I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa “Negara
Indonesia adalah Negara hukum“ sehingga dapat diketahui bahwa Indonesia adalah
merupakan negara hukum. Hukum dapat bermacam–macam dan salahsatunya adalah
hikum pidana yang dituangkan dalam KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana) sebagai salah satu hukum positif. Tentunya ada tujuan umum dari hukum pidana itu sendiri, yaitu menyelenggarakan
tertib masyarakat. Selain itu pula ada tujuan khususnya, yaitu untuk
menanggulangi kejahatan maupun mencegah terjadinya kejahatan dengan cara
memberikan sanksi yang sifatnya keras dan tajam sebagai perlindungan terhadap
kepentingan–kepentingan hukum yaitu orang yang terdiri dari martabat, jiwa,
harta, tubuh, dan lain sebagainya,juga masyarakat dan negara.
Lingkungan saat ini telah menjadi perhatian dunia internasional, mulai
dengan diselenggarakannya pertemuan tingkat internasional untuk membahas
tentang pemeliharaan lingkungan sampai dengan lahirnya konvensi dan
perjanjian hokum sebagai landasan pengaturan upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Kemudian peraturan tersebut diratifikasi oleh masing- masing
Negara menjadi suatu undang-undang dengan konten salah satunya menerapkan sanksi pidana atau
menerapkan pemahaman bahwa pencemaran atau pengerusakan lingkungan tertentu
sebagai suatu kejahatan terhadap lingkungan.
Hukum Pidana tersebut diatas
mempunyai fungsi yang subsider, artinya apabila fungsi hukum lainnya
kurang efektif maka dipergunakan Hukum Pidana. Pola demikian disebut juga
dengan pola sebagi asas, yaitu asas ultimum remedium atau dikenal dengan
“obat terakhir”. Perkara Lingkungan Hidup dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menganut asas
ini yang sebelumnya dituangkan dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh sebab itu perlu dikaji lebih lanjut, yaitu
mengenai penerapannya dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim serta
perkembangannya saat ini yang telah menggunakan Undang- Undang Nomor 32 Tahun
2009. Maka makalah dengan judul “Penerapan Asas Ultimum Remedium Dalam Sanksi
Perkara Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup” diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan yang lebih sesuai
dengan judul yang bersangkutan.
B. Perumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan asas
ultimum remedium ? juga menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009.
2. Bagaimana penerapan asas ultimum
remedium
dalam sanksi perkara lingkungan hidup berdasarkan
Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 ?
3. Kendala- kendala apa yang mungkin
terjadi dalam penerapan asas tersebut ?
C. Metode Penulisan
Pada bab I metode
penulisan yang digunakan adalah induksi dikarenakan dimulai dengan khusus lalu
ke umum dan pada Bab III metode penulisan yang digunakan adalah deduksi
dikarenakan dimulai dengan memaparkan dari yang umum ke khusus.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
Norma-norma
atau kaidah dalam bidang hukum tata negara dan hukum tata usaha negara harus
pertama-tama ditanggapi dengan sanksi administrasi, begitu pula norma-norma
dalam bidang hukum perdata pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata.
Hanya, apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk
mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga
sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau Ultimum remedium.[1]
Dalam undang – undang
nomor 32 Tahun 2009 tidak memberikan penjelasan tentang defenisi atau
pengertian asas ultimum remedium, berikut dengan dan isi dari undang-undang ini
memang tidak menyinggung masalah asas ultimum remedium atau dikenal dengan asas
subsidiaritas, melainkan secara tersurat mencantumkan asas yang lain. Namun
dalam ketentuan pidana, ada 1 ( satu ) ayat yang tersirat menjelaskan tentang
pemberlakuan asas ultimum remedium, yaitu pasal 100 ayat 2 Undang-undang Nomor
32 Tahun 2009.
B. Kerangka teoritis
Didalam teori relatif, memidana bukannlah untuk memuaskan tuntutan absolut
dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya
sebagai sarana untuk melindunggi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu,
menurut J. Andenaes yang dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief: teori ini
dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social
defence).[2]
Istilah
ultimum remedium digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab
pertanyaan seorang anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan
rancangan KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana), yang antara lain
menyatakan bahwa: Pertama, “Asas tersebut ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu
mereka yang menciptakan “onregt”
(perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condito sine qua non. Kedua, “syarat yang harus
ditambahkan ialah perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman tidaklah dapat
ditekan dengan cara lain”. Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang
terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat
keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga memahaminya
sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus
ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan
kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang
diberikan lebih jahat dari pada penyakit”.
III. PEMBAHASAN
A.
Pengertian Asas Ultimum Remedium
menurut beberapa sumber dan menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Menurut Faizin Sulistio, Ultimum remedium merupakan istilah yang populer dalam mengkaji hukum pidana, terkait dengan
tujuan pidana dan pemidanaan yaitu sebagai sarana perbaikan dan pemulihan
keadaan yang telah di rusak dengan adanya tindak pidana. Ultimum remedium bermakna perbaikan yang paling akhir
digunakan (obat yang pamungkas). Sedangkan menurut pendapat Restatika dalam tulisan blognya yang berjudul Karakteristik
Hukum Pidana dalam Konteks Ultimum Remedium. Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan
antara Hukum Pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi Hukum Pidana
merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga
pengenaan penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban
kejahatan. Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap Hukum Pidana itu sebagai
ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku
manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain
tidak melakukan kejahatan.
Dalam undang – undang nomor 32 Tahun 2009 tidak
memberikan penjelasan tentang defenisi atau pengertian asas ultimum remedium,
berikut dengan dan isi dari undang-undang ini memang tidak menyinggung masalah
asas ultimum remedium atau dikenal dengan asas subsidiaritas, melainkan secara
tersurat mencantumkan asas yang lain. Namun dalam ketentuan pidana, ada 1 (satu)
ayat yang tersirat menjelaskan tentang pemberlakuan asas ultimum remedium,
yaitu pasal 100 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009.
B. Penerapan Asas Ultimum Remodium Dalam Sanksi Perkara
Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Pasal 100 Undang-Undang 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup menyebutkan;
(1)
Setiap orang yang melanggar baku
mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)
Tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi
administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih
dari satu kali”.
Menurut pasal 100 ayat 2 tersebut
maka dapat diketahui bahwa ada pemberlakuan asas ultimum remedium, dimana
pemidanaan pada pasal 100 ayat 1 dapat dikenakan bilamana sanksi administrative
yang sudah diputus oleh pemerintah tidak dipatuhi oleh pemegang usaha dan
kegiatan yang memanfaatkan lingkungan.
Sanksi yang diterapkan bukan mengedepankan efek jera namun adalah bagaimana
menimbulkan kesadaran bagi pelaku usaha dan kegiatan yang memanfaatkan
lingkungan hidup yang telah melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi,
atau baku mutu gangguan untuk melakukan upaya pemulihan terhadap lingkungan
yang telah tercemar atau rusak baik baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau
baku mutu gangguan. Yang dimaksud dengan baku mutu adalah ukuran batas atau kadar makhluk
hidup , zat, energy, atau komponen yang ada atau harus ada, dan atau unsure
pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai
unsur lingkungan hidup. Masing-masing wilayah berbeda, baik air limbah, emisi
maupun gangguan. Keadaan tertentu dianggap baik, bila berubah maka ada
kewajiban untuk mengembalikan menjadi keadaan yang baik seperti semula. Hal ini
daitur dalam peraturan menteri, sedangkan baku mutu lingkungan hidup yang lain
diatur dalam peraturan pemerintah.
Dengan penjelasan diatas, dipadukan dengan
teori pemidanaan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dikatakan bahwa dalam
asas ultimum remedium sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan
hukum pidana sedapat mungkin dibatasi, dengan kata lain penggunaannya dilakukan
jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi namun sebatas terhadap
pelanggaran pada pasal 100 undang- undang tersebut.
Berbeda dengan Undang- Undang Nomor 23 Tahun
1997 maka asas ultimum remedium berlaku bagi semua pelanggaran terhadap
lingkungan hidup, sedangkan dalamUndang-undang Nomor 32 Tahun 2009 hanya
memberlakukan asas ultimum remedium pada pelanggaran sesuai dengan Pasal 100
ayat 1 saja, yaitu pelanggaran baku mutu air limbah, baku mutu emisi, dan baku
mutu gangguan saja.
C.
Kendala- Kendala Yang Mungkin
Terjadi Dalam Penerapan Asas Ultimum Remedium Dalam Sanksi Perkara Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009.
1. Menjadi hal menarik ketika obat
terakhir/obat yang paling keras dengan dosis tinggi ternyata dalam praktek di
Indonesia menjadi obat pertama untuk memperbaiki ataupun menyembuhkan
/memulihkan norma-norma yang diperkosa oleh suatu perbuatan yang dikategorikan
sebagai suatu tindak pidana.
2.
Jadi melihat hal tersebut di atas,
bahwa dalam perkembangannya penerapan dalil ultimum remedium ini sulit
diterapkan karena masih banyak mengalami kendala – kendala, dan faktor – faktor
lain salah satunya adalah karena Hukum Pidana memiliki UU yang mengatur setiap
tindak kejahatan dan pelanggaran dan tentunya di dalam penerapan sanksi Hukum
Pidana tersebut tidak mengenal kompromi atau kata damai.
3. Seperti yang telah dipaparkan bahwa
sanksi pidana merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) dari
rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. “Obat terakhir” ini merupakan
jurus pamungkas jika mekanisme penegakan pada bidang hukum lain tidak
bekerja efektif. Namun, dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia,
sanksi pidana dalam beberapa kasus tertentu bergeser kedudukannya. Tidak
lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium
(obat yang utama). Hal ini dapat mempengaruhi proses penyidikan pelanggaran
lingkungan hidup akibat keadaan diatas, yaitu penanganan kejahatan lain yang
menggeser menjadi asas primum remedium.
IV. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan antara
lain ;
1. Bahwa dalil ultimum remedium ini diperlukan untuk mempertimbangkan
dahulu penggunaan sanksi lain sebelum sanksi pidana yang keras dan tajam
dijatuhkan, apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru dipergunakan Hukum
Pidana.
Mengenai
penerapan ultimum remedium dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim
dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, setiap kegiatan yang
mengacu kepada penerapan prinsip penjatuhan pidana penjara sebagai upaya
terakhir (ultimum remedium) tersebut sangat mendukung pelaku tindak
pidana, karena sebelum sanksi pidana yang keras dijatuhkan, penggunaan sanksi
lain seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata didahulukan. sehingga
ketika fungsi sanksi – sanksi hukum tersebut kurang baru dikenakan sanksi
pidana.
2. Penerapan asas ultimum remedium menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009,
asas ini diartikan “upaya”, bukanlah sebagai alat untuk memulihkan
ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian, melainkan upaya untuk memulihkan
keadaan yang tercemar atau rusak baku mutu air limbahnya, baku mutu emisi, atau
baku mutu gangguan.
3.
Kendala- kendala yang mungkin dalam
penerapan asas, antara lain;
a. Menjadi hal menarik ketika obat terakhir/obat
yang paling keras dengan dosis tinggi ternyata dalam praktek di Indonesia
menjadi obat pertama.
b. penerapan dalil ultimum remedium ini
sulit diterapkan karena masih banyak mengalami kendala – kendala, dan faktor –
faktor lain salah satunya adalah karena dalil Hukum Pidana tidak mengenal
kompromi atau kata damai.
c. perkembangan hukum pidana di Indonesia,
sanksi pidana dalam beberapa kasus tertentu bergeser kedudukannya. Tidak
lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium
(obat yang utama). Hal ini dapat mempengaruhi proses penyidikan pelanggaran lingkungan
hidup akibat keadaan diatas, yaitu penanganan kejahatan lain yang menggeser
menjadi asas primum remedium.
B. Saran
1. Sebaiknya dalam penerapan asas
ultimum remedium dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 harus
disosialisasikan kepada para penyidik baik Polri, PPNS maupun petugas pengawas
lingkungan untuk menentukan kapan dan dalam keadaan bagaimana pemberlakuan asas
ultimum remedium ini, karena berbeda dengan penerapan dalam Undang- Undang
Nomor 23 Tahun 1997.
2. Harus ada koordinasi antar anggota
dalam system peradilan pidana dalam menangani kejahatan atau pelanggaran
lingkungan hidup sehingga tujuan pemulihan dan terjaganya lingkungan hidup
dapat tercapai sebagaimana tercantum dalam pasal 3 Undang –Undang nomor 32
Tahun 2009.
3. Penyidik harus berhati- hati dan
tidak terpengaruh dengan hokum lain yang mengedepankan asas primum remedium
dalam menangani perkara lingkungan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar