BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dua puluh tahun setelah Konferensi Stockhlm 1972, PBB
kembali melaksanakan sebuah Konferensi di Rio de Jeneiro, Brasil mengenai
lingkungan dan pembangunan. Lembaga yang menjadi wadah berbagai negara di dunia
tersebut menyadari bahwa lingkungan dan pembangunan merupakan hal yang bisa
mengancam kehidupan manusia di masa yang akan datang.
Konferensi Rio kemudian menghasilkan berbagai
kesepakatan di antaranya mengenai Konvensi Perubahan Iklim, Konvensi Keanekaragaman Hayati, dan
Prinsip-Prinsip tentang Hutan. Salah satu yang
menarik dari kajian Konferensi tersebut adalah terkait isu pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).
Menurut the World Commision on Environment and Development, pembangunan berkelanjutan tersebut
adalah sebuah upaya umat manusia mengelola kebutuhan hidup generasi saat
ini tanpa mengurangi kebutuhan generasi
yang akan datang. Gagasan tersebut bisa jadi lahir karena perubahan cara
berfikir hukum dalam pengelolaan lingkungan yang pada mulanya berorientasi terhadap penggunaan
semata (use oriented law) menjadi lebih berwawasan penyelamatan lingkungan
(environment oriented law). Itu sebabnya slogan sustainable development menjadi
salah satu maxim yang digadang-gadangkan dalam perjuangan pelestarian
lingkungan hidup di dunia.
Konsep sustainable development merupakan salah satu
permasalahan lingkungan hidup, jika menyimak konsep tersebut dengan kondisi
dunia saat ini tentu saja harapan PBB dan warga dunia untuk kehidupan lingkungan
manusia yang berkelanjutan
tersebut menemui jalan buntu. Berbagai
bencana alam, iklim lingkungan yang semakin tidak jelas (climate change),
rusaknya hutan tropis telah memperjelas kegagalan Konferensi Stockholm dan
Konferensi Rio. Bahkan yang lebih memiriskan, jangankan mengelola
lingkungan untuk generasi manusia di
masa depan, generasi saat ini terancam
pula kehidupannya dengan berbagai bencana yang terjadi akhir-akhir ini. Dengan
menggunakan terminologi agama, maka pada dasarnya segala yang terjadi di dunia
ini adalah akibat ulah manusia semata.
Kegagalan tersebut sesungguhnya telah
jauh dapat dibaca oleh para pemimpin dunia, namun dikarenakan kerakusan
segolongan manusia tertentu dalam pengelolaan alam, maka banyak prinsip-prinsip
pengelolaan lingkungan hanya”Raja” di atas kertas. Itu sebabnya tuduhan
kegagalan penyelamatan lingkungan hidup adalah
bagian dari kegagalan
pemerintahan menjadi sangat beralasan.
Bukanlah pengelolaan
lingkungan adalah tanggung jawab pemerintah. Bukanlah pemerintah
pula yang mampu”mempidanakan” sekaligus” memperdatakan”para pengeruk kekayaan
lingkungan yang tak bertanggung jawab tersebut.
Melihat peran pemerintah tersebut, maka tidak dapat
dipungkiri hukum lingkungan merupakan kombinasi
yang unik antara hukum administrasi(bestuursrecht),
hukum pidana, sekaligus perdata. Permasalahan-permasalahan lingkungan dan tata kelolanya itulah yang
akan dikaji dan diteliti. Di Indonesia UU yang menjadi perangkat
kebijakan publik pada umumnya memuat asas dan tujuan kebijakan publik itu sendiri. UUPPLH
merupakan perangkat hukum bagi kebijakan
publik atau pemerintah dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Jika dalam UULH 1982 dan UULH
1997 memuat pula sasaran di samping asas dan tujuan pengelolaan lingkungan
hidup, UUPPLH hanya memuat asas dan tujuan.
Asas Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup menurut UUPPLH didasarkan 14 asas, yaitu;[1]
14 asas yaitu: a) tanggung jawab
negara, (b) kelestarian dan berkelanjutan, (c) keserasian dan keseimbangan, (d) keterpaduan, (e) manfaat,
(f) kehati-hatian, (g) keadilan, (h) ekoregion, (i) keanekaraman hayati, (j)
pencemar membayar, (k) partisipatif, (l) kearifan lokal, (m) tata kelola pemerintahan yang baik, (n) otonomi
daerah.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (3)
menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum“ sehingga dapat
diketahui bahwa Indonesia adalah merupakan negara hukum. Hukum dapat bermacam –
macam dan salah satunya adalah hukum pidana yang dituangkan dalam KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) sebagai salah satu
hukum positif. Tentunya ada tujuan umum dari hukum
pidana itu sendiri, yaitu menyelenggarakan tertib masyarakat. Selain itu pula
ada tujuan khususnya, yaitu untuk menanggulangi
kejahatan maupun mencegah terjadinya kejahatan dengan cara
memberikan sanksi yang sifatnya keras dan tajam sebagai perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingan hukum yaitu orang yang terdiri dari martabat, jiwa,
harta, tubuh, dan lain sebagainya,juga masyarakat dan negara.
Asas-asas umum dalam
tindak pidana lingkungan, asas yang ketiga
adalah asas pengendalian (principle of restraint) yang juga merupakan
salah satu syarat krimialisasi, yang menyatakan bahwa sanksi
pidana hendaknya baru dimanfaatkan terhadap tindak pidana
lingkungan apabila terdapat
ketidakefektifan sanksi hukum
administrasi, hukum perdata,
dan alternatif penyelesaian
sengketa lingkungan di luar pengadilan.
Dalam hukum pidana, hal ini dikenal
asas subsidaritas atau “ultima
ratio principle” atau asas “ultimum
remedium” atau “last resort” atau
merupakan upaya terakhir kali.[2]
Lingkungan saat ini telah menjadi
perhatian dunia internasional, mulai dengan diselenggarakannya pertemuan tingkat internasional untuk membahas tentang pemeliharaan
lingkungan sampai dengan lahirnya konvensi dan perjanjian hukum sebagai
landasan pengaturan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Kemudian peraturan tersebut diratifikasi oleh masing- masing Negara menjadi
suatu undang- undang dengan konten salahsatunya menerapkan sanksi pidana atau
menerapkan pemahaman bahwa pencemaran atau pengerusakan lingkungan tertentu
sebagai suatu kejahatan terhadap lingkungan.
Hukum Pidana tersebut diatas mempunyai fungsi yang subsider,
artinya apabila fungsi hukum lainnya kurang efektif maka dipergunakan Hukum Pidana. Pola demikian disebut juga dengan pola sebagi
asas, yaitu asas ultimum remedium atau dikenal dengan “obat terakhir”.
Perkara Lingkungan Hidup dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menganut asas ini yang
sebelumnya dituangkan dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Secara lebih konkrit melihat kalimat dari Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997,
penggunaan instrumen penegakan hukum
pidana lingkungan hidup baru dilakukan bila memenuhi salah satu persyaratan berikut; Sanksi administrasi,
sanksi perdata, penyelesaian sengketa
secara alternatif melalui
negoisasi, mediasi, musyawarah di luar pengadilan setelah diupayakan tidak
efektif atau diperkirakan tidak akan efektif,
Tingkat kesalahan pelaku relatif
berat, Akibat perbuatan pelaku relatif besar, Perbuatan pelaku menimbulkan
keresahan bagi masyarakat[3]
Oleh sebab itu perlu dikaji lebih
lanjut, yaitu mengenai penerapannya dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim
serta perkembangannya saat ini yang telah menggunakan Undang- Undang Nomor 32
Tahun 2009. Maka makalah yang kami tulis dengan judul “PENERAPAN ASAS ULTIMUM REMEDIUM PADA PENJATUHAN SANKSI PIDANA DALAM
PERKARA LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009”,
diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan yang lebih sesuai dengan
judul yang bersangkutan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan asas ultimum remedium ? juga menurut Undang- Undang Nomor
32 Tahun 2009.
2. Bagaimana penerapan asas ultimum remedium pada penjatuhan sanksi pidana dalam penyelesaian perkara lingkungan hidup
berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 ?
3.
Kendala-
kendala apa yang mungkin terjadi dalam penerapan asas tersebut ?
C.
Tujuan
1.
Agar pembaca
mengetahui apa yang dimaksud dengan asas ultimim remedium.
2.
Agar pembaca
mengetahui bagaimana penerapan yang benar tentang bagaimana penerapan asas
ultimum remedium pada penjatuhan sanksi
pidana dalam penyelesaian perkara lingkungan hidup berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009
3.
Agar pembaca
mengetahui apa saja kemungkinan yang berpotensi menjadi kendala dalam penerapan
asas tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
Norma-norma atau kaidah dalam bidang hukum tata negara
dan hukum tata usaha negara harus pertama-tama
ditanggapi dengan sanksi administrasi, begitu pula norma-norma dalam
bidang hukum perdata
pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata. Hanya, apabila
sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan
meluruskan neraca
kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir)
atau Ultimum remedium.[4]
Dalam Undang – Undang nomor 32 Tahun 2009 tidak memberikan penjelasan tentang defenisi
atau pengertian asas ultimum
remedium, berikut dengan dan isi dari undang-undang ini memang tidak menyinggung masalah asas ultimum
remedium atau dikenal dengan asas subsidiaritas, melainkan secara tersurat
mencantumkan asas yang lain. Namun
dalam ketentuan pidana, ada 1 ( satu ) ayat yang tersirat menjelaskan tentang pemberlakuan asas ultimum remedium, yaitu
pasal 100 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009.
B. Kerangka teoritis
Didalam teori
relatif, memidanaan bukanlah untuk
memuaskan tuntutan absolut dari
keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya
sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh
karena itu, menurut J. Andenaes yang dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi
Arief: teori ini dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the
theory of social defence).[5]
Istilah ultimum remedium digunakan
oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang
anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan rancangan KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana), yang antara lain menyatakan
bahwa: Pertama, “Asas tersebut
ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu
mereka yang menciptakan “onregt”
(perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condito sine qua non. Kedua,
“syarat yang harus ditambahkan ialah perbuatan melawan hukum itu menurut
pengalaman tidaklah dapat ditekan dengan cara lain”. Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada
dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap
manusia yang berakal dapat juga memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus
ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan
kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi,
obat yang d iberikan lebih jahat
dari pada penyakit”.
BAB III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Asas Ultimum Remedium menurut beberapa sumber dan menurut
Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009.
1. Menurut Faizin Sulistio.
Ultimum remedium merupakan istilah yang
populer dalam mengkaji hukum pidana, terkait dengan tujuan
pidana dan pemidanaan yaitu sebagai sarana perbaikan dan pemulihan keadaan yang
telah di rusak dengan adanya tindak pidana. Ultimum remedium bermakna perbaikan yang paling akhir
digunakan (obat yang pamungkas).
2. Menurut pendapat Restatika dalam tulisan blognya yang berjudul Karakteristik
Hukum Pidana dalam Konteks Ultimum Remedium. Van Bemmelen berpendapat bahwa yang
membedakan antara Hukum Pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi Hukum
Pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga
pengenaan penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban
kejahatan. Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap Hukum Pidana itu
sebagai ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah
laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang
lain tidak melakukan kejahatan. Istilah
ultimum remedium digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab
pertanyaan seorang anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan rancangan KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana), yang antara lain menyatakan bahwa: Pertama, “Asas tersebut ialah bahwa yang
boleh dipidana yaitu mereka yang
menciptakan “onregt” (perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condito
sine qua non. Kedua, “syarat
yang harus ditambahkan ialah perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman tidaklah dapat ditekan
dengan cara lain”.
Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana
terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga
memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan
harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya pidana itu,
dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari
pada penyakit”.
3.
Menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dalam undang – undang
nomor 32 Tahun 2009 tidak memberikan penjelasan tentang defenisi atau
pengertian asas ultimum remedium, berikut dengan dan isi dari undang-undang ini
memang tidak menyinggung masalah asas ultimum remedium atau dikenal dengan asas
subsidiaritas, melainkan secara tersurat mencantumkan asas yang lain. Namun
dalam ketentuan pidana, ada 1 ( satu )
ayat yang tersirat menjelaskan tentang pemberlakuan asas ultimum remedium,
yaitu pasal 100 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009.
4. Menurut
Hamdan, penggunaan sanksi pidana sebagai
sanksi subsider atau ultimum
remedium dalam masalah pencemaran lingkungan hidup menimbulkan
beberapa kelemahan di antaranya:[6]
a. Pada umumnya
proses perkara perdata relatif memerlukan waktu yang cukup lama, karena besar
kemungkinan pihak pencemar akan mengulur-ulur waktu sidang atau waktu
pelaksanaan eksekusi dengan cara mengajukan banding atau kasasi, sementara
pencemaran terus juga berlangsung dengan segala macam akibatnya.
b. Jangka waktu
pemulihan sulit dilakukan dengan segera, memerlukan waktu yang cukup
lama, sebagaimana yang terjadi pada pencemeran sawah di Tangerang.
c. Dengan tidak menerapkan sanksi pidana, tidak menutupkan kemungkinan
pencemaran atau pencemaran lain yang potensial atau tidak melakukan pencemaran , dengan kata lain
“detter effect” (efek pencegahan)
dari sanksi-sanksi lain tidak dapat diharapkan dengan baik.
d. Penerapan sanksi
administrasi dapat mengakibatkan penutupan perusahaan industri yang
membawa akibat pula kepada para pekerja, pengangguran akan menjadi bertambah,
dapat menimbulkan kejahatan dan kerawanan sosial ekonomi lainnya.
B. Penerapan Asas Ultimum Remedium Pada Penjatuhan
Sanksi Pidana Dalam Perkara Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang- Undang Nomor
32 Tahun 2009.
“Pasal 100 menyebutkan ;
(1) Setiap orang yang
melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan
dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah
dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali”.
Menurut pasal 100 ayat 2 tersebut maka dapat diketahui
bahwa ada pemberlakuan asas ultimum remedium,
dimana pemidanaan pada pasal 100 ayat 1 dapat dikenakan bilamana sanksi
administrative yang sudah diputus oleh pemerintah tidak dipatuhi oleh pemegang
usaha dan kegiatan yang memanfaatkan lingkungan.
Sanksi yang diterapkan bukan mengedepankan efek jera
namun adalah bagaimana menimbulkan kesadaran bagi pelaku
usaha dan kegiatan yang memanfaatkan lingkungan hidup yang telah melanggar baku
mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan untuk melakukan upaya pemulihan terhadap lingkungan yang telah
tercemar atau rusak baik baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu
gangguan.
Yang dimaksud dengan baku mutu adalah ukuran
batas atau kadar makhluk hidup , zat, energy, atau komponen yang ada atau harus
ada, dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Masing-masing
wilayah berbeda, baik air limbah, emisi maupun gangguan. Keadaan tertentu
dianggap baik, bila berubah maka ada kewajiban untuk mengembalikan menjadi
keadaan yang baik seperti semula. Hal ini daitur dalam peraturan menteri,
sedangkan baku mutu lingkungan hidup yang lain diatur dalam peraturan
pemerintah.
Maka bagaimana penerapan asas itu ?
Dengan penjelasan diatas, dipadukan dengan teori
pemidanaan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dikatakan bahwa dalam asas
ultimum remedium sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin
dibatasi , dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum
lain tidak memadai lagi namun sebatas terhadap pelanggaran pada pasal 100
undang- undang tersebut.
Bagaimana dengan
pelanggaran dalam ketentuan pidana yang lain dalam undang-undang Nomor 32
Tahun 2009?
Berbeda dengan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 maka
asas ultimum remedium berlaku bagi semua pelanggaran terhadap lingkungan hidup,
sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 hanya memberlakukan asas
ultimum remedium pada pelanggaran sesuai dengan Pasal 100 ayat 1 saja, yaitu
pelanggaran baku mutu air limbah, baku mutu emisi, dan baku mutu gangguan saja.
C.
Kendala- Kendala Yang Mungkin Terjadi Dalam Penerapan Asas Ultimum Remedium
Pada Penjatuhan Sanksi Pidana Dalam Perkara Lingkungan Hidup Berdasarkan
Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Setiap
penerapan Asas Ultimum Remedium terkait penegakan hukum di bidang pengendalian
lingkungan hidup dipastikan memiliki beberapa kendala antara lain adalah
sebagai berikut;
1. Menjadi hal menarik ketika obat terakhir/obat yang
paling keras dengan dosis tinggi ternyata dalam praktek di Indonesia menjadi
obat pertama untuk memperbaiki ataupun menyembuhkan /memulihkan norma-norma
yang diperkosa oleh suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai suatu tindak
pidana.
2. Jadi melihat hal tersebut di
atas, bahwa dalam perkembangannya penerapan dalil ultimum remedium ini
sulit diterapkan karena masih banyak mengalami kendala – kendala, dan faktor –
faktor lain salah satunya adalah karena Hukum Pidana memiliki UU yang mengatur
setiap tindak kejahatan dan pelanggaran dan tentunya di dalam penerapan sanksi
Hukum Pidana tersebut tidak mengenal kompromi atau kata damai.
3. Seperti yang telah
dipaparkan bahwa sanksi pidana merupakan “obat terakhir” (ultimum
remedium) dari rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. “Obat
terakhir” ini merupakan jurus pamungkas jika mekanisme penegakan pada
bidang hukum lain tidak bekerja efektif. Namun, dalam perkembangan hukum pidana
di Indonesia, sanksi pidana dalam beberapa kasus tertentu bergeser
kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum
remedium (obat yang utama). Hal ini dapat mempengaruhi proses
penyidikan pelanggaran lingkungan hidup akibat keadaan diatas, yaitu penanganan
kejahatan lain yang menggeser menjadi asas primum remedium.
Kendala dan
hambatan dalam penegakan hukum lingkungan , sejak dibentuknya KLH
pada tahun 1998 sudah banyak yang
dilakukan oleh pemerintah dengan
mengeluarkan peraturan-peraturan dalam penegakan hukum lingkungan namun pelaksanaannya di lapangan masih banyak
kendala dan hambatan yang ditemui.
Kendala dan hambatan itu terletak pada beberapa faktor, yaitu;[7]
1. Inkonsisten Kebijakan; Berbagai kebijakan operasional yang
dikeluarkan seringkali tidak konsisten
denan prinsip-prinsip Pengelolaan
Lingkungan Hidup ( PLH) yang terkandung
di dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 maupun Undang-Undang yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan
hidup lainnya . Misalnya dana reboisasi
yang seharusnya digunakan untuk merehabilitasi hutan-hutan yang telah rusak,
justru digunakan untuk pembangunan
pembuatan pesawat terbang atau dikorupsi.
2. Ambivalensi Kelembagaan; Fungsi kelembagaan pengelolaan
lingkungan bersifat ambivalen dalam
wewenang dan pembagian tugas antara lembaga satu dengan lembaga lainnya.
Menteri Lingkungan Hidup misalnya, tidak mempunyai wewenang untuk implementasi, pemberian dan
pencabutan izin dan penegakan hukum.
Ketiga wewenang itu justru ada pada departemen teknis, seperti Departemen
Kehutanan, Departemen Pertambangan dan Energi, yang juga mempunyai tugas ganda,
yaitu melestarikan lingkungan hidup dan
mendatangkan devisa sebanyak-banyaknya.
3. Aparat Penegak Hukum; Ketika kasus kebakaran hutan
terjadi pada tahun 1997-1998, Menteri Kehutanan dan Perkebunan ketika itu mengindikasikan ada seratus tujuh puluh enam
(176) perusahaan yang diduga melakukan
pembakaran pada saat membuka areal
perkebunan besar, hak pengusahaan
hutan tanaman industri dan pembukaan wilayah untuk transmigrasi . Bahkan Bapedal
pun membuka posko Penanggulangan Kebakaran Hutan dengan menginformasikan data-data yang berkenaan dengan kebakaran hutan, termasuk data titik api di seluruh lokasi hutan
Indonesia yang bisa diakses melalui internet. Namun temuan ini tidak pernah ditindaklanjuti
dalam bentuk penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan, padahal
dampak dan fakta-fakta tentang pembakaran sudah cukup jelas. Banyak lagi
kasus-kasus lingkungan yang harus mendapat tanggapan serius dari aparat penegak
hukum, kasus pencemaran sungai dari industri di hampir seluruh kota besar,
kasus penerbangan di luar konsesi hutannya oleh pengusaha HPH, kasus impor
limbah bahan berbahaya beracun, kasus pencemaran oleh pertambangan besar, dan
sebagainya.
4. Perizinan; Perizinan memang menjadi
salah satu masalah yang lebih banyak
memberi peluang bagi perkembangannya masalah lingkungan ketimbang membatasinya.
Sebab Pasal 18 UU No.23 Tahun 1997 masih
bisa dilewati begitu saja oleh pengusaha, apalagi jika izin yang
dimaksud adalah izin yang diberikan oleh Departemen Perindustrian, setelah
sebuah perusahaan siap berproduksi, seperti yang dimaksud di dalam UU No.5
Tahun 1994 Tentang Perindustrian.
5. Sistem AMDAL; Dalam prateknya, AMDAL
lebih mengarah pada penonjolan pemenuhan
ketentuan administratif daripada subtantifnya. Artinya pesatnya permintaan akan AMDAL merupakan mata
rantai kewajiban dalam urusan perizinan dalam suatu usaha atau dipandang sebagai performa untuk mendapatkan akad kredit atau izin
investasi. Proses tranparansi dan mekanisme keterbukaan dokumen AMDAL bagi
masyarakat tidak berjalan sesuai harapan, bahkan masyarakat (yang terkena dampak) tidak mengetahui secara
pasti adanya aktivitas suatu kegiatan.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dapat
disimpulkan antara lain ;
1.
bahwa dalil ultimum remedium ini diperlukan untuk mempertimbangkan dahulu
penggunaan sanksi lain sebelum sanksi pidana yang keras dan tajam dijatuhkan,
apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru dipergunakan Hukum Pidana.
Mengenai penerapan ultimum remedium dalam
penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dapat mengakomodasi kepentingan pelaku
tindak pidana, setiap kegiatan yang mengacu kepada penerapan prinsip penjatuhan
pidana penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) tersebut sangat
mendukung pelaku tindak pidana, karena sebelum sanksi pidana yang keras
dijatuhkan, penggunaan sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi
perdata didahulukan. sehingga ketika fungsi sanksi – sanksi hukum tersebut
kurang baru dikenakan sanksi pidana.
2.
Penerapan asas ultimum remedium menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009,
asas ini diartikan “upaya”, bukanlah sebagai alat untuk memulihkan
ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian, melainkan upaya untuk memulihkan
keadaan yang tercemar atau rusak baku mutu air limbahnya, baku mutu emisi, atau
baku mutu gangguan.
3.
Kendala- kendala yang mungkin dalam penerapan asas, antara lain;
a.
Menjadi hal menarik ketika obat
terakhir/obat yang paling keras dengan dosis tinggi ternyata dalam praktek di
Indonesia menjadi obat pertama.
b.
penerapan dalil ultimum remedium ini sulit diterapkan karena masih
banyak mengalami kendala – kendala, dan faktor – faktor lain salah satunya
adalah karena dalil Hukum Pidana tidak mengenal kompromi atau kata damai.
c.
perkembangan hukum pidana di Indonesia, sanksi pidana dalam beberapa
kasus tertentu bergeser kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum
remedium (obat yang utama). Hal ini dapat mempengaruhi proses penyidikan
pelanggaran lingkungan hidup akibat keadaan diatas, yaitu penanganan kejahatan
lain yang menggeser menjadi asas primum remedium.
B.
Saran
1. Sebaiknya
dalam penerapan asas ultimum remedium dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009
harus disosialisasikan kepada para penyidik baik Polri, PPNS maupun petugas
pengawas lingkungan untuk menentukan kapan dan dalam keadaan bagaimana
pemberlakuan asas ultimum remedium ini, karena berbeda dengan penerapan dalam
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997.
2. Harus ada
koordinasi antar anggota dalam system peradilan pidana dalam menangani
kejahatan atau pelanggaran lingkungan hidup sehingga tujuan pemulihan dan
terjaganya lingkungan hidup dapat tercapai sebagaimana tercantum dalam pasal 3
Undang –Undang nomor 32 Tahun 2009.
3. Penyidik
harus berhati- hati dan tidak terpengaruh dengan hukum lain yang mengedepankan asas primum
remedium dalam menangani perkara lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan
Perundang-undangan ;
Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Takdir
Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia,PT.RajaGrafindo Persada,
Jakarta,2012.
Muhamad
Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan
Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, cetakan ke-3
2011.
Hamdan,
Tindak
Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, CV.Mandar Maju, Bandung,2000.
Sumber
elektronik ;
[1]
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta,2012,hlm.62.
[2]
Muhamad Erwin,Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan
Hidup,PT.Refika Aditama,Bandung,2011,hlm.26.
[3] Ibid,
hlm.26.
[4]
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum
Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal.17.
[5]
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori
dan Kebijakan Pidana, P.T Alumni, Bandung, 2005, hal.16.
[6] Hamdan, Tindak
Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, CV.Mandar Maju,
Bandung,2000,hlm.18.
[7] Muhamad
Erwin,Op.cit,hlm.120.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar