumpukankekuasaann pada satu pihak saja yang pada akhirnya
dapatmenimbulkan tirani.b.
Dalam bidang politik,
penyelenggaraan desentralisasi dianggapsebagai tindakan pendemokrasian, untuk
menarik rakyat ikut sertadalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan
hak-hak demokrasi.c.
Dari sudut teknik organisatoris
pemerintahan, alas anmengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-,ata untuk mencapai
sesuatu pemerintah yang efisien. Apa yangdianggap lebih utama untuk diurus oleh
pemerintah setempat,pengurusannya diserahkan kepada daerah.d.
Dari sudut kultural, desentralisasi perlu
diadakan supaya perhatiandapat sepenuhnya ditumpuhkan pada kekhususan suatu
daerah,seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi,
watak kebudayaan dan latar belakang sejarah.e.
Dari sudut kepentingan
pembangunan ekonomi, desentralisasidiperlukan karena pemerintah daerah dapat
lebih banyak dansecara langsung membantu pembangunan tersebut.
Prinsip otonomi nyata adalah
suatu prinsip bahwa untuk menanganiurusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan
tugas, wewenang dankewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidupdan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Adapunyang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonominyang
dalam penyelenggaraan harus benar-benar sejalan dengan tujuandan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatyang merupakan bagian utama dari tujuan
nasional. Pendukung daripadapelaksanaan tugas otonomi dengan
sebaik-baiknyaantara lain: (a) Faktormanusia, (b) Faktor keuangan, (c) Faktor
supra dan infrastrukturdan (d)Faktor organisasi dan manajemen.
TUJUAN
OTONOMI DAERAH
Paradigma otonomi daerah adalah
bertolak dari asumsi bahwa cita-ita demokrasi, keadilan dan kesejateraan bagi
rakyat tidak semata-mataditentukan oleh Negara. Dalam otonomi daerah perlu
asdanya jaminandistribusi kekuasaan secara sehat dan adail, akuntabilitas
pemerintahaan,tegaknya supermasi hokum dan hak asas manusia (HAM) serata
strukturekonomi yang adil dan berkerakyatan. Otonomi bertitik tolak dan
adanyahak dan wewenang untuk berprakarsa dan mengambil keputusan dalamnegatur
dan mengurus rumah tangga daerahnya guna kepentinganmasyarakatnya dengan jalan
mengadakan berbagai peraturan daerah yangtidak bertentangan dengan UUD 1945 dan
peraturan perundang-undanganlainnya yang lebih tinggi.Selain itu efisisensi dan
efektifitas penyelenggaraan pemerintahandaerah perlu ditingkatkan dengan lebih
memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar
pemerintah daerah,potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan
persainganglobal dengan memberikan kewenangan yag seluas-luasnya
kepada:Pertama, system ketatanegaraan Indonesia tidak menganut pahamsentralisme,
melainkan membagi daerah Indonesia atasdasar daerah besar kecil yang diatur
dengan undang-undang.Kedua, pengaturan dalam undang-undang tersebut
harusmemandang dan mengingat dari pada permusyawaratandalam system pemerintahan
Negara.
keTiga, daerah besar dan kecil
bukan merupakan Negara bagianmelainkan Negara yang tidak terpisahkan dari
bentuk dalamkerangka Negara Kesatuan (
endheidstaat
).Keempat, corak daerah besar
dan kecil itu ada yang bersifat otonom(
streak en locale
rechtsgemeenschappen
) atau ada yangbersifat daerah administrasi
belaka.Kelima, adapun sampai sejauh mana otonomi itu akan diberikankepada
daerah, sudah cukup jelas kebijaksanaan dasarnyayaitu terkandung dalam alinea
pertama penjelasan Pasal 18UUD 1945 (sebelum perubahan) secara impilisit
jugamemberikan arah bahwa pemberian otonomi itu dalamproposi yang wajar dan
dapat dipertanggungjawabkan,mengingat kondisi nyata pada daerah yang bersangkutan.Dalam
hubungan inilah pemerintah perlu malaksanakan pembagiankekuasaan kepada
pemerintah daerah yang dikenal denganistilahdesentralisasi, bentuk dan
susunannya tampak dari ketentuan-ketrentuan didalam undang-undang yang
mengaturnya. Seperti Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang memuatpengertian otonomi daerah dalam Pasal 1 angka 5 “otonomin
daerahadalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengaturdan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatsetempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”.Sejalan dengan prinsip otonomi
tersebut dilaksanakan pula prinsip Adapun yang dimaksud dengan otonomi
yang bertanggung jawab adalahotonomi yang dalam penyelenggaraan harus
benar-benar sejalan dengantujuan dan maksud pemberian otonomi, yang ada
dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan
rakyatyang merupakan bagian utama daru tujuan nasional.
PRINSIP-PRINSIP
GOOD GOVERNANCE
Permasalahan-permasalahan yang
dihadapi di era otonomi daerahyang merupakan tuntutan masyarakat dapat terwujud
apabila terciptanyasuatu system pemerintahan yang baik (
good governance
). Oleh karenaitu, perubahan perilaku
birokrasi sangat diperlukan dalam penyelenggaraanotonomi daerah sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan
konsep
good governance
sebagai domain
pemerintahan yang baik antara lain:
1)
Menekankan penyelenggaraan
pemerintahan yang didasarkanpada peraturan perundang-undangan.2)
Kebijakan public yang
transparan.3)
Adanya partisipasi
masyarakat dan akuntabilitas public.Untuk dapat
mewujudkan kepemerintahan yang baik menurutHardijanto (2002: 2), beberapa
prinsip dasar yang harus diperhatikanantara lain:1)
Prinsip kepastian hukuma.
System hokum yang benar dan
adil, meliputi hokum nasional,hokum
adat dan etika kemasyarakatan.b.
Pemberdayaan pranata hukum,
meliputi kepolisian,kejaksaan, pengadilan dan lembaga kemayarakatan.c.
Desentralisasi dalam penyusunan
peraturan perundang-undangan, pengambilan keputusan public dan lain-lain
yangberhubungan dengan kepentingan masyarakat luas.d.
Pengawasan masyarakat yang
dilakukan DPRD, dunia pers,dan masyarakat umum secara transparan, adil, dan
dapatdipertanggungjawab.2)
Prinsip keterbukaana.
Menumbuhkan iklim yang kondusif
bagi terlaksananya asasdesentralisasi dan transparansi.b.
Menjunjung tinggi hak-hak asasi
manusia, seperti hak untuk hidup layak, hak akan rasa aman dan nyaman,
persamaankedudukan dalam hokum dan lain-lain.c.
Memberikan informasi yang
benar, jujur dan tidak diskriminatif.3)
Prinsip akuntabilitasa.
Prosdur dan mekanisme kerja
yang jelas, tepat, dan benar,yang diatur dalam peraturan prundang-undang,
denganmengutamakan pelayanan kepada masyarakat.b.
Mampu mempertanggungjawabkan
hasil kerja, terutamayang berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum.c.
Memberikan sanksi yang tegas
bagi aparat yang melanggarhokum.4)
Prinsip professionala.
Sumber daya manusia yang
memiliki profesionalitas dan kapabilitas yang memadai,
netral serta didukung dengan etika dan moral sesuai dengan
budaya bangsa Indonesia.
b.
Memilki kemampuan kompetensi
dan kode etik sesuaiperaturan perundang-undangan yang berlaku.c.
Memodernisasi administrasi
Negara dengan mengaplikasikanteknologi telekomunikasi dan informatika yang
tepat guna.Organisasi yang terbesar dimanapun sudah barang tentu
organisasipublic yang mewadahi seluruh lapisan mayarakat dengan ruang
lingkupNegara. Oleh karena itu, organisasi public mempunyai kewenangan
yangterlegitimasi dibidang politik, administrasi, pemerintahan, dan hokumsecara
terlembaga sehingga mempunyai kewajiban melindungi warganya,dan melayani
kebutuhannya, sebaliknya berhak pula memungut pajak untuk pendanaan, serta
menjatuhkan hukuman sebagai sanksi penegakkanperaturan. Untuk melaksanakan
kepemerintahan yang baik, membinahubungan kemitraan dan saling percaya
merupakan kunci utama.Berdasarkan
kerangka pemikiran diatas, prinsip penyelenggaraanpemerintahan yang memenuhi
prinsip good governance yang dikemukakanoleh team work lapera sebagai
berikut:1.
Akuntabilitas, maksudnya
adalah bisa dibaca rakyat dandipertanggungjawabkan kepada masyarakat melalui
indicator-indikator atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh rakyat sendiri.2.
Transparansi, maksudnya segala
kegiatan dan kebijakan yangdiambil oleh pemerintah bersifat terbuika, bisa diketahuii ataudiakses oleh masyarakat.
Keputusan diambil dengan melibatkanmasyarakat, memungkinkan adany ide-ide dan
aspirasi darimasyarakat3.
Kejujuran, Maksudnya adalah
adanya kejujuran dari pemerintahdalam melakukan atau menyelenggarakan pemerintahan.4.
Kesetaraan, dalam pelayanan non
diskriminasi atau tidak mebeda-bedakan dalam proses pelayanannya.5.
Keterlibatan, masyarakat dalam
seluruh tahap prosespenyelengaraan mulai dari perencanaan sampai distribusi
hasil-hasil bangunan.6.
Konstitusional, berjalan diatas
aturan yang ada dan senantiasamenegakkan hokum.7.
Pengambilan keputusan,
mengedepankan musyawara agarkeputusan yang diambil tidak merugikan
masyarakat.Pada era otonomi daerah, setiap organisasi pemerintah
daerahmenghadapi tantangan yang sangat kompleks dan tuntuta kebutuhanmasyarakat
yang semakin meningkat. Oleh karena itu, dibutuhkan model
organisasi yang ramping serta
didukung oleh personil yang mempunyaikemampuan, keahlian sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi organisasinyaseperti untuk promosi karier diperlukan adanya
ukuran-ukuran baku yangdapat dijadikan acuan obyektif yang akan dipergunakan
sebagai alat ukurpromosi.
Good governance
(penyelenggaraan pemerintahan
yang baik) adabeberapa prinsip yang bisa menunjuk dijalankannya
good governance
,yaitu:1.
Adanya pengakuan atas
pluralitas politik 2.
Adany prinsip keadilan3.
Akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintahan4.
Prinsip keterbukaanSatu hal
yang sangat menarik dari adanya prinsip good governance,yaitu mengenai
akuntabilitas. Dalam prinsip ini ada tiga dimensiperencanaan daerah yang
memperkuat prakarsa masyarakat untuk ikutdalam pelaksanaan otonomi daerah:1.
Dimensi financialSegala
penggunaan dana yang dilakukan oleh pemerintah(eksekutif), harus benar-benar
sesuai dengan persetujuanlegislative (parlemen), control parlemen tidak
dimaksudkan untuk bargaining politik (negosiasi) pihak parlemen, melainkan
untuk memastikan bahwa seluruh dana yang digunakan oleh pemerintahadalah
alokasi yang tepat, murah (efisien) dan terhindar darinmanipulasi yang akhirnya
bisa merugikan masyarakat.2.
Dimensi politik Dimensi
ini berlaku pada pemerintahan, artinya setiap tindakandari masing-masing pihak
jelas legitimasi danpertanggungjawabannya pejabat publik tidak boleh
merupakanhasil negosiasi politik, melainkan harus benar-benar melalui
prosespolitik yang demokratis. Ketika pemilihan umum, rakyat harusjelas memilih
siapa, dan yang terpilih juga memilki kejelasanpihak yang dipilih oleh siapa.3.
Dimensi legal (formal)Dimensi
ini merupakan penjabaran nyata dari prinsip Negarahukum, diaman pejabat publik
harus memilki keabsahan secaralegal (formal), berdasarkan hukum atau aturan
yang berlaku. Halini diperlukan agar tidak terjadi akhir dan ketika muncul
suatu
Ayat (7) desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintaholeh pemerintah kepala daerah otonom untuk
mengatur danmengurus urusan pemerintahan dalam system Negara
kesatuan. Ayat (8) dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintaholeh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintahpusat dan/atau kepada
instansi vertical diwilayah tertentu. Ayat (9) tugas pembantuan adalah
penugasan dari pemerintahkepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provensi
kepadakabupaten/kota atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kotakepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu.Menurut Darma Kusuma (2002:6-7), secara umum
pola hubunganyang ada dalam setiap organisasi dapat dilihat dalam dua pola
hubungan,yakni hubungan yang bersifat internal dan eksternal. Pola hubungan
paabirokrasi pemerintah, dapat diidentifikasi hubungan internal mwerupakanpola
interaksi yang terjadi antara atasan, sejawat dan bawahan. Polahubungan
internal pada organisasi birikrasi pemerintah sangat diwarnaiolah pola hubungan
yang searah dan bersifat
top down
dari atas, artinyapola hubungan
dan interaksi lebih banyak ditentukan dari atas, artinyabahwahan menunggu dan
melaksanakan sesuai dengan arahan pimpinan.Menurut HAW Widjaj (2002:81), dalam
hal ini perlu mendapatperhatian birokrasi dalam mengantisifasi akan kebutuhan
pelayanantersebut:1)
Sifat pendekatan tugas, lebih
mengarah kepada pengayoman danpelayanan masyarakat, bukan pendekatan kekuasn
dankewenangan.2)
Penyempurnan organisasi,
efisien, efektif dan professional3)
System dan prosedur kerja
cepat, tepat dan akuratBirokrasi yang
modern tidak lagi berpikir sebagaiman
membelanjakandana yang tersedia dalam anggaran, tetapi bagaimana
membelanjakananggaran yang terbatas seefisien mungkin, dan memanfaatkan apa
yangdiperoleh hasilnya. Berdasarkan fungsi pemerintah dalam melakukanpelayanan
umum terdapat 3 fungsi pelayanan yaitu (1)
environmental service
, (2)
development service
, (3)
protective service
. Pelayanan yangdiberikan oleh
pemerintah juga dapat dibedakan berdasarkan siapa yangdapat menikmati atau
memperoleh dampak dari suatu layanan, baik seseorang secara individu
maupun kelompok atau kolektif.Satu hal yang
baru dalam penyelenggaraan urusan pemerintahandibagi berdasarkan tiga asas,
antara lain:
1.
Eksternalitas, yaitu
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahanditentukan berdasarkan luas, besaran
dan jangkauan dampak yang timbul akibat pennyelenggaraan suatu
urusanpemerintahan.2.
Akuntabilitas,
penanggungjawab penyelenggaraan suatu urusanpemerintahan ditentukan berdasarkan
kedekatannya dengan luas,besaran dan jangkauan dampak yang timbulkan
olehpenyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.3.
Efisiensi, penyelenggaraan
suatu urusan pemerintahan
ditentukanberdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggiyang
dapat diperoleh.Dengan demikian untuk menunjang pelaksanaan systempemerintahan
didaerah dan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah mengenaiprinsip otonomi, bahwa prinsip otonomi
menggunakan prinsip otonomiseluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab.1.
Prinsip otonomi seluas-luasnya
adalah daerah diberikankewenangan mengurus dan mengatur semua
unsurepemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yangditetapkan dalam
undang-undang pemerintah daerah.2.
Prinsip otonomi nyata, adalah
suatu prinsip bahwauntukmenangani urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkantugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada
danberpotensi untuk tumbuh hidup dan berkembang sesuai denganpotensi dan
kekhasan daerah.3.
Prinsip otonomi yang
bertanggungjawab adalah otonomi yangdalam penyelesaiannya harus benar-benar
sejalan dengansejalan dengan tujuan dan maksud otonomi yang ada dasarnyauntuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkankesejahteraan rakyat yang merupakan
bagian utama dari tujuannasional.Keanekaragaman istilah system otonomi daerah
diperlukan untuk meksud yang sama, maka dapat dikemukakan guna keperluan
acuanpengertian dari system daerah, yakni patokan tentang cara
penentuanbatas-batas urusan rumah tangga daerah (Krishna D. Darumurti dan
UmbuRauta, 2000:14), antara lain:1.
System otonomi formil
Pengertian otonomi secara
formil, tidak ada perbedaan antaraurusan-urusan yang diselenggarakan oleh
pemerintah pusat danoleh daerah-daerah otonom. Hal ini berarti bahwa apa yang
dapatdilakukan oleh Negara (pemerntah pusat) pada prinsipnya dapatpula
dilakukan oleh daerah-daerah otonom bila ada pemabgiantugas (wewenang dan
tanggungjawab), hal ini semata-matadisebabkan pertimbangan-pertimbangan yang
rasional danpraktis, efisiensi tugas pelayanan public.2.
System otonomi riilDalam system
ini, penyerahan urusan atau tugas dankewenangan kepada daerah didasarkan pada
factor yangnyata/riil, sesuai dengan kebutuhan atau kemampuan yang riildari
daerah maupun pemerintah pusat serta pertmbuhanmasyarakat yang terjadi. Hal ini
membawa konsekuensi bahwatugas/urusan yang selama ini menjadi wewenang
pemerintahpusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah, denganmemperhatikan
kemampuan masyarakat daerah untuk mengaturdan mengurusnya sendiri
KESIMPULAN
Konsep pembangunan dan
pengambilan kebijakan dari suatupenyelenggaraan pemerintahan sudah tidak dapat
lagi dilaksanakanbilaman lapisan-lapisan masyarakat yang ada tidak dilibatkan
baik secaralangsung maupun tidak langsung. Sebab, masyarakat adalah
pelaksanadan pelaku dari suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Olehkarena itu, partisipasi masyarakat dan pelaksanaan prinsip-prinsip daripada
good governance
akan semakin sinergi dan dapat
diterima denganbaik. Karena tidak ada lagi yang perlu ditutupi maupun
disembunyikan.Selain itu efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahandaerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan
aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintah
daerah,potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan
persainganglobal dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepadadaerah
yang disertai dengan pemberian hak dan kewajibanmenyelenggarakan otonomi daerah
dalam kesatuan systempenyelenggaraan pemerintahan Negara. Dengan pembagian
tugas yang jelas antara pemerintahan pusat dan daerah, akan semakin jelas
pula siapayang bertanggung jawab atas kegagalan suatu kebijakan.
Paradigma pemerintahan yang
baik,
good governance
memperhatikan tiga domain yang
bersinergi yakni antara sektor publik,swasta, dan masyarakat. Sesuai dengan
paradigma kepemerintahan yangbaik, maka hubungan kerja pada sekor pemerintah
tidak lagi bersifat “hirarkhis” (system koordinasi dari bawah keatas
ataupun sebaliknya),tetapi menjadi “heterarkhis”, artinya penyelenggaraan
kegiatanpemerintahan dengan memperhatikan hubungan dari tiga
domainkepemerintahan yang baik.Dengan melaksanakan konsep
good governance
, maka sectorpemerintah tidak
dapat lagi sebagai pemain utama untuk melakukan hak monopoli dalam
penentuan kebijakan public. Hubungan pemerintahanantara pemerintah, swasta, dan
masyarakat harus dikembangkan jikaparadigma kepemerintahan yang baik
benar-benar akan dilaksanakan.
DAFTAR
PUSTAKABuku
Anonym, 1993.
kamus besar bahasa Indonesia,
tanpa penerbit,
Jakarta. Abdul latief, 2006. Hokum
dan peraturan kebijaksanaan (
beleidsregel
) padapemerintahan daerah, UII
Jogyakarta press, Yogyakarta. Alexander abe, 2001. Perencanaan daerah
memperkuat prakarsa rakyatdalam otonomi daerah, lapera pustaka utama.
Yogyakarta. Andi mustari pide, 1999. Otonomi daerah dan kepala daerah
memasukiabad XXI, gaya media pratama, Yogyakarta. Agussalim andi gadjom,
2007. Pemerintyahan daerah: kajian hokum danpolitik, ghalia Indonesia,
Jakarta. Aos kuswandi, 2000. Pelaksaan fungsi legislative dan dinamika
politik DPRD, laboratorium ilmu pemerintahan FISIP UNISMA,
Jkarta.Bagir manan, 2001. Menyongsong fajar otonomi daerah, PSH
UII Yogyakarta, Yogyakarta.BN marbun, 1983. DPRD pertumbuhan masalah dan
masa depannya,ghalia Indonesia, Jakarta.CST. Kansil, 1991. Pokok-pokok
pemerintahan didaerah, rimaka cipta,Jakarta.Darama kusuma, 2002. Merubah
perilaku birokrasi pada organisasipemerintahan daerah, orasi ilmiah dalam
rangka dies natalis XIIsekolah tinggi pemerintahan dalam negeri,
jatinangor,bandung.
e.Asas Proporsionalitas Asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajibanPenyelenggaraan Negara.f.Asas Profesionalitas Asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik danketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.g.Asas Akuntabilitas Asas yang menentukan
bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatanPenyelenggaraan Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepadamasyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Tambahan lima asas umum
pemerintahan yang baik, yaitu:a.Asas Perlindungan HukumSetiap pegawai negeri diberi
hak dan kebebasan untuk mengatur kehidupanpribadinya sesuai dengan pandangan hidup yang dianutnya atau sesuaidengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.b.Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar Tindakan pemerintah menimbulkan harapan-harapan yang wajar bagi yangberkepentingan.c.Asas Bertindak CermatPemerintah senantiasa bertindak secara hati-hati agar tidak menimbulkankerugian bagi warga masyarakat.d.Asas MotivasiSetiap keputusan pemerintah harus mempunyai alasan atau motivasi yangbenar, adil dan jelas.
e.Asas Fair PlayPemerintah harus memberikan kesempatan yang layak kepada wargamasyarakat untuk mencari kebenaran dan keadilan.
3.
Penyelenggaraan pemerintahan di pusat dan di daerah menurut Pasal 20 Ayat
(1)Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, berdasarkan kepada asas-asas
umumpenyelenggaraan negara yang terdiri dari dari sembilan asas, yaitu:a.Asas Kepastian Hukum Asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturanperundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakanpenyelenggaraan Negara.b.Asas Tertib Penyelenggaraan Negara Asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangandalam pengendalian
Penyelenggaraan Negara.c.Asas Kepentingan Umum Asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif,akomodatif dan selektif.d.Asas Keterbukaan Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperolehinformasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraannegara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,golongan dan rahasia negara.e.Asas Proporsionalitas Asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajibanPenyelenggaraan Negara.f.Asas Profesionalitas
Asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik danketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.g.Asas Akuntabilitas Asas yang menentukan
bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatanPenyelenggaraan Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepadamasyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
h.
Asas Efisiensi Asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang berorientasi padaminimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil kerja yangterbaik.
i.
Asas Efektivitas Asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang berorientasi padatujuan yang tepat guna dan
berdayaguna.
Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar Tindakan pemerintah menimbulkan harapan-harapan yang wajar bagi yangberkepentingan
HARI, TGL, BLN, THN : JUMAT,28 SEPTEMBER 2012 PKL 08.30
WIB
Selamat Datang Pada Tutorial Online MK IPEM4320 Sistem
Pemerintahan Indonesia.
Pada Diskusi 1 ini kita akan membahas tentang konsep sistem dan pemerintahan.
Untuk itu, coba Anda kemukakan pemahaman Anda tentang pengertian sistem dan pemerintahan dengan merujuk konsep yang ada?
Pada Diskusi 1 ini kita akan membahas tentang konsep sistem dan pemerintahan.
Untuk itu, coba Anda kemukakan pemahaman Anda tentang pengertian sistem dan pemerintahan dengan merujuk konsep yang ada?
Selamat Berdiskusi!
TANGGAPAN
DAN JAWABAN TUGAS 1 :
Sistem Pemerintahan Indonesia
Kita sebagai warga negara Indonesia khususnya yang pernah mengalami masa kurun waktu rezim orde baru pernah menerima penataran P-4 setiap tahun ajaran baru mulai SD, SMP, SMA, sampai dengan Perguruan tinggi, semuanya pasti hafal dan memahami seperti apa sistem pemerintahan Indonesia.
Sistem Pemerintahan Negara Indonesia
Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Diamandemenkan .
Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut.
Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut.
- Indonesia adalah
negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
- Sistem
Konstitusional.
- Kekuasaan negara yang
tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Presiden adalah
penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
- Presiden tidak
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
- Menteri negara ialah
pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
- Kekuasaan kepala
negara tidak tak terbatas.
SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA
Pembukaan UUD 1945 Alinea IV
menyatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 UUD
1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik.
Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah
kesatuan, sedangkan bentuk pemerintahannya adalah republik.
Selain bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Hal itu didasarkan pada Pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian, sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Apa yang dimaksud dengan sistem pemerintahan presidensial? Untuk mengetahuinya, terlebih dahulu dibahas mengenai sistem pemerintahan.
I. Pengertian Sistem Pemerintahan
Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata system dan pemerintahan. Kata system merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. kata-kata itu berarti:
a. Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatau
b. Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara.
c. Pemerintahan adalaha perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah
Maka dalam arti yang luas,
pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan
legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai
tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintaha adalah
perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya
dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintahan
diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen
pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian
tujuan dan fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut
Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang berarti
kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan;
Kekuasaan Legislatif yang berati kekuasaan membentuk undang-undang; Dan
Kekuasaan Yudikatif yang berati kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas
undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga
eksekutif, legislative dan yudikatif. Jadi, system pemerintahan negara
menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antar lembaga negara, dan
bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang
bersangkutan.
Tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu system pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia.
Dalam suatu negara yang bentuk pemerintahannya republik, presiden adalah kepala negaranya dan berkewajiban membentuk departemen-departemen yang akan melaksakan kekuasaan eksekutif dan melaksakan undang-undang. Setiap departemen akan dipimpin oleh seorang menteri. Apabila semua menteri yang ada tersebut dikoordinir oleh seorang perdana menteri maka dapat disebut dewan menteri/cabinet. Kabinet dapat berbentuk presidensial, dan kabinet ministrial.
Tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu system pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia.
Dalam suatu negara yang bentuk pemerintahannya republik, presiden adalah kepala negaranya dan berkewajiban membentuk departemen-departemen yang akan melaksakan kekuasaan eksekutif dan melaksakan undang-undang. Setiap departemen akan dipimpin oleh seorang menteri. Apabila semua menteri yang ada tersebut dikoordinir oleh seorang perdana menteri maka dapat disebut dewan menteri/cabinet. Kabinet dapat berbentuk presidensial, dan kabinet ministrial.
a. Kabinet Presidensial
Kabinet presidensial adalah suatu kabinet dimana pertanggungjawaban atas kebijaksanaan pemerintah dipegang oleh presiden. Presiden merangkap jabatan sebagai perdana menteri sehingga para menteri tidak bertanggung jawab kepada perlemen/DPR melainkan kepada presiden. Contoh negara yang menggunakan sistem kabinet presidensial adalah Amarika Serikat
dan Indonesia
b. Kabinet Ministrial
Kabinet ministrial adalah suatu kabinet yang dalam menjalankan kebijaksaan pemerintan, baik seorang menteri secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama seluruh anggota kebinet bertanggung jawab kepada parlemen/DPR. Contoh negara yang menggunakan sistem kabinet ini adalah negara-negara di Eropa Barat.
Apabila dilihat dari cara pembentukannya, cabinet ministrial dapat dibagi menjadi dua, yaitu cabinet parlementer dan cabinet ekstraparlementer.
Kabinet parlementer adalah suatu kabinet yang dibentuk dengan memperhatikan dan memperhitungkan suara-suara yang ada didalam parlemen. Jika dilihat dari komposisi (susunan keanggotaannya), cabinet parlementer dibagi menjadi tiga, yaitu kabinet koalisi, kabinet nasional, dan kabinet partai.
Kabinet Ekstraparlementer adalah kebinet yang pembentukannya tidak memperhatikan dan memperhitungkan suara-suara serta keadaan dalam parlemen/DPR.
II. Sistem Pemerintahan Parlementer Dan Presidensial
Sistem pemerintahan negara dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu:
1. sistem pemerintahan presidensial;
2. sistem pemerintahan parlementer.
Pada umumnya, negara-negara didunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut. Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari dua sistem pemerintahan diatas. Negara Inggris dianggap sebagai tipe ideal dari negara yang menganut sistem pemerintahan parlemen. Bhakan, Inggris disebut sebagai Mother of Parliaments (induk parlemen), sedangkan Amerika Serikat merupakan tipe ideal dari negara dengan sistem pemerintahan presidensial.
Kedua negara tersebut disebut sebagai tipe ideal karena menerapkan ciri-ciri yang dijalankannya. Inggris adalah negara pertama yang menjalankan model pemerintahan parlementer. Amerika Serikat juga sebagai pelopor dalam sistem pemerintahan presidensial. Kedua negara tersebut sampai sekarang tetap konsisten dalam menjalankan prinsip-prinsip dari sistem pemerintahannya. Dari dua negara tersebut, kemudian sistem pemerintahan diadopsi oleh negara-negara lain dibelahan dunia.
Klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut parlementer apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut presidensial apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan parlementer.
Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut :
- Badan legislatif atau
parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai
badan perwakilan dan lembaga legislatif.
- Anggota parlemen
terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemiihan umum.
Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar
menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen.
- Pemerintah atau
kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai
pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan
kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada
perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya
berasal dari parlemen.
- Kabinet bertanggung
jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan
mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen
dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan
mosi tidak percaya kepada kabinet.
- Kepala negara tidak
sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana
menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik
atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki
kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan sebgai symbol kedaulatan dan
keutuhan negara.
- Sebagai imbangan
parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari
perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan
pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru.
Kelebihan Sistem Pemerintahan
Parlementer:
- Pembuat kebijakan
dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat
antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan
legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
- Garis tanggung jawab
dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas.
- Adanya pengawasan
yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi
barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
Kekurangan Sistem Pemerintahan
Parlementer :
- Kedudukan badan
eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen
sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
- Kelangsungan
kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir
sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
- Kabinet dapat
mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet
adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh
mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai
parlemen.
- Parlemen menjadi
tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka
menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk
menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
Dalam sistem pemerintahan
presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang
independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti
dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara
terpisah.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan presidensial.
Ciri-ciri dari sistem pemerintaha presidensial adalah sebagai berikut.
- Penyelenggara negara
berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih
langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.
- Kabinet (dewan
menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab kepada presiden
dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.
- Presiden tidak
bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak
dipilih oleh parlemen.
- Presiden tidak dapat
membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
- Parlemen memiliki
kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen
dipilih oleh rakyat.
- Presiden tidak berada
dibawah pengawasan langsung parlemen.
Kelebihan Sistem Pemerintahan
Presidensial :
- Badan eksekutif lebih
stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
- Masa jabatan badan
eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan
Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah
lima tahun.
- Penyusun program
kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
- Legislatif bukan
tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh
orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
Kekurangan Sistem Pemerintahan
Presidensial :
- Kekuasaan eksekutif
diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan
mutlak.
- Sistem pertanggungjawaban
kurang jelas.
- Pembuatan keputusan
atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan
legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu
yang lama.
III. Pengaruh Sistem Pemerintahan
Satu Negara Terhadap Negara-negara Lain
Sistem pemerintahan negara-negara didunia ini berbeda-beda sesuai dengan keinginan dari negara yang bersangkutan dan disesuaikan dengan keadaan bangsa dan negaranya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer merupakan dua model sistem pemerintahan yang dijadikan acuan oleh banyak negara. Amerika Serikat dan Inggris masing-masing dianggap pelopor dari sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Dari dua model tersebut, kemudian dicontoh oleh negara-negar lainnya.
Sistem pemerintahan negara-negara didunia ini berbeda-beda sesuai dengan keinginan dari negara yang bersangkutan dan disesuaikan dengan keadaan bangsa dan negaranya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer merupakan dua model sistem pemerintahan yang dijadikan acuan oleh banyak negara. Amerika Serikat dan Inggris masing-masing dianggap pelopor dari sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Dari dua model tersebut, kemudian dicontoh oleh negara-negar lainnya.
Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial: Amerika Serikat, Filipina, Brasil, Mesir, dan Argentina. Dan contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan parlemen: Inggris, India, Malaysia, Jepang, dan Australia.
Meskipun sama-sama menggunakan sistem presidensial atau parlementer, terdapat variasi-variasi disesuaikan dengan perkembangan ketatanegaraan negara yang bersangkutan. Misalnya, Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial tidak akan sama persis dengan sistem pemerintahan presidensial yang berjalan di Amerika Serikat. Bahkan, negara-negara tertentu memakai sistem campuran antara presidensial dan parlementer (mixed parliamentary presidential system). Contohnya, negara Prancis sekarang ini. Negara tersebut memiliki presiden sebagai kepala negara yang memiliki kekuasaan besar, tetapi juga terdapat perdana menteri yang diangkat oleh presiden untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari.
Sistem pemerintahan suatu negara berguna bagi negara lain. Salah satu kegunaan penting sistem pemerintahan adalah sistem pemerintahan suatu negara menjadi dapat mengadakan perbandingan oleh negara lain. Suatu negara dapat mengadakan perbandingan sistem pemerintahan yang dijalankan dengan sistem pemerintahan yang dilaksakan negara lain. Negara-negara dapat mencari dan menemukan beberapa persamaan dan perbedaan antarsistem pemerintahan. Tujuan selanjutnya adalah negara dapat mengembangkan suatu sistem pemerintahan yang dianggap lebih baik dari sebelumnya setelah melakukan perbandingan dengan negara-negara lain. Mereka bisa pula mengadopsi sistem pemerintahan negara lain sebagai sistem pemerintahan negara yang bersangkutan.
Para pejabat negara, politisi, dan para anggota parlemen negara sering mengadakan kunjungan ke luar negeri atau antarnegara. Mereka melakukan pengamatan, pengkajian, perbandingan sistem pemerintahan negara yang dikunjungi dengan sistem pemerintahan negaranya. Seusai kunjungan para anggota parlemen tersebut memiliki pengetahuan dan wawasan yang semakin luas untuk dapat mengembangkan sistem pemerintahan negaranya.
Pembangunan sistem pemerintahan di Indonesia juga tidak lepas dari hasil mengadakan perbandingan sistem pemerintahan antarnegara. Sebagai negara dengan sistem presidensial, Indonesia banyak mengadopsi praktik-praktik pemerintahan di Amerika Serikat. Misalnya, pemilihan presiden langsung dan mekanisme cheks and balance. Konvensi Partai Golkar menjelang pemilu tahun 2004 juga mencontoh praktik konvensi di Amerika Serikat. Namun, tidak semua praktik pemerintahan di Indonesia bersifat tiruan semata dari sistem pemerintahan Amerika Serikat. Contohnya, Indonesia mengenal adanya lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat, sedangkan di Amerika Serikat tidak ada lembaga semacam itu.
Dengan demikian, sistem pemerintahan suatu negara dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau model yang dapat diadopsi menjadi bagian dari sistem pemerintahan negara lain. Amerika Serikat dan Inggris masing-masing telah mampu membuktikan diri sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial dan parlementer seara ideal. Sistem pemerintahan dari kedua negara tersebut selanjutnya banyak ditiru oleh negara-negara lain di dunia yang tentunya disesuaikan dengan negara yang bersangkutan.
IV. Sistem Pemerintahan Indonesia
a. Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Diamandemen.
Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut.
- Indonesia adalah
negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
- Sistem
Konstitusional.
- Kekuasaan negara yang
tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Presiden adalah
penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
- Presiden tidak
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
- Menteri negara ialah
pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
- Kekuasaan kepala
negara tidak tak terbatas.
Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem
pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem
pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa
pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem
pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga
kepresidenan. Hampir semua kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945
tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai
wakil rakyat. Karena itu tidak adanya pengawasan dan tanpa persetujuan DPR,
maka kekuasaan presiden sangat besar dan cenderung dapat disalahgunakan.
Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak
positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan
pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid.
Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan
pertentangan antar pejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik
perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam
diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang
didapatkanya.
Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi
- adanya pembatasan
kekuasaan pemerintahan atau eksekutif,
- jaminan atas hak
asasi manusia dan hak-hak warga negara.
Berdasarkan hal itu, Reformasi yang
harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan
mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional,
diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang
sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat
kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang
telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia
sekarang ini.
b. Sistem pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Setelah Diamandemen
Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan baru diharapkan berjalan mulai tahun 2004 setelah dilakukannya Pemilu 2004.
b. Sistem pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Setelah Diamandemen
Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan baru diharapkan berjalan mulai tahun 2004 setelah dilakukannya Pemilu 2004.
Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Bentuk negara kesatuan
dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa
provinsi.
2. Bentuk pemerintahan adalah
republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
3. Presiden adalah kepala
negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
4. Kabinet atau menteri
diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
5. Parlemen terdiri atas dua
bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif
dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
6. Kekuasaan yudikatif
dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.
Sistem pemerintahan ini juga
mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan
pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem
presidensial. Beberapa variasi dari sistem
pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut;
- Presiden
sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR
tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak
langsung.
- Presiden dalam
mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
- Presiden dalam
mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari
DPR.
- Parlemen diberi
kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak
budget (anggaran)
Dengan demikian, ada
perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu
diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan
baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral,
mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada
parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.
Kesimpulan
Sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga yang bekerja dan berjalan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan penyelenggaraan negara. Lembaga-lembaga negara dalam suatu sistem politik meliputi empat institusi pokok, yaitu eksekutif, birokratif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, terdapat lembaga lain atau unsur lain seperti parlemen, pemilu, dan dewan menteri.
Pembagian sistem pemerintahan negara secara modern terbagi dua, yaitu presidensial dan ministerial (parlemen). Pembagian sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dalam sistem parlementer, badan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari legislatif. Sebaliknya, apabila badan eksekutif berada diluar pengawasan legislatif maka sistem pemerintahannya adalah presidensial.
Dalam sistem pemerintahan negara republik, lembaga-lembaga negara itu berjalan sesuai dengan mekanisme demokratis, sedangkan dalam sistem pemerintahan negara monarki, lembaga itu bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip yang berbeda.
Sistem pemerintahan suatu negara berbeda dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di negara lain. Namun, terdapat juga beberapa persamaan antar sistem pemerintahan negara itu. Misalnya, dua negara memiliki sistem pemerintahan yang sama.
Perubahan pemerintah di negara terjadi pada masa genting, yaitu saat perpindahan kekuasaan atau kepemimpinan dalam negara. Perubahan pemerintahan di Indonesia terjadi antara tahun 1997 sampai 1999. Hal itu bermula dari adanya krisis moneter dan krisis ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar