MENGAPA DIPERLUKAN PERENCANAAN
KOTA?
Oleh:
Dadang Djoko Karyanto
Abstrak
Setiap menentukan langkah dalam suatu
pembangunan, diperlukan rencana yang matang agar menguntungkan di segala aspek
dan berkelanjutan. Apabila salah langkah, tentunya akan berpengaruh besar terhadap
kelanjutan pembangunan kota. Tujuan dalam merencanakan suatu kota atau desa
adalah untuk menyejahterakan masyarakat, menyamankan masyarakat untuk tinggal
dan berkegiatan di kota/desa tersebut, dan agar kota/desa tersebut
berkelanjutan. Kita akan sering mendengar kata-kata ini di dunia perencanaan.
Kota yang berkelanjutan atau sustainable
city adalah kota yang dapat
ditinggali dan dimanfaatkan sumber daya nya oleh masyarakat hingga turun
temurun, itu adalah pengertian sederhananya.
Lalu,
bagaimana ketika rencana kita telah berhasil sepenuhnya, atau tujuan kita telah
tercapai? Masihkah kita diperlukan? Tentu saja. Kota tidak akan stabil, baik
penduduknya, ekonominya, ataupun infrastrukturnya. Jikapun tujuan kita dapat
tercapai, kota akan selalu tumbuh dan berubah-ubah, dan rencana baru pun
diperlukan. Itulah mengapa RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) harus diperbarui 5(lima)
tahun sekali, belum lagi dengan revisinya. Lagipula, tugas perencana bukan
hanya merencanakan dokumen sebagai basis pembangunan. Kita juga berkewajiban untuk mengawasi
penerapan rencana itu sendiri.
Kata
kunci: Perencanaan disusun untuk menyediakan ruang yang nyaman bagi seluruh
lapisan masyarakat untuk melaksanakan aktivitasnya. Ruang adalah sesuatu yang
memiliki luas yang tetap sedangkan masyarakat itu dinamis dan terus mengalami
pertumbuhan. Pertumbuhan penduduk mengakibatkan pertambahan rumah,
infrastruktur, fasilitas umum dan sosial, padahal luas ruang yang tersedia
tetap. Oleh karena itu, untuk memanfaatkan ruang yang ada agar tetap nyaman
beraktivitas, pertumbuhan masyarakat ini harus dikontrol.
I.
PENDAHULUAN
Planner (sebenarnya kita tidak
begitu suka mendefinisikan diri kita dengan kata itu saat ini), kota seringkali
dianggap hanya sebagai hanya sebuah ”kota”. Makna ini tidak lebih luas dari
yang kita sampaikan sebagai sebuah urban. Di bangku kuliah kita berdiskusi
tentang perencanaan kota atau city planning, bukan urban planning. Kita melihat
ada dua kecenderungan yang dibawa oleh perbedaan pemahaman antara kedua istilah
tersebut. Pertama, city planning melihat kota secara analitis, dibagi menurut
komponen-komponennya: fisik geografis, tata guna lahan, sosial ekonomi, sosial budaya,
dan kelembagaan. Sementara itu, urban planning memiliki makna yang dalam yang
diamati secara empiris, seperti pola kehidupan masyarakat, protes sosial,
organisasi, dan pemerintahan.
Ketika kita menerjemahkan
perencanaan kota sebagai city planning, cara pandang perencana menjadi bersifat
mekanis dan analitis. Justru yang berlangsung saat ini adalah hal yang sebutkan
tersebut. Mau bukti. Rencana kota menjadi dokumen yang dibuat oleh ”para ahli”
yang memetakan kebutuhan masyarakat atas lahan dan pengaturan ruang. Seluruhnya
disusun dengan menggunakan pedoman yang dianggap sebagai kitab suci. Kerangka
rencana dibuat menurut pedoman tersebut, tinggal isinya yang dilengkapi. Isi
yang dilengkapi tersebut disusun dengan menggunakan metode perencanaan yang sifatnya
analitis: formula yang generik diaplikasikan untuk memproyeksikan pertumbuhan
dan jumlah penduduk. Siapa yang tidak kenal rumus-rumus ajaib, seperti: metode
pertumbuhan linier, eksponsial, bunga berganda, maupun pertumbuhan dengan
batasan sumber daya? Parameter kuantitas penduduk ini digunakan untuk
mengestimasikan kebutuhan terhadap ruang maupun komponen-komponennya, seperti
infrastruktur sampah, air bersih, sekolah, rumah sakit, dll.
Betapa susahnya dosen kita
yang kita kagumi karena memiliki pendekatan berbeda dari kebanyakan pengajar
yang lain pada mata kuliah yang sama untuk merubah cara kerja mahasiswa calon
planner yang cenderung mekanistik dan analitis tersebut. Beliau senantiasa
menekankan perencana harus ”turun gunung” dan merumuskan rencana melalui
keterlibatan langsung dengan kegiatan-kegiatan masyarakat yang membutuhkan
ruang. Hal ini tidak mudah diterima karena memakan waktu dan untuk beberapa
orang tidak mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda dari konteks
budayanya.
Kita beranggapan bahwa dokumen
rencana ruang kita dibuat tebal namun kurang sekali memiliki makna. Masih
banyak pula konsep dan program ruang yang dibuat dengan metode yang kabur dan
mereduksi kenyataan di lapangan. Parameter yang digunakan untuk menyusun
program ruang masih lemah dan kurang lengkap, tidak hanya cukup dengan
pertimbangan kuantitas penduduk seperti yang kita sampaikan di atas. Atas dasar
prerogatif perencana maupun tim teknis proyek, seringkali rencana dibuat dengan
rumusan yang hanya dapat ditemui di kepala mereka. Bahkan, kepentingan politis
sepihak seringkali dengan mudah masuk.
Berbeda dengan standar,
pedoman disusun dengan memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada seseorang
atau dalam hal perencana untuk menggali permasalahan di lapangan dan menyusun
rekomendasi. Pedoman hanya memberikan kerangka, bukan menetapkan urutan langkah
atau hasil-hasil yang akan dicapai. Hal ini berbeda dengan kegiatan di bidang
konstruksi bangunan dan jalan yang objeknya memiliki parameter-parameter yang
dapat dikendalikan dengan mudah. Sementara itu, objek dalam tata ruang bukanlah
ruang per se, melainkan warga kota.
Dari pengamatan ini, kita
menyarankan perencanaan kota sebagai city planning kuranglah tepat. Kita musti
bergerak ke arah perencanaan kota sebagai urban planning yang menekankan kepada
pengamatan mendalam atas fenomena keruangan. Dalam pengertian ini, keruangan
didekati secara empiris, tidak a priori, dan mendefinisikan isu spesifik yang
ditentukan di lapangan, bukan di kepala planner. Parameter disusun dengan kehati-hatiaan dan
bersifat unik karena lokasi, konteks sosial, dan posisi strategis dibandingkan
lokasi lainnya. Produk dari semua proses tersebut adalah rencana kota yang yang
ditujukan untuk menciptakan sebuah ”place”, bukan sekedar ruang yang di dalam
rencana direpresentasikan dengan legenda dan warna-warna.
Kita meyebutkan pola
perencanaan saat ini adalah mekanistik. Sebagai analogi, di bidang teknologi
jalan, dikenal kategori kajian: empirik, mekanistik, dan analitik. Sampai saat
ini, kita memahami teknologi jalan di Indonesia masih diciptakan dan
dikembangkan melalui metode empirik. Hal ini dikarenakan karena para insiyur
jalan kita masih sangat berhari-hati untuk menentukan parameter-parameter untuk
melangkah ke perencanaan atau perancangan yang sifatnya mekanis dan analitis.
Bukan mereka tidak mampu, melainkan beragamnya kondisi lingkungan di Indonesia
yang menyulitkan rumusan fungsi konstruksi yang melibatkan parameter yang
teridentifikasi jelas yang sifatnya generik.
Kapan para perencana berhenti
untuk berpikir mekanik – analitik dan mulai bergerak dari apa yg ada di
sekitarnya?Perencanaan kota merupakan proses penyusunan
rencana tata ruang kota, yang didalamnya terkandung arahan penataan ruang kota.
Pada mulanya, kegiatan perencanaan dilakukan oleh orang-orang “pilihan” yang
dianggap mampu menerjemahkan visi dan keinginan manusia akan tata ruang yang
lebih baik, atau mereka yang sangat berduit untuk merealisasikan cita-cita
mereka mengenai masyarakat yang dianggap ideal. Orang-orang ini diantaranya
seperti Daniel Burnham yang merencanakan Wangshinton D.C., Frederick Law
Olmsted, Jr. yang merencanakan Kota New York, atau Ebenezer Howard yang
merumuskan konsep Garden City.
Pengetahuan mereka tentang subastansi rencana sangat
dipengaruhi oleh bentuk intervensi yang dapat mengarahkan masyarakat menikmati
kualitas hidup yang lebih baik. Howard memikirkan mengenai kota industri yang
penuh dengan polusi sehingga merasa perlu untuk memindahkan komunitas kota ke
daerah pedesaan yang masih alami. Kota baru ini disebutnya dengan Garden City.
Dalam prakteknya, perencanaan pada masa yang lampau
sangat dipengaruhi oleh “keterpesonaan” perencana agar dapat memahami alam
dengan lebih baik dan menciptakan keterhubungan antara manusia dan alam. Dalam
skala mikro, hal ini dipraktikkan oleh Frank Llyod Wright dengan rancangan
arsitektur yang memadukan antara alam dan lingkungan buatan. Dalam skala yang
lebih makro, beberapa komunitas masih memperlihatkan upaya penyeimbangan antara
manusia – alam melalui perancangan kota, seperti yang ditunjukkan dalam prinsip
perancangan ruang komunitas di Bali yang tetap berpegangan pada pengetahuan
lokal. Salah satu praktik yang menonjol adalah pemisahan ruang menjadi tiga
yang merupakan upaya pengaturan ruang kosmologis yang menyeimbangkan antara
manusia – Tuhan, manusia – manusia, dan manusia – alam. Pada skala kota,
keseimbangan ini dijaga dengan mengendalikan agar lingkungan memberikan hidup
yang nyaman bagi yang tinggal di dalamnya, misalnya dengan mempertahankan ruang
terbuka hijau (pemakaman yang harus selalu ada).
II.
PERMASALAH
Urbanisasi dan Permasalahan kota
Kenyataan sering mendahului tata kota (Frick :
2007). Kota-kota saat ini tumbuh secara liar, sehingga menjadi kota anonim yang
terjadi akibat tidak adanya rencana. Pergantian fungsi kota menjadi kota
industri, membuat masyarakat berbondong-bondong datang ke kota. Hal ini disebut
dengan proses urbanisaasi yang terjadi dari desa ke kota, akibat adanya daya
tarik kota terkait penyediaan lapangan kerja maupun kehidupan yang lebih baik.
Urbanisasi merupakan sebuah bentuk peralihan
kondisi sosial-spasial masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Di satu
sisi urbanisasi dibutuhkan untuk mentransformasi kondisi sosial masyarakat,
namun urbanisasi semu mulai timbul dengan menurunnya kualitas SDA masyarakat
yang berpindah.
Proses migrasi dari desa ke kota tidak diimbangi
dengan proses masuknya individu-individu yang berkualitas untuk mewujudkan
pembangunan kota menggunakan sistem Bottom
Up. Soetomo (2009) mengatakan
bahwa :
Proses urbanisasi melalui proses migrasi
tersebut menempatkan kota-kota besar dalam proses selektif sosio spasial yang
menciptakan kemiskinan kota, kesenjangan yang rawan terhadap kelompok yang
dikategorikan sebagai sektor informal danPsedeu Urbanisasi (Urbanisasi semu).
Selain permasalahan yang ditimbulkan oleh
urbanisasi, permasalahan penataan ruang kota juga terjadi akibat teori-teori
perencanaan kota yang dipakai di indonesia sebagian besar merupakan teori yang
berasal dari adat barat dan diadopsi dari kebudayaan mereka di negara maju.
Sedangkan indonesia ialah negara dunia ketiga yang sebagian besar masyarakatnya
masih mengacu pada adat istiadat lokal daerah masing-masing yang sangat
beragam, maka dari itu, untuk memajukan perencanaan kota di indonesia perlu
dimulai dengan dibangunnya teori-teori yang sesuai karakteristik wilayah lokal
di Indonesia sendiri.
Arus globalisasi turut menyumbangkan
pemikiran-pemikiran baru dalam perencanaan kota. Sistem demokrasi juga mulai di
adopsi oleh indonesia dari negara Barat dengan paham kapitalisme. Pemikir
kapitalisme berlandasan pada fundalisme pasar, yaitu berpendapat bahwa
kepentingan umum pasti akan terpenuhi kebutuhannya jika masing-masing orang
dibiarkan mengejar kepentingannya sendiri. Menurut paham ini, setiap orang demi
kepentingan pribadinya pasti akan melakukan apa saja, sehingga hasil akhirnya kepentingan
umum akan terwujudkan. Namun paham ini tidak melihat pada kenyataan lain bahwa
ketika ketidakstabilan pasar muncul, maka kepentingan-kepentingan individu akan
lebih kuat sehingga mengdorong keegoisan yang tidak berujung pada kepentingan
bersama.
Perencanaan Seharusnya
Kota adalah partikel yang memiliki atom-atom
pembentuk. Agar dapat memperbaiki kota, para perencana perlu mengenal kota yang
akan diperbaiki tersebut. Tidak hanya mengenai masalah apa yang menjangkiti
kota, namun terkait dengan ketahanan serta kekebalan dari kota itu sendiri.
Salah satu elemen yang harus dipelajari ialah mengenai kondisi masyarakatnya.
Tiap individu maupun kelompok masyarakat akan
memperoleh resiko atau ketidakpastian dari luar lingkungannya, apapun bisa
terjadi. Tanpa perencanaan kota, individu dan masyarakat akan bertindak
semaunya saja, pemanfaatan lahan akan terjadi dimana-mana, disinilah letak
Rencana Tata Ruang wilayah harusnya bukan hanya menjadi pengatur guna lahan
yang ada namun juga merumuskan bagaimana tata guna lahan yang direncanakan
dapat diwujudkan demi pembangunan kota yang lebih baik.
John Clammer dalam Zahnd (2008) telah
mengarahkan sistem strategi untuk dapat mengarahkan perkembangan kota secara
lebih baik melalui :
1.
Tuntutan-tuntutan strategis
menekankan pada aspek-aspek sosio-spasial;
2.
Pola-pola perkotaan perlu
digabungkan dengan lokalitas setempatnya;
3.
Perkembangan kota yang efektif
tidak menekankan tempat pembangunannya saja, melainkan juga dinamika di
dalamnya, serta hubungannya dengan tempat pembangunan lain.
Perencanaan idealnya tidak hanya memperhatikan
elemen fisik saja namun juga sosio-spatial yang terjadi dalam suatu wilayah.
Sehingga suatu kota direncanakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat/lingkungan
yang akan hidup didalamnya. Mengampu banyak kepentingan didalam sebuah
perencanaan menjadikan sebuah perencanaan dapat diwujudkan secara bersama-sama
oleh elemen masyarakat.
Pola-pola perkotaan dikembalikan lagi sesuai
dengan budaya lokalitas setempat, agar fungsi dari pola perkotaan yang telah direncanakan
merupakan hasil intepretas kegiatan sosial yang berlangsung sebelumnya di
kawasan tersebut. Namun tidak berarti bahwa pola perkotaan lain yang berasal
dari budaya yang berbeda tidak dapat disatukan secara lebih serasi.
Zahnd (2008) juga telah merumuskan pendekatan
yang berdasarkan pada 5 kriteria untuk dapat mengefektifkan perencanaan kota
dalam lingkungan indonesia. 5 kriteria tersebut ialah :
1.
Mendukung identitas :
perencanaan kota diarahkan agar dapat mendukung watak kawasan yang dibangun
tanpa harus merancang secara langsung
2.
Memungkinkan vitalitas : dalam
hal ini perencanaan kota mendukung berbagai cara urbanisasi, baik yang terjadi
secara formal maupun informal tanpa adanya pembatasan
3.
Membiarkan fleksibilitas :
perencanaan kota juga perlu untuk mendukung perkembangan yang dinamis dengan
batasan tertentu dengan potensi terhadap perubahan yang bermacam-macam
4.
Menguatkan efisiensi :
perencanaan harus mendukung gagasan-gagasan pembangunan kota yang menggunakan
massa dan ruang kota secara efisien.
5.
Melibatkan realisasi :
perencanaan kota yang efektif menggunakan sistem yang ada dalam realitas
pembangunan kota, namun tidak dihambat oleh sistem tersebut.
Maka dapat kita simpulkan bahwa Perencanaan yang
baik ialah bukan perencanaan yang hanya mengatur tata guna lahan secara fisik,
namun juga dapat mewujudkan perencanaan tata guna lahan tersebut menjadi sebuah
kawasan yang memiliki identitas dari hasil rencana, perencanaan kota juga harus
mempertimbangkan aspek-aspek baru yang akan muncul sesuai dengan perkembangan
waktu, selain urbanisasi yang terjadi akibat adanya modernisasi, bisa jadi akan
ada faktor lain yang akan mempengaruhi perencanaan kota di era globalisasi ini
Semua standar yang telah disusun untuk mendukung
perencanaan kota yang lebih baik ini akan lebih sempurna lagi menurut saya
apabila perencanaan kota manapun dilandaskan pada konsep keberlanjutan. Dimana,
kehhidupan sekarang tentunya akan sangat berpengaruh bagi kehidupan yang akan
datang, ketika kita bijak merencanakan maka kondisi kota dimasa depan mungkin
saja akan menjadi lebih baik lagi tanpa mengurangi keseimbangan lingkungan
alam.
III.
PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan disajikan mengenai perlunya
pengembangan pendekatan yang bersifat holistik
(menyeluruh, utuh) sebagai jawaban terhadap krisis atau masalah penataan ruang di Indonesia seperti yang telah di
jelaskan pada postingan - postingan sebelumnya, yaitu mengenai masalah tata
ruang dalam prakteknya di Indonesia seperti :
Selain masalah tata ruang dalam hal praktek, terdapat
juga masalah tata ruang dalam teorinya yaitu sebagai berikut :
Berikut ini akan diuraikan kesimpulan yang dapat
dihimpun dari permasalahan perencanaan tata ruang dan konsep dasar untuk
memecahkan masalah secara holistik.
IV.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kesimpulan terhadap masalah perencanaan tata ruang di Indonesia
Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian pada postingan
- postingan sebelumnya yang ditampilkan diatas adalah bahwa terdapat banyak
kekurangan di dalam perencanaan dan pengelolaan penataan ruang di Indonesia.
Kekurangan tersebut adalah sebagai berikut :
·
Kebijaksanaan yang tidak jelas
serta tidak konsisten terhadap penggunaan lahan yang berwawasan lingkungan.
Kebijaksanaan tersebut meliputi penanganan limbah (industri maupun rumah
tangga), ruang terbuka hijau maupun
pembuangan air dan sebagainya;
·
Kegagalan mengakomodasi
kehendak atau tujuan masyarakat sebagai
pengguna ruang dan kurang keterlibatannya di dalam proses perencanaan;
·
Kegagalan menangkap isu - isu
yang relevan terhadap masalah penataan ruang. Isu - isu yang muncul sehari -
hari dibiarkan oleh pemerintah dan masyarakat. Misalnya, pedagang kaki lima
(PKL) yang merambah jalan raya, pasar tradisional yang terabaikan, dan
sebagainya;
·
Kegagalan mengintegrasi
kegiatan antar sektor. Kegiatan antar sektor, baik oleh pemerintah maupun
swasta, sering berjalan sendiri - sendiri sehingga tidak diperoleh sinergi
antar kegiatan dan terjadi pemborosan sumber daya;
·
Tidak ada penekanan terhadap
solusi teknis. Solusi sering ditekankan pada aspek non teknis seperti
pertimbangan politis, tradisi serta kebiasaan, dsb;
·
Ada masalah kelembagaan penataan ruang menyangkut kelemahan lembaga dan
kejelasan kewenangannya;
·
Peraturan perundangan penataan
ruang yang masih kurang dan yang ada belum dapat berjalan secara efektif.
Bahkan ada peraturan perundangan yang bertentangan secara mendasar;
·
Kekurangan akses informasi di
dalam proses pengambilan keputusan.
2. Konsep Dasar Perencanaan dan Pengelolaan Holistik
Diperlukannya pendekatan perencanaan dan pengelolaan
yang bersifat holistik dan integratif mengingat bahwa fenomena keruangan pada
era globalisasi bersifat sangat kompleks. Krisis perkotaan di Indonesia sebagai
kelanjutan dari krisis ekonomi pada akhir - akhir ini memerlukan suatu
pengembangan pendekatan holistik yang terdiri atas 3 pilar/asas yang saling
terkait, yaitu :
1.
Secara ekonomi menguntungkan
·
Pembangunan ekonomi
berkelanjutan;
·
Peningkatan pendapatan
masyarakat;
·
Peningkatan lapangan kerja;
·
Pemerataan pendapatan;
·
Perencanaan berbasis ekonomi
lokal tetapi berorientasi regional/global. Pengembangan ekonomi yang
terintegrasi antara aktor lokal dengan penggerak dari luar.
2.
Ramah terhadap lingkungan
·
Konservasi dan pengawetan
lingkungan;
·
Efisiensi penggunaan sumber
daya;
·
Mengurangi limbah;
·
Teknologi yang tepat;
3.
Secara sosial dan politik
diterima oleh masyarakat dan sensitif terhadap budaya
·
Demokratisasi perencanaan dan
pengelolaan tata ruang;
·
Desentralisasi perencanaan dan
pengelolaan tata ruang;
·
Pemanfaatan pengetahuan asli
daerah;
·
Pemerataan sosial, integrasi
antara issue fisik dengan issue sosial;
·
Integritas budaya.
Aspek - aspek tersebut akan menentukan tingkat partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan tata ruang. Jenis
dan tingkat partisipasi dapat dibedakan sebagai berikut :
1.
Partisipasi pasif, partisipan
tidak melibatkan diri dalam proses perencanaan tetapi juga tidak menolak
rencana dan mau menerima informasi tentang apa yang telah diputuskan;
2.
Partisipasi sebagai sumber
informasi;
3.
Partisipasi dengan memberikan
pendapat atau pandangan;
4.
Partisipasi dengan memberikan
bantuan materil;
5.
Partisipasi sebagai pelaksana
rencana atau proyek, disebut juga partisipasi fungsional;
6.
Partisipasi interaktif, dengan
bantuan dari tenaga ahli luar, masyarakat mampu mengidentifikasi dan menganlisa
masalahnya sendiri, menemukan pemecahan masalah, merencanakan dan bertanggung
jawab dalam melaksanakan kegiatan.
7.
Berdaya dan mampu mobilisasi
secara mandiri. Tanpa bantuan pihak luar, masyarakat mampu berinisiatif merubah
dan membangun sistem baru. Mereka berhubungan dengan lembaga luar sebagai nara
sumber dan penasehat teknis tetapi mandiri dalam memutuskan rencana.
Pengetahuan asli daerah yang biasanya berupa kebiasaan,
kepercayaan, dan pantangan masyarakat sering dianggap remeh karena dianggap
tidak ilmiah. Di dalam masyarakat kita yang beragam terdapat tradisi - tradisi
positif yang telah teruji oleh jaman akan manfaatnya. Pemanfaatan pengetahuan
asli daerah dapat mendorong tingkat partisipasi masyarakat karena masyarakat
telah terbiasa dengan hal tersebut.
Partisipasi masyarakat adalah
kunci keberhasilan memecahkan masalah perencanaan. Apabila partisipasi
terbentuk secara penuh maka akan mengarah pada keadaan :
·
Rasa memiliki;
·
Meningkatnya komitmen pada
pencapaian tujuan dan hasil;
·
Kelestarian sosial jangka
panjang;
·
Keberdayaan masyarakat terwujud
Itulah beberapa poin penting dalam pembahasan mengenai upaya mengatasi masalah penataan ruang dengan menggunakan
pendekatan holistik (menyeluruh)
DAFTAR PUSTAKA
Kasnawi
dan Ramli. 2006. Pembangunan Masyaraka
Kota dan Desa (IPEM 4542).Universitas Terbuka
(modul 1).Jakarta.
Hanif
Nurcholis. 2011. Pertumbuhan dan
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. PT Penerbit Erlangga. Jakarta.
M.Irfan Islamy. 2009. Kebijakan
Publik. Universitas Terbuka. Jakarta.
Mirrian Sjofyan Arif dkk. 2013. Manajemen
Pemerintahan. Universitas Terbuka. Jakarta.
Rabina Yunus, Anto Hidayat, Siti Aisyah. 2011. Sistem Pemerintahan Indonesia. Universitas Terbuka. Jakarta.
H. Achmad Batinggi, H. Badu Ahmad. 2011. Manajemen Pelayanan Umum. Universitas Terbuka. Jakarta.
M. Tahir Kasnawi, Sulaiman Asang.2013. Perubahan
Sosial dan Pembangunan. Universitas Terbuka. Jakarta.
http://idm.wikipedia.org/wiki/dewan_perwakilan_rakyat
Ketetapan
MPR Nomor XV/ MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan
Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Yunus
dkk. 2011. Sistem Pemerintahan Daerah.
Universitas Terbuka. Jakarta
Djumhana, Muhamad. 2007. Pengantar Hukum Keuangan Daerah dan Himpunan peraturan Perundang-undangan di Bidang Keungan Daerah, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
nisiasi 1
Melalui Inisiasi I, Anda diajak untuk memahami pengertian
pembangunan masyarakat, teori, dan indikator pembangunan. Pada inisiasi ini
akan dibahas terlebih dahulu pengertian kota. Mengapa kota? karena kota
merupakan pusat pelayanan: pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan perbankan. Kota juga pusat kegiatan ekonomi: perdagangan, industri, dan jasa. Pembangunan
dan implikasinya memerlukan koordinasi oleh semua lembaga yang berada di kota. Terdapat berbagai definisi mengenai kota yang membedakan secara tegas tentang
makna dan fungsi kota pada skala makro dan mikro. Secara makro kota merupakan bagian dari sistem kota global, dengan semua resiko dan manfaat yang
terkandung, serta sebagai akibat globalisasi dari kehidupan masyarakat yang semakin
metropolis. Secara mikro kota merupakan sistem dari beragam sarana fisik dan
non fisik yang diadakan oleh dan untuk warga masyarakat, serta untuk merangsang
dan memfasilitasi aktivitas, serta kreativitas warga, dalam mewujudkan
cita-cita politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidupnya. Kota membuka dan memberi peluang yang sama bagi semua lapisan masyarakat dalam
mencapai kehidupan yang sesuai dengan cita-citanya secara adil dan demokratis. Kota-kota di Indonesia berkembang pesat, dan direncanakan sesuai dengan standar
kota di dunia. Akan tetapi, kota di Indonesia tetap mempunyai ciri khas local baik yang fisik maupun non-fisik dalam dimensi kemanusiaan yang alami. Pembangunan perkotaan di Indonesia memberikan berbagai dampak bagi masyarakat
secara luas, baik yang bersifat positif , maupun yang negatif. Disadari bahwa pembangunan di kota-kota besar dan menengah di Indonesia, yang dipenuhi oleh
penduduk yang berurbanisasi dari desa-desa memberikan banyak manfaat bagi
Pemerintah dan bagi masyarakat. Manfaat dimaksud di antaranya adalah dukungan terhadap peningkatan Produk Regional Bruto(PDRB), kesempatan kerja di sektor
formal, penyediaan sarana dan prasarana umum serta penyediaan sarana dan teknologi untuk peningkatan pengetahuan dan kepentingan warga masyarakat. Namun
dampak negatif yang ditimbulkan pembangunan kota juga ada, misalnya perumahan kumuh di pinggir kota, kemacetan lalu lintas, polusi udara yang tinggi, dan
banjir. Salah satu faktor dampak negatif pembangunan kota adalah kesalahan
pendekatan dan penyusunan perencanaan kota. Sejak Indonesia merdeka maka kata pembangunan menjadi semacam
mantera karena dengan kata ini bangsa ini tersihir akan segera keluar dari
kesengsaraan akibat kemiskian yang panjang. Akan tetapi, setelah pembangunan dilaksanakan 65 tahun dan secara intensif dilakukan sejak zaman Orde Baru,
masyarakat desa dan sebagian masyarakat kota masih hidup sengsara akibat kemiskinaan.
pembangunan masyarakat, teori, dan indikator pembangunan. Pada inisiasi ini
akan dibahas terlebih dahulu pengertian kota. Mengapa kota? karena kota
merupakan pusat pelayanan: pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan perbankan. Kota juga pusat kegiatan ekonomi: perdagangan, industri, dan jasa. Pembangunan
dan implikasinya memerlukan koordinasi oleh semua lembaga yang berada di kota. Terdapat berbagai definisi mengenai kota yang membedakan secara tegas tentang
makna dan fungsi kota pada skala makro dan mikro. Secara makro kota merupakan bagian dari sistem kota global, dengan semua resiko dan manfaat yang
terkandung, serta sebagai akibat globalisasi dari kehidupan masyarakat yang semakin
metropolis. Secara mikro kota merupakan sistem dari beragam sarana fisik dan
non fisik yang diadakan oleh dan untuk warga masyarakat, serta untuk merangsang
dan memfasilitasi aktivitas, serta kreativitas warga, dalam mewujudkan
cita-cita politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidupnya. Kota membuka dan memberi peluang yang sama bagi semua lapisan masyarakat dalam
mencapai kehidupan yang sesuai dengan cita-citanya secara adil dan demokratis. Kota-kota di Indonesia berkembang pesat, dan direncanakan sesuai dengan standar
kota di dunia. Akan tetapi, kota di Indonesia tetap mempunyai ciri khas local baik yang fisik maupun non-fisik dalam dimensi kemanusiaan yang alami. Pembangunan perkotaan di Indonesia memberikan berbagai dampak bagi masyarakat
secara luas, baik yang bersifat positif , maupun yang negatif. Disadari bahwa pembangunan di kota-kota besar dan menengah di Indonesia, yang dipenuhi oleh
penduduk yang berurbanisasi dari desa-desa memberikan banyak manfaat bagi
Pemerintah dan bagi masyarakat. Manfaat dimaksud di antaranya adalah dukungan terhadap peningkatan Produk Regional Bruto(PDRB), kesempatan kerja di sektor
formal, penyediaan sarana dan prasarana umum serta penyediaan sarana dan teknologi untuk peningkatan pengetahuan dan kepentingan warga masyarakat. Namun
dampak negatif yang ditimbulkan pembangunan kota juga ada, misalnya perumahan kumuh di pinggir kota, kemacetan lalu lintas, polusi udara yang tinggi, dan
banjir. Salah satu faktor dampak negatif pembangunan kota adalah kesalahan
pendekatan dan penyusunan perencanaan kota. Sejak Indonesia merdeka maka kata pembangunan menjadi semacam
mantera karena dengan kata ini bangsa ini tersihir akan segera keluar dari
kesengsaraan akibat kemiskian yang panjang. Akan tetapi, setelah pembangunan dilaksanakan 65 tahun dan secara intensif dilakukan sejak zaman Orde Baru,
masyarakat desa dan sebagian masyarakat kota masih hidup sengsara akibat kemiskinaan.
Berdasarkan fakta tersebut, diskusikan hal-hal berikut.
- Apakah pembangunan
berhubungan dengan pengentasan kemiskinan?
- Mengapa sampai hari masih
banyak orang miskin di sekitar kita pemerintah kita
sejak merdeka sampai sekarang terus melakukan program pembangunan? - Teori pembangunana manakah
yang bisa mengatasi masalah kemiskinan di negara
kita? - Bagaimana seharusnya program
pembangunan itu diarahkan yang outputnya
adalah
kesejahteraan dan keadilan sosial?
Bahan bacaan yang dapat digunakan dalam diskusi ini adalah:
1. Kasnawi dan Ramli. 2006. Pembangunan Masyaraka Kota dan Desa (IPEM 4542),
Jakarta: Universitas Terbuka (modul 1)
2. Hanif Nurcholis. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Jakarta: PT Penerbit Erlangga
Selamat
Berdiskusi!
Berdiskusi!
Tutor,
Dr. Drajat Tri Kartono
Drajat Tri Kartono
Drajat Tri Kartono
INISIASI 2
Setelah
pengertian kota dan aspek
yang melingkupinya Anda pahami, berikut ini akan dibahas tentang perdesaan,
sebagai jembatan untuk memahami pembangunan masyarakat di perdesaan.
yang melingkupinya Anda pahami, berikut ini akan dibahas tentang perdesaan,
sebagai jembatan untuk memahami pembangunan masyarakat di perdesaan.
Kita mulai
dengan pengertian
desa.
desa.
VC Finch
menyatakan desa pada dasarnya merupakan tempat pemukiman dan bukan berfungsi
utama sebagai pusat kegiatan ekonomi. Desa terutama terbentuk dari kawasan
pertanian beserta areal terkaitnya. Kemudian SD Misra, menyatakan desa bukan
hanya sebuah kumpulan tempat hunian. Desa adalah sebuah kawasan pertanian yang
kompak di dalam area
dengan batasan-batasan yang jelas biasanya meliputi 50-1000 are.
dengan batasan-batasan yang jelas biasanya meliputi 50-1000 are.
Bagaimana dengan
pembangunan masyarakat di perdesaan? Sebagaimana diuraikan sebelumnya, mengapa
untuk membahas pembangunan masyarakat lebih dulu dipelajari pembangunan di
perkotaan, karena pembangunan di perdesaan tidak sekompleks di perkotaan, yang
jumlah penduduknya padat. Perdesaan sebagaimana dinyatakan PJM Nas memiliki karakteristik
sebagai berikut:
Kriteria jumlah
penduduk kecil, dari segi hukum tersendiri, dari segi ekonomi: bercocok tanam,
dari segi sosial: memiliki hubungan sosial tertentu, bersifat pribadi, tidak
banyak
pilihan, pengkotakan kurang, hubungan kekeluargaan lebih penting. Kehidupannya lebih bersifat komunal daripada fungsional.
pilihan, pengkotakan kurang, hubungan kekeluargaan lebih penting. Kehidupannya lebih bersifat komunal daripada fungsional.
Dengan ciri-ciri
perdesaan
tersebut bagaimana cara membangun masyarakat desa?
tersebut bagaimana cara membangun masyarakat desa?
Tutor,
Dr. Drajat Tri
Kartono
TUGAS 1
Buatlah
dalam satu-dua halaman (paper kecil) tentang mengapa diperlukan
Perencanaan Kota?
dalam satu-dua halaman (paper kecil) tentang mengapa diperlukan
Perencanaan Kota?
Sistematika
Penulisannya:
Penulisannya:
· Pendahuluan;
· Isi;
· Kesimpulan.
Selamat
mengerjakan tugas!
mengerjakan tugas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar