PERBANDINGAN PENGATURAN
PIDANA SEUMUR HIDUP DI INDONESIA DAN SAUDI ARABIA
TUGAS
DI SUSUN OLEH:
DADANG DJOKO
KARYANTO
NIM. B20011086
PROGRAM PASCA
SARJANA
MAGISTER ILMU
HUKUM
UNIVERSITAS
JAMBI
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Seiring dengan meningkatkan owareness masyarakat dunia akan Hak Asasi Manusia maka perdebakan
tentang masih digunakannya pidana mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan di
berbagai negara semakin gencar. Terpusatnya perhatian pemikir-pemikir hukum
dunia pada pidana mati tersebut menyebabkan pidana seumur hidup dan bentuk
pemidanaan lainnya kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat dunia"
meskipun pada prakteknya seringkali masyarakat mengakui kekurang-pahamannya
terhadap perumusan dan pelaksanaan dari pidana seumur hidup itu sendiri secara
jelas. Dimana kecenderungan yang terjadi masyarakat awam hukum di Indonesia
(misalnya) sering mengartikan "seumur hidup" sebagaimana keterangan sama dengan
umur (hidup) pelaku (tindak pidana) pada saat melakukan tindak pidana[1]. Misperception tersebut terjadi bukan
hanya karena sedikitnya transfer of information tentang pidana seumur hidup kepada
masyarakat akan tetapi lebih lanjut ternyata perumusan pidana seumur hidup
sebagai salah satu bentuk pemidanaan di Indonesia juga memiliki permasalahan
dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, di mana salah satunya adalah
pengaturan tentang pidana seumur hidup dalam perundang-undangan pidana di
lndonesia tidak memberikan kemungkinan modifikasi atas pertimbangan adanya
perubahan atau perbaikan
pada diri pelaku tindak pidana selama menjalani pidananya.
Atas dasar hal tersebut penulis tergerak untuk membahas
mengenai pengaturan pidana seumur hidup dalam hukum pidana Indonesia untuk
kemudian penulis bandingkan dengan pengaturan pidana seumur hidup di negara kerajaan Saudi Arabia. Penulis memilih
kerajaan Saudi Arabia sebagai negara yang dalam
pengaturan
pidana seumur hidup memiliki ke khasan jika
diperbandingkan dengan pidana seumur hidup di Indonesia, oleh karena itu dalam
makalah ini sudah barang tentu
kerajaan Saudi Arabia memiliki suatu sistem hukum yang sama
dengan Indonesia yaitu Civil Low Sytem[2].
Mengingat dalam sejarahnya kerajaan Saudi Arabia dan negara Amerika Latin umumnya pernah mengalami kolonialisasi
oleh Spanyol yang notabene merupakan negara eropa continental sehingga root of
law system-nya pun merujuk pada hukum eropa continental. Persamaan sistem hukum tersebut menggugah penulis
untuk melakukan perbandingan hukum[3]
dengan memperbandingkan pengaturan tentang pidana seumur hidup di negara Indonesia dan kerajaan Saudi Arabia, seiring dengan hal tersebut diatas agar
penulis mampu menilai pengaturan pidana seumur hidup di Indonesia secara obyektif
dan membuka cakrawala wawasan penulis tentang pembahasan serupa di negara lain
yaitu kerajaan Saudi Arabia
sehingga dari perbandingan tersebut diharapkan makalah ini dapat memberi
masukan tentang pengaturan pidana seumur hidup di Indonesia dalam RUU KUHP
mendatang.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian diatas terdapat permasalahan-permasalahan
yang memerlukan suatu kajian lebih lanjut. Jawaban-jawaban atas permasalahan
ini akan menjadi suatu penjelasan teoritis sekaligus paradigma pengembangan
selanjutnya, permasalahan yang
dimaksud itu disusun dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
pengaturan pidana seumur hidup di Indonesia?
2. Bagaimanakah
pengaturan pidana seumur hidup
di Saudi Arabia?
3. Bagaimanakah
pengaturan pidana seumur hidup
dalam RUU KUHP?
C. Metode Penulisan
Untuk mempermudah dan memberikan gambaran secara
menyeluruh dengan jelas isi makalah ini. Maka metode penulisan makalah ini diuraikan
dalam bab per bab. Untuk Bab I merupakan pendahuluan terdiri dari latar
belakang masalah dengan metode penulisan mengutamakan pola pikir induksi yang
mana melihat permasalahan secara khusus dan ditarik kesimpulan secara umum. Bab
II merupakan tinjauan pustaka terdiri dari kerangka konsepsional dan kerangka
teoritis dengan metode penulisan deduksi yang mana melihat permasalahan secara
umum dan ditarik kesimpulan secara khusus. Bab III merupakan pembahasan terdiri
dari Pengaturan Pidana Seumur Hidup di Indonesia dan Pengaturan Pidana Seumur
Hidup di kerajaan Saudi
Arabia dengan metode penulisan menggunakan pola pikir induksi yang mana
permasalahan yang dibahas secara khusus dan ditarik kesimpulan secara umum yang
dihubungkan dengan Proyeksi Pengaturan Pidana Seumur Hidup Dalam RUU KUHP
Indonesia. Bab IV merupakan penutup berisikan kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka
Konsepsional
Berbicara mengenai pidana seumur hidup yang
merupakan bentuk dari pemidanaan penumpasan kemerdekaan tidak bisa terlepas
dari pembahasan mengenai tujuan pemidanaan. Pembahasan mengenai tujuan
pemidanaan akan memberikan pemahaman atau analisis tentang sejauh mana jenis
sanksi pidana seumur hidup yang relevan dan karenanya patut
dipertahankan dalam sistem hukum pidana.
Sejak awal perkembangan hukum pidana telah dikenal
beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, antara lain[4]:
1.
Teori Retributif
Teori ini merumuskan tujuan pemidanaan sebagai
balasan atas kesalahan. Dengan asumsi dasar bahwa setiap orang bertanggung jawab secara moral
atas kesalahannya. Jadi, menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata demi memenuhi
ambisi balas dendam.
2.
Teori Teleologis
Teori ini merumuskan tujuan pemidanaan digunakan
untuk kemanfaatan. Dimana kemanfaatan tersebut ditujukan kepada pelaku tindak pidana agar menjadi
lebih baik dan tidak mengulangi perbuatannya lagi dan juga ditujukan kepada
dunia yaitu mencegah agar
orang lain tidak melakukan perbuatan serupa.
3.
Teori Integratif
Teori ini merumuskan tujuan pemidanaan dengan
mengartikulasikan beberapa teori pemidanaan sekaligus. Pada teori ini pidana
dan pemidanaan dilihat sebagai proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana
yang dengan cara tertentu diharapkan dapat mengasimilasikan kernbali narapidana
ke dalam lingkungan masyarakat.
Seiring berkembangnya dunia keilmuan maka teori
integratiflah yang banyak digunakan oleh berbagai negara di dunia. Dari teori
pemidanaan tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek pokok tujuan pemidanaan
meliputi[5]:
1.
Aspek Perlindungan Masyarakat
Aspek ini pada intinya meliputi tujuan pencegahan, mengurangi
atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat. Dimana
dengan dirampasnya kemerdekaan pelaku tindak pidana maka berarti terdapat pembatasan
terhadap ruang gerak pelaku tindak pidana, sehingga masyarakat merasaaman
dan terlindungi dari perilaku jahat pelaku. Berdasarkan pengertian tersebut
maka pengaturan tentang diterapkannya pidana seumur hidup di lndonesia telah
memenuhi aspek perlindungan masyarakat tersebut.
2.
Aspek Perlindungan Individu
Aspek ini pada intinya meliputi tujuan untuk
melakukan rehabilitasi dan mernpengaruhi tingkah laku pelaku tindak pidana agar
taat dan patuh pada hukum. Aspek perlindungan individu ini merupakan
implernentasi dari falsafah pembinaan (treatment
philosophi) sebagi falsafah pemidanaan yang sekarang dianut oleh banyak negara. Sebagaimana diketahui bahwa di
lndonesia pidana penjara dilakukan dengan sistem pemasyarakaan. Pidana penjara
dengan sistem pemasyarakatan tersebut bertujuan membina dan mengembalikan
kesatuan hidup terpidana agar menjadi masyarakat yang baik dan berguna.
Berdasarkan konsep tersebut maka resosialisasi terpidana merupakan tujuan utama
dari pidana penjara.
Selain itu Pidana penjara sebagai bentuk pemidanaan
perampasan kemerdekaan individu juga memiliki sistem yaitu sistem hukuman penjara
yang secara garis besar di dunia terdiri atas tiga sistem, yaitu[6]:
1.
Sistem Pennsylvania yang menghendaki
para hukuman terus-menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar atau sel;
2.
Sistem Auburne, yang menentukan bahwa
para terhukum pada siang hari disuruh bekerja
bersama-sama, tetapi tidak boleh bicara;
3.
Sistem Irlandia yang menghendaki para
hukuman mula-mula ditutup terus menerus, tetapi kemudian dikerjakan
bersama-sama dan tahap demi tahap diberi kelonggaran bergaul satu sama lain
sehingga pada akhirnya setelah tiga per empat dari lamanya hukuman sudah lampau
dimerdekakan dengan syarat.
Sistem hukuman penjara yang dianut oleh Indonesia
adalah perkawinan antara ketiga sistem tersebut. Dimana biasanya beberapa orang
terpidana dikumpulkan dalam satu ruangan
pada saat
bekerja dan tidur, tetapi ada kemungkinan juga bahwa seorang terpidana yang
nakal dapat ditutup sendiri dalam satu kamar atau sel. Dan berdasarkan Pasal 15
KUHP, maka seorang terpidana penjara atau kurungan yang 2/3 lamanya hukuman
sudah dijalani dan tenggang ini paling
sedikitnya 9
(Sembilan) bulan, dapat dimerdekakan dengan syarat dan dalam
waktu percobaan, yang lamanya 1 (satu) tahun lebih dari sisa
lamanya hukuman akan tetapi pelepasan bersyarat ini tidak berlaku bagi
terpidana penjara seumur hidup di lndonesia.
B. Kerangka Teoritis
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pidana adalah
"reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan
negara kepada pembuat delik itu[7].
Dan untuk memudahkan pemahaman maka dapat simpulkan bahwa pidana mengandung
unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut[8]:
1. Pidana
itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana
itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan
(oleh yang berwenang).
3. Pidana
itu dikenakan kepada seseorang atau Badan Hukum (korporasi) yang telah
melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Sedangkan
yang dimaksud dengan pidana penjara adalah
Suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak
dari seorang terpidana yang dilahirkan dengan menutup orang tersebut di dalam
sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan
tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu
tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut[9].
Kemudian
pidana penjara seumur hidup adalah pidana yang harus dijalani terpidana selama
hidup/sepanjang hidupnya[10].
BABIII
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Pidana
Seumur Hidup di Indonesia
Peraturan perundang-undangan Indonesia yang memuat
pengaturan tentang pidana penjara seumur hidup adalah Kitab Undang-undang Hukum
Pidana sebagai induk dari semua peraturan pidana di Indonesia[11],
oleh karena itu pembahasan mengenai pengaturan pidana penjara seumur hidup di
Indonesia dalam bab pembahasan ini penulis bagi menjadi dua bagian:
l.
Pengaturan Pidana Penjara Seumur Hidup Dalam KUHP
a.
Ketentuan umum tentang pidana seumur hidup
Sebagai peraturan yang memuat basic principle tentang aturan-aturan
hukum pidana maka ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) juga mengikat terhadap aturan-aturan pidana diluar KUHP. Hal tersebut dijelaskan
dalam Pasal 103 KUHP:
Ketentuan-ketentuan dalam bab I sampai dengan bab
VIII KUHP juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana kecuali jika oleh UU ditentukan lain.
Berdasarkan Pasal 103 KUHP di atas maka
ketentuan-ketentuan umum dalam KUHP termasuk ketentuan umum tentang pidana
seumur hidup juga berlaku untuk perundang-undangan di luar KUHP sepanjang tidak
ditentukan lain dalam undang-Undang (khusus) yang bersangkutan. Di dalam KUHP,
ketentuan umum tentang pidana seumur hidup diatur dalam Pasal 12 KUHP:
1.
Pidana penjara adalah seumur hidup atau
selama waktu tertentu;
2.
Pidana penjara selama waktu tertentu
paling pendek adalah 1 hari dan paling lama 15 tahun
berturut-turut;
3.
Pidana penjara selama waktu tertentu
boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang
pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana semur hidup dan pidana
penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun
dapat dilampaui karena perbarengan (concursus),
pengulangan (residive) atau karena
yang ditentukan dalam pasal 52 dan52a;
4.
Pidana penjara selama waktu tertentu
sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.
Berdasarkan ketentuan pasal 12 KUHP tersebut
terlihat bahwa ketentuan umum tentang pidana seumur hidup hanya diatur dalam
satu ketentuan yaitu dalam Pasal 12 ayat l KUHP. Dari ketentuan tersebut dapat
dilihat ketidakjelasan pengaturan pidana penjara seumur hidup dalam KUHP
apabila dibandingkan dengan pengaturan tentang pidana penjara selama waktu
tertentu. Ketentuan pasal 12 ayat I KUHP diatas sebenarnya hanya menunjukkan bahwa
bentuk pidana penjara itu bisa berupa pidana seumur hidup dan sementara waktu.
Dengan demikian dalam ketentuan umum ini sama sekali tidak disinggung tentang
bagaimana pengaturan pidana penjara seumur hidup sebagaimana dalam pengaturan
tentang pidana penjara selama waktu tertentu[12].
Ketidakjelasan pengaturan tersebut menimbulkan pertentangan dengan tujuan
pemidanaan apabila dihubungkan dengan kemungkinan diterapkannya pelepasan
bersyarat terhadap individu yang dijatuhi pidana penjara seumur hidup. oleh
karena itu Pasal 15 KUHP yang
mengatur tentang pelepasan bersyarat ternyata juga tidak mengatur tentang adanya
kemungkinan terhadap narapidana seumur hidup untuk memperoleh pelepasan
bersyarat. Pasal 15 KUHP secara jelas hanya memperuntukkan pelepasan bersyarat
kepada narapidana yang menjalani pidana penjara selama waktu tertentu saja:
1.
Jika terpidana telah menjalani dua per
tiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya
harus Sembilan bulan maka kepadanya dapat diberikan pelepasan bersyarat. Jika terpidana
harus menjalani beberapa pidana berturut-turut pidana itu dianggap sebagai satu
pidana.
2.
Dalam memberikan pelepasan bersyarat
ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi selama masa percobaan.
3.
Masa percobaan itu lamanya sama dengan
sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika
terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa
percobaan.
Dari ketentuan tersebut jelas bahwa pelepasan
bersyarat hanya diberikan kepada narapidana setelah yang bersangkutan menjalani
2/3 dari pidana yang dijatuhkan, atau dengan kata lain pelepasan bersyarat
hanya dapat diberikan apabila batas waktu pidananya dapat diketahui atau dapat
dihitung/diukur. Dengan demikian maka seseorang yang dijatuhi pidana penjara
seumur hidup tidak mungkin mendapatkan pelepasan bersyarat, karena sifat pidana
yang dijatuhkan kepadanya tidak
terbatas/tidak dapat dihitung karena tidak satu pun orang yang tahu secara
pasti sampai batas berapa usianya.
Di Indonesia peraturan yang memberikan peluang bagi
terpidana seumur hidup untuk kembali ke masyarakat tidak diatur dalam KUHP
sebagai peraturan yang memuat prinsip dasar hukum pidana melainkan diatur dalam
Keputusan Presiden RI No. 69 Tahun 1999 Tentang Pengurangan Masa Pidana
(Remisi), dimana dalam pasal 7 dibuka kemungkinan bagi narapidana seumur
hidup memperoleh remisi dengan syarat pidananya telah diubah dari pidana penjara seumur hidup
menjadi pidana penjara sementara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 Keputusan presiden RI No. 69
Tahun 1999:
1.
Narapidana yang dikenakan pidana penjara
seumur hidup dan telah menjalani pidananya
paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut dan berkelakuan baik dapat diubah dari
pidana penjara seumur hidup menjadi pidana
penjara sementara, sehingga lamanya sisa pidana yang masih harus dijalaninya menjadi
paling lama 15 (limabelas) tahun;
2.
Perubahan pidana seumur hidup menjadi
pidana penjara sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
ditetapkan dengan Keputusan menteri Kehakiman Republik Indonesia pada hari
peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik lndonesia tanggal 17 Agustus;
3.
Dalam hal pidana penjara seumur hidup
telah diubah menjadi pidana penjara sementara sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2, maka untuk pemberian remisi berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 sampai dengan pasal 6 Keputusan presiden
ini.
Dengan demikian adanya ketentuan Pasal 7 Keputusan
Presiden RI Nomor 69 Tahun 1999 maka terpidana penjara seumur hidup dapat
melakukan perubahan atau
penyesuaian
pidana melalui Keputusan menteri Kehakiman Republik Indonesia selain itu bisa juga melalui grasi[13].
Akan tetapi permasalahan ini tidak selesai begitu
saja dengan adanya perubahan jenis pidana dari pidana seumur hidup menjadi
pidana sementara tersebut dan grasi. Oleh karena itu pada perubahan jenis pidana dari pidana
penjara seumur hidup menjadi pidana sementara sebagaimana diatur dalam
keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1999 tidak ditentukan siapa saja yang
berwenang dan berhak untuk mengajukan perubahan atau penyesuaian, sehingga
besar kemungkinan terpidana yang tidak paham hukum akan tidak memperoleh
perubahan atau penyesuaian pidananya. Demikian pula dengan perubahan pidana
melalui grasi juga sulit untuk diperoleh,
oleh terpidana yang "awam hukum", karena tidak adanya jaminan kepastian
hukum bahwa terpidana penjara seumur hidup yang mengajukan grasi akan dikabulkan
grasinya dan berubah pidananya menjadi pidana sementara. Sedangkan grasi
tersebut hanya dapat diajukan 1
kali kepada Presiden terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, kecuali dalam hal:
a.
Terpidana yang pernah ditolak permohonan
grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan
grasi tersebut atau
b.
Terpidana yang pernah diberi grasi dari
pidana mati menjadi pidana seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun
sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima[14].
Berdasarkan
penjelasan diatas maka terlihat dengan jelas adanya pertentangan antara pengaturan pidana penjara
seumur hidup di Indonesia dengan aspek perlindungan individu yang merupakan
salah satu pokok tujuan pemidanaan. Pertentangan tersebut dikarenakan diterapkannya
pidana penjara seumur hidup yang termasuk dalam jenis pidana perampasan
kemerdekaan individu untuk jangka waktu selama hidupnya atau akhir hayatnya
tanpa disertai aturan yang jelas dalam KUHP yang memberikan kemungkinan
perubahan atau penyesuaian putusan pemidanaan terhadap terpidana penjara seumur
hidup, memperkecil kemungkinan dapat dilakukannya resosialisasi terpidana ke dalam
masyarakat. Dua solusi yang ditawarkan agar terpidana dapat menyesuaikan
pidananya adalah melalui perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana
sementara dan grasi, namun kedua hal tersebut sulit dilakukan oleh terpidana
yang "awam hukum" disamping juga tidak adanya jaminan kepastian akan berubahnya
pidana seumur hidup menjadi pidana sementara sehingga kemungkinan terpidana
penjara seumur hidup untuk kembali ke masyarakat sangat kecil, sedangkan aspek
perlindungan individu yang merupakan salah satu pokok tujuan pemidanaan yang menitikberatkan kepada perbaikan
terpidana agar dapat menyatu kembali dengan masyarakat.
a.
Tindak Pidana yang Diancam
Pidana Seumur Hidup oleh KUHP
Dilihat dari kualifikasinya tindak pidana dalam KUHP
yang diancam dengan pidana seumur hidup adalah tindak pidana yang dikualifikasikan
sebagai kejahatan (berat). Tindak pidana tersebut
terdapat dalam buku II yang tersebar dalam 8 bab dan 23 ketentuan. Penempatan
kelompok tindak pidana yang diancam pidana seumur hidup dalam buku II KUHP ini
dapat dipahami oleh karena tindak pidana menurut
sistem KUHP dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan
yang
secara umum dianggap lebih berat diatur dalam buku II dan pelanggaran diatur
dalam
buku III.
No
|
Kelompok Kejahatan
|
Pasal yang mengatur
|
1
|
Terhadap
keamanan negara
|
104, 106, 107
(2), 108 (2), 11 92), 124 (2), 124 (3)
|
2
|
Terhadap
negara
|
140 (3)
|
3
|
Membahayakan
kepentingan umum
|
187 ke-3, 198
ke-2, 200 ke-3, 202 (2), 204 (2)
|
4
|
Terhadap nyawa
|
339, 340
|
5
|
Pencurian
|
365 (4)
|
6
|
Pemerasan dan
pengancaman
|
368 (2)
|
7
|
Pelayaran
|
444
|
8
|
Penerbangan
|
479f sub b,
479k (1) dan (2) 479o (1) dan (2)
|
c.
Perumusan ancaman pidana penjara seumur hidup dalam KUHP
Secara umum dalam KUHP hanya dikenal 2 bentuk
perumusan ancaman pidana penjara yaitu bentuk perumusan dengan sistem tunggal
dan bentuk perumusan dengan sistem alternatif. Dimana sistem pcrumusan tunggal adalah
pidana penjara dirumuskan sebagai satu-satunya jenis sanksi pidana untuk delik yang
bersangkutan, sedangkan pengertian sistem perumusan altenatif adalah pidana
penjara dirumuskan secara altematif dengan jenis sanksi pidana lainnya
berdasarkan urut-urutan jenis sanksi pidana yang terberat sampai yang teringan[15].
Pidana
seumur hidup dalam KUHP dirumuskan
dengan sistem alternatif:
No
|
Kelompok
kejahatan
|
Perumusan
ancaman pidana/pasal
|
|
Mati/seumur
hidup/20 tahun
|
Seumur
hidup/20 tahun
|
||
1
|
Terhadap keamanan
negara
|
Pasal 104, 111
(2), 124 (3)
|
Pasal 106, 107
(2), 108 (2) 124 (2)
|
2
|
Terhadap
negara
|
Pasal 339
|
-
|
3
|
Membahayakan
kepentingan umum
|
-
|
Pasal 187 ke
3, 198 ke 2, 200 ke 3, 202 (2), 204 (2)
|
4
|
Terhadap nyawa
|
Pasal 340
|
Pasal 339
|
5
|
Pencurian
|
Pasal 365 (4)
|
-
|
6
|
Pemerasan dan
pengancaman
|
Pasal 368 (2)
|
-
|
7
|
Pelayaran
|
Pasal 444
|
-
|
8
|
Penerbangan
|
Pasal 479k (2), 479o (2)
|
Pasal 479f sub b, 479k (1), 479o (1)
|
Tabel tersebut menunjukkan bahwa pidana seumur hidup
selalu dialternatifkan dari pidana mati dan selalu dialternatifkan dengan
pidana penjara selama 20 tahun. Sebagai alternatif dari pidana mati, pidana seumur
hidup berhubungan pula dengan fungsi subsidair yaitu sebagai pengganti untuk delik-delik
yang diancam dengan maksimum pidana mati. Selain itu dengan menggunakan sistem
alternatif menunjukan bahwa pidana seumur hidup dalam KUHP merupakan jenis
sanksi yang dapat dipilih penjatuhannya tidak bersifat imperatif[16].
2.
Pengaturan Pidana Penjara Seumur Hidup di luar KUHP
Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana di dunia
berkembang dengan pesat, dan untuk mengimbangi perkembangan tindak pidana
tersebut maka pemerintah Indonesia banyak mensahkan peraturan
perundang-undangan, pidana yang mengatur tindak pidana yang sebelumnya tidak
diatur dalam KUHP, ataupun mengatur ketentuan pidana secara lebih spesifik dari
yang sudah diatur
dalam KUHP.
Perumusan ancaman pidana seumur hidup dalam
perundang-undangan di luar KUHP sama dengan perumusan dalam KUHP yaitu berupa
alternatif, akan tetapi beberapa pasal yang mengaturnya secara kumulatif salah
satu contohnya adalah Pasal
111 (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dimana ancaman
pidana penjara seumur hidup dikumulasikan dengan pidana pokok denda:
Dalam
hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada
ayat (l) beratnya melebihi I (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (l)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pidana pokok denda sendiri sebagaimana diatur dalam
KUHP menganut asas subsidiaritas dimana pidana pokok denda yang tidak dapat
dijalani oleh terpidana akan digantikan dengan pidana pengganti berupa kurungan
sebagaimana diatur dalam Pasal30 KUHP:
Pasal
30
1.
Pidana denda paling sedikit tiga rupiah
tujuh puluh lima sen.
2.
Jika pidana denda tidak dibayar, ia
diganti dengan pidana kurungan.
3.
Lamanya pidana kurungan pengganti paling
sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
4.
Dalam putusan hakim, lamanya pidana
kurungan pengganti ditetapkan demikian; jika pidana dendanya tujuh rupiah lima
puluh dua sen atau kurungan, di hitung satu hari; jika lebih dari lima rupiah
lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen di hitung paling banyak
satu hari demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
5.
Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan
karena perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52, maka
pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan.
6.
Pidana kurungan pengganti sekali-kali
tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Perumusan ancaman pidana penjara
seumur hidup yang dikumulasikan dengan pidana pokok denda dalam Pasal lll (2)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
tersebut menurut penulis harus direvisi. Perumusan ancaman pidana kumulatif
berupa pidana penjara seumur hidup dan pidana denda sangatlah tidak mungkin
untuk diterapkan. Oleh karena apabila terpidana yang dijatuhi pidana penjara
seumur hidup dan denda ternyata tidak mempunyai uang untuk membayar denda yang
paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) tersebut ditambah l/3(sepertiga),
maka terhadapnya tidak mungkin dikenakan pidana kurungan pengganti, karena tidak
dapat ditentukan kapan terpidana harus menjalani pidana kurungan pengganti tersebut,
mengingat terpidana dijatuhi pidana penjara seumur hidup yang harus dijalaninya
sampai akhir hayatnya.
B. Pengaturan Pidana
Seumur Hidup Di Saudi Arabia
a.
Dasar-dasar
Hukum kerajaan Saudi Arabia
Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik Muslim maupun bukan Muslim.
Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah
seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebahagian penganut Islam, Syariat
Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia
dan kehidupan dunia ini. Terkait dengan
susunan tertib Syari'at,Al-Quran Surat Al-Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan
RasulNya sudah memutuskan suatu perkara,maka umat Islam tidak diperkenankan
mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara
yang Allah dan RasulNya belum menetapkan
ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan
sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat
dalam Surat Al Maidah QS5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal
yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah
dimaafkan Allah
Dengan demikian perkara yang dihadapi oleh umat Islam dalam menjalani kehidupan
beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori,
yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk
dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk
dalam kategori Furu' Syara'.
§
Asas Syara'
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau
AlHadits. Kedudukannya sebagai Pokok
Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al
Hadits itu Asas Kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia
dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat
. Keadaan
darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati syari'at Islam,
ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan
tersebut tidak diduga sebelumnya atau
tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan
keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera
kembali kepada ketentuan syari'at yang berlaku.
Hukum
syara’ adalah “maa tsabata bi
khithaabillahil muwajjahi ilaal ‘ibaadi‘alaa
sabiilith thalabi awit takhyiiri awil wadh’i”. Maksudnya, sesuatu yang telah ditetapkan oleh titah Allah yang
ditujukan kepada manusia, yang penetapannya dengan cara tuntutan (thalab), bukan pilihan (takhyir), atau
wadha’. Contoh hukum syara’,dari beberapa firman Allah dalam Al-Quran
§ Firman Allah swt., “Tegakkahlah shalat
dan berikanlah zakat!”[QS.
Al-Muzzamil (73): 20]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan berbuat, dengan
cara tuntutan keharusan yang
menunjukkan hukum wajib melakukan shalat dan zakat
§ Firman Allah swt., “Dan janganlah kamu
mendekati zina!” [QS.Al-Isra' (17):
32]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan meninggalkan, dengan cara keharusan yang menunjukkan hukum haram berbuat zina.
§
Firman
Allah swt., “Dan apabila kamu telah
bertahallul(bercukur),
maka berburulah.” [QS. Al-Maidah (5): 2]. Ayat ini menunjukkan suatu hukum syara’ boleh berburu sesudah tahallul (lepas dari ihram
dalam haji). Orang mukallaf boleh memilih antara
berbuat berburu atau tidak.
Wadha’ adalah sesuatu yang diletakkan
menjadi sebab atau menjadi syarat, atau menjadi pencegah terhadap yang lain.
Misalnya,a) Perintah Allah swt. “Pencuri lelaki dan wanita, potonglah tangan
keduanya.” [QS. Al-Maidah (5): 38]. Ayat ini
menunjukkan bahwa pencurian adalah dijadikan sebab terhadap hukum potong tangan; b) Bersabda
Rasulullah saw., “Allah swt. tidak menerima shalat yang tidak dengan bersuci.” Hadits ini menunjukkan bahwa bersuci adalah
dijadikan syarat untuk shalat; c) Sabda Rasulullah saw.,
“Pembunuh tidak bisa mewarisi sesuatu.” Hadits
ini menunjukkan
bahwa pembunuhan adalah pencegah seorang pembunuh mewarisi harta benda si terbunuh. Dari
keterangan-keterangan di atas, kita paham bahwa hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu hukum
taklifi dan hukum wadh’i
.
1) Hukum
taklifi yang
menunjukkan tuntutan untuk berbuat, atau tuntutan untuk meninggalkan,
atau boleh pilih antara berbuat dan meninggalkan. Contoh: Hukum yang
menunjukkan tuntutan untuk berbuat: “Ambilah sedekah dari sebagian harta mereka!” [QS. At-Taubah (9): 103],
“Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Al-Imran (3): 97]. Hukum yang menunjukkan tuntutan untuk
meninggalkan: “Janganlah diantara kamu mengolok-olok
kaum yang lain.” [QS. Al-Hujurat (49):
11],“Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi.” [QS.
Al-Maidah(5): 3]
Hukum taklifi terbagi
menjadi dua, yaitu ;
§
Azimah adalah suatu hukum asal yang tidak pernah berubah karena suatu sebab
dan uzur. Seperti shalatnya orang yang ada di rumah, bukan musafir.
§
Rukhsyah adalah suatu hukum asal
yang menjadi berubah karena suatu halangan (uzur). Seperti shalatnya orang musafir.
Sumber-sumber Hukum Islam
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran
Islam juga disebut sumber pertama atau Asas
Pertama Syara'.Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya
yang pernah diturunkan ke dunia Dalam upayamemahami isi Al Quran dari waktu ke waktu telah
berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'an namun
tidak ada yang saling bertentangan.
Al –hadist adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad Hadits sebagai sumber hukum
dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.
Ijtihad adalah sebuah usaha untuk
menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan
Hadis. Ijtihad dilakukan setelah
Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada
beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak bisa
diijtihadkan. Beberapa
macam ijtihad antara lain.
§
Furu' Syara'
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak
jelas ketentuannya dalam Al Quran danAl Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang
Syari'at Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali
diterima Ulil Amri setempat
menerima sebagai peraturan/ perundangan yang
berlaku dalam wilayah kekuasaanya. Perkara atau
masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah
Cara
Persidangan di Saudi Arabia
Dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim yang bertanggung jawab terhadap berbagai kasus pengadilan. Dia
memiliki otoritas untuk menjatuhkan keputusan berdasarkan
Al-Qur`an dan As-Sunnah. Keputusan-keputusan lain
mungkin hanya bersifat menyarankan atau membantu jika diperlukan (yang
dilakukan oleh hakim ketua).Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib
seorang tidak diserahkan kepada tindakan dan prasangka ke-12 orang yang bisa saja keliru
karena bukan saksi dalam kasus tersebut dan bahkan mungkin pelaku
kriminal itu sendiri. Hukuman hukuman dalam Islam hanya bisa dilakukan apabila perbuatan tersebut terbukti 100% secara pasti dan kondisi yang relevan dapat ditemukan
(misal ada 4 saksi untuk membuktikan perzinahan) jika masih ada keraguan tentang peristiwa-peristiwa
tersebut maka seluruh kasus akan dibuang.Ada 3 macam hakim dalam
Islam, yaitu:
1.
Qodli‘Aam: bertanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan ditengah-tengah masyarakat, misalnya masalah sehari-hari yang terjadi didaratan, antara lain kasus tabrakan mobil, dan kejadian kecelakaan lainnya, dsb.
2.
Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan
perselisihan ummat dan
beberapa orang, yang mengganggu masyarakat
luas, misalnya berteriak dijalanan, mencuri di pasar, dsb.
3.
Qodli Madzaalim:
yang mengurusi permasalahan antara masyarakat dengan pejabat negara. Dia dapat memecat para penguasa atau
pegawai pemerintah termasuk khalifah.
Khalifah kedua yaitu Umar Ibnu Al Khattab (Amir kaum muslimin antara
tahun 634-644 M) adalah orang pertama yang
membuat penjara dan rumah tahanan di Mekkah. Dibawah sistem peradilan
(Islam), setiap orang, muslim atau non
muslim, laki-laki atau perempuan,
terdakwa dan orang yang dituduh memiliki hak menunjuk seorang wakil (proxy). Tidak ada
perbedaan antara pengadilan perdata dengan kriminal seperti yang kita lihat sekarang di negeri-negeri Islam seperti di Pakistan
dimana sebagian hukum Islam dan sebagian hukum kufur keduanya diterapkan.
Negara Islam hanya akan menggunakan sumber-sumber hukum Islam yakni,
Al-Qur`an dan As-Sunnah (dan segala sesuatu yang berasal
dari keduanya) sebagai rujukannya. Hukuman-hukuman Islami akan dilaksanakan tanpa
penundaan dan keraguan. Tidak seorangpun akan di hukum kecuali
oleh peraturan pengadilan. Selain itu,sarana
(alat-alat) penyiksaan tidak diperbolehkan. Dibawah sistem Islam, seseorang yang dirugikan dalam suatu kejahatan
mempunyai hak untuk memaafkan terdakwa atau menuntut ganti rugi (misal qishas) untuk suatu tindak
kejahatan. Khusus untuk hukum hudud, merupakan hak Allah. Hukum potong tangan dalam Islam hanya akan
diterapkan apabila memenuhi 7 persyaratan,
yaitu:
·
Ada saksi (yang tidak kontradiksi
atau salah dalam kesaksiannya)
· Nilai barang yang dicuri harus mencapai 0,25 dinar atau
senilai 4,25 gr emas.
· Bukan berupa makanan (jika pencuri itu
lapar)
·
Barang yang dicuri tidak berasal
dari keluarga pencuri tersebut.
·
Barangnya halal secara alami (misal:
bukan alkohol)
·
Dipastikan dicuri dari tempat yang
aman (terkunci)
·
Tidak diragukan
dari segi barangnya (artinya pencuri tersebut tidak berhak mengambil misalnya uang dari harta milik umum).
Di sepanjang 1300 tahun aturan Islam diterapkan, hanya ada sekitar 200
orang yang tangannya
dipotong karena mencuri namun banyak kejadian
pencurian sangat jarang terjadi. Setiap
orang berhak menempatkan pemimpinnya di
pengadilan, berbicara mengkritiknya
jika pengadilan telah melakukan sejumlah pelanggaran terhadapnya.
Sebagaimana ketika
seorang wanita pada masa khalifah Umar
Ibnu Al Khattab mengoreksi kesalahan yang dilakukan Umar tentang nilai mahar .Kehormatan seorang
warga negara dipercayakan kepada Majelis Ummah .Hukuman atas tuduhan
kepada muslim lain yang belum tentu berdosa dengan tanpa menghadirkan 4 orang saksi yang
memperkuat pernyataan tersebut adalah berupa 80 kali cambukan.
Macam-Macam
Sanksi Hukuman Pidana di Saudi Arabia
Ada 4 kategori hukuman dalam sistem
peradilan Islam, yaitu:
o
Hudud. Hak
Allah SWT, seperti perbuatan zina (terancam 100 cambukan), dan perbuatan murtad (terancam hukuman mati).
o
Al Jinayat. Hak individu, dia boleh
memaafkan tindak kejahatan seperti pembunuhan,kejahatan fisik.
o
At Ta’zir.
Hak masyarakat, perkara-perkara yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat umum sehari-hari seperti
pengotoran lingkungan, mencuri di pasar.
o
Al-Mukhalafat.
Hak negara, perkara-perkara yang mempengaruhi kelancaran tugas negara misal melanggar batas kecepatan
C. Pengaturan Pidana Penjara Seumur Hidup
Dalam Konsep RUU KUHP
Sebelum penulis menjelaskan tentang pengaturan
pidana seumur hidup Perlu kiranya penulis jabarkan tentang jenis pidana yang
diatur dalam Pasal 65 ayat I RUU
KUHP
yaitu:
Pidana
pokok berdiri atas:
a.
Pidana Penjara;
b.
Pidana tutupan;
c.
Pidana pengawasan;
d.
Pidana denda;dan
e.
Pidana kerja sosial
Sedangkan
pidana tambahan sebagaimana diatur dalam pasal 67 RUU KUHP terdiri atas:
a.
Pencabutan hak tertentu
b.
Perampasan barang tertentu dan/atau
tagihan
c.
Pengumuman putusan hakim;
d.
Pembayaran ganti kerugian;
e.
Pemenuhan kewajiban adat setempat dan
atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat
Berbeda dengan KUHP Indonesia dan KUHP Saudi Arabia
yang tidak menyebutkan tujuan pemidanaan dalam peraturannya RUU KUHP menyebutkan
tujuan pemidanaan secara lengkap dalam Pasal 54 ayat I RUU KUHP, yaitu:
a.
Mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b.
Memasyarakatkan terpidana dengan
mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c.
Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
oleh tindak pidana memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat;
d.
Membebaskan rasa bersalah pada terpidana;
e.
Memaafkan terpidana.
Berdasarkan uraian di atas, maka setidaknya dapat
tergambar bahwa perancang RUU KUHP menyadari kekurangan yang ada pada KUHP yang
berlaku saat ini, sehingga dirasa perlu untuk mengatur ketentuan pidana secara
lebih jelas dan lengkap dalam RUU KUHP. Kesadaran akan kelemahan pengaturan
pidana dalam KUHP juga salah satunya terhadap pengaturan pidana
penjara seumur hidup, dimana perancang RUU KUHP melakukan pembaharuan dengan ide
bahwa penerapan pidana penjara seumur hidup kurang sesuai dengan tujuan
filsafat sistem pemasyarakatan karena pada hakikatnya perampasan kemerdekaan
seseorang itu seharusnya hanya bersifat sementara (untuk waktu yang tertentu).
Dan kalaupun pidana penjara
seumur hidup tetap diterapkan dalam RUU KUHP, hal tersebut merupakan
eksepsional, sekedar, untuk ciri simbolik akan sangat tercelanya perbuatan yang
bersangkutan dan
sebagai tanda peringatan bahwa yang bersangkutan dapat dikenakan maksimum pidana penjara dalam
waktu tertentu yang cukup lama. Singkatnya terhadap masalah pidana perampasan kemerdekaan seumur
hidup tersebut pembaharuan yang dilakukan perumus RUU KUHP:
1.
Tingkat pencelaan masyarakat yang tinggal
terhadap suatu tindak pidana tidak hanya dapat ditunjukkan dengan ancaman pidana seumur hidup, tetapi juga
dapat dengan menetapkan maksimum pidana penjara yang cukup tinggi dalam waktu
tertentu (antara 25 sd. 40 tahun).
2.
Pidana penjara seumur hidup kurang sesuai
dengan tujuan filsafat sistem pemasyarakatan karena pada hakikatnya perampasan
kemerdekaan seseorang itu seharusnya hanya bersifat sementara (untuk waktu yang
tertentu) sebagai sarana untuk memulihkan integritas terpidana agar mampu
melakukan readaptasi sosial.
3.
Pidana seumur hidup hanya dapat diterima
secara
eksepsional, sekedar untuk ciri simbolik akan tercelanya perbuatan yang
bersangkutan dun sebagai tanda peringatan bahwa yang bersangkutan dapat
dikenakan maksimal pidana penjara dalam waktu tertentu yang cukup lama jadi tidak
untuk benar-benar diterapkan secara harfiah.
4.
Sehubungan dengan kesimpulan
diatas maka dalam aturan umum buku I dapat dirumuskan maksimum umum untuk
delik-delik yang diancam dengan penjara seumur hidup. Disamping itu perlu
ditetapkan pula minimum umum untuk delik-delik yang diancam dengan pidana seumur
hidup itu dengan disertai klausul yang memberi kemungkinan kepada hakim untuk menjatuhkan
pidana dibawah minimum umum tersebut.
5.
Pidana penjara seumur hidup hendaknya
selalu dirumuskan sebagai alternatif dari pidana mati atau selalu dialtenatifkan
dengan pidana penjara dalam waktu tertentu[17].
Selanjutnya mengenai kemungkinan dilakukannya
perubahan atau penyesuaian kembali putusan pemidanaan yang telah berkekuatan
hukum tetap yang didasarkan karena adanya penrbahan atau perbaikan pada diri
terpidana itu sendiri, maka perancang RUU KUHP merumuskannya dalam Pasal 57 RUU
KUHP:
1.
Putusan pidana dan tindakan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian
dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan.
2.
Perubahan penyesuaian sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 dilakukan atas permohonan narapidana, orangtua, wali atau
penasihat hukumnya atau atas permintaan Jaksa penuntut umum
atau hakim pengawas.
3.
Perubahan atau penyesuaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 tidak boleh lebih berat dari putusan
semula dan harus dengan persetujuan narapidana.
4.
Perubahan atau penyesuaian sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dapat berupa:
a.
pencabutan atau penghentian sisa pidana
atau tindakan; atau
b.
Penggantian jenis pidana atau tindakan
lainnya
5.
Jika permohonanan perubahan atau
penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat 1
ditolak oleh pengadilan, maka permohonan baru dapat diajukan lagi setelah 1
(satu) tahun sejak penolakan.
6.
Jika terdapat keadaan khusus yang menunjukkan
permohonan tersebut pantas untuk dipertimbangkan sebelum batas waktu 1
(satu) tahun, maka ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku.
Perubahan
atau penyesuaian kembali terhadap pidana penjara seumur hidup diatur
dalam
Pasal 10 RUU KUHP yaitu:
(1)
Apabila terpidana seumur hidup telah
menjalani pidana sekurang-kurangnya 10 tahun dengan berkelakuan baik maka
terpidana dapat diberikan pembebasan bersyarat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat l diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Lebih
lanjut dalam penjelasan RUU KUHP tersebut disebutkan bahwa
Ketentuan
pasal ini memberikan kewenangan kepada pejabat yang berwenang yang ditentukan
dalam Keputusan presiden untuk memberi keringanan pidana bagi terpidana seumur
hidup, yaitu dengan mengubah pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dengan ketentuan apabila terpidana telah
menjalani pidananya sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun dengan berkelakuan
baik. Karena putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka
instansi atau pejabat yang diberi wewenang menetapkan keringanan pidana adalah eksekutif.
Selain adanya kesempatan perubahan atau penyesuaian
pidana berupa pembebasan bersyarat yang didasarkan pada syarat minimal masa
pidana yang telah dijalani dan perbaikan perilaku terpidana ternyata RUU KUHP
juga memberikan peluang perubahan atau penyesuaian pidana melalui grasi yang
diatur dalam pasal 63 RUU KUHP:
(1)
Jika narapidana yang berada dalam LP
mengajukan permohonan grasi, maka waktu antara pengajuan permohonan grasi dan
saat dikeluarkan Keputusan presiden tidak menunda pelaksanaan pidana yang telah
diajukan.
(2)
Jika terpidana berada di luar LP
mengajukan permohonan grasi, maka waktu antara mengajukan prmohonan grasi dan
saat dikeluarkan Keppres tentang grasi tidak dihitung sebagai waktu menjalani
pidana.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
1 tidak berlaku jika Presiden menentukan lain.
Adanya pengaturan tentang pidana seumur hidup yang
memberikan kemungkinan perubahan atau penyesuaian kembali putusan pemidanaan
tersebut baik yang melalui jalur pembebasan bersyarat ataupun permohonan grasi
sangat menunjang aspek pokok tujuan pimidanaan baik yaug
bersifat individu maupun sosial. Dengan kata lain
pengaturan tersebut memberikan keseimbangan perlindungan terhadap individu dan
masyarakat[18].
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pidana seumur hidup di
Indonesia diwujudkan dalam jenis pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana
penjara seumur hidup. Pengaturan pidana penjara seumur hidup di Indonesia
sebagaimana diatur dalam KUHP hanya memenuhi aspek perlindungan masyarakat. Sedangkan
aspek perlindungan individu yang juga merupakan salah satu aspek pokok tujuan
pemidanaan tidak terpenuhi. Hal tersebut disebabkan tidak adanya aturan dalam
KUHP yang memberikan kemungkinan terpidana untuk mendapatkan perubahan atau
penyesuaian putusan pemidanaan dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara.
Sedangkan pada hakikatnya perampasan kemerdekaan seseorang itu menurut filosofi
sistem pemidanaan seharusnya
hanya bersifat sementara (untuk waktu yang tertertu) karena merupakan sarana
untuk memulihkan integritas terpidana agar mampu melakukan readaptasi sosial.
Dengan demikian jelas ternyata bahwa terdapat ketidakseimbangan pemenuhan
tujuan pemidanaan aspek perlindungan masyarakat dan individu dalam pengaturan
pidana penjara seumur hidup KUHP. Menyikapi hal tersebut, pemerintah membuka kemungkinan
dilakukannya perubahan atau penyesuaian pidana bagi terpidana penjara seumur
hidup saat ini melalui Grasi dan Keputusan Menteri Kehakiman mengenai perubahan
pidana penjara seumur
hidup menjadi pidana sementara sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI
No. 69 Tahun 1999 tentang
Pengurangan Masa Pidana (Remisi), namun
kedua solusi tersebut tetap menyulitkan terpidana untuk memperoleh perubahan
atau penyesuaian pemidanaan
karena selain tidak hanya jaminan kepastian bahwa permohonan grasi terpidana
akan dikabulkan, juga tidak diaturnya perihal pihak yang berwenang dan berhak untuk
mengajukan permohonan perubahan dan penyesuaian pemidanaan dari pidana seumur
hidup menjadi pidana sementara kepada Menteri Hukum dan HAM.
2.
Pengaturan pidana penjara
seumur hidup dalam RUU KUHP merupakan pembaharuan yang dicita-citakan terhadap
pengaturan yang berlaku dalam KUHP saat ini. Untuk
itu RUU KUHP dirancang
untuk mencapai keseimbangan kedua aspek tujuan
pemidanaan dalam pengaturan pidana penjara seumur hidup, dimana
pidana penjara seumur hidup tetap diterapkan untuk tindak pidana yang amat tercela
dan memberikan kemungkinan ada perubahan atau penyesuaian putusan pemidanaan
kepada terpidana melalui dua cara yakni grasi dan pembebasan bersyarat apabila
terpidana berkelakuan baik dan telah rnenjalani pidana penjara selama l7 tahun.
B. Saran
Ketidakseimbangan pemenuhan aspek pokok tujuan
pemidanaan pada pengaturan pidana penjara seumur hidup dalam KUHP menurut
penulis harus disikapi dengan bijaksana dimana memang sudah sepatutnya untuk
tindak pidana yang amat tercela diancam dengan pidana penjara seumur hidup,
namun mengingat
sistem
pemidanaan untuk perampasan kemerdekaan selain untuk membuat jera dan mencegah
dilakukannya tindak pidana, juga berfungsi
untuk membina terpidana agar dapat beradaptasi lagi
di dalam masyarakat dengan menjadi warga negara yang baik.
Oleh
karena itu sebaiknya KUHP di revisi dan pada RUU KUHP sebaiknya diatur kemungkinan
adanya perubahan atau penyesuaian putusan pemidanaan selain melalui grasi juga
melalui pembebasan bersyarat yakni apabila terpidana telah menjalani 20 tahun[19]
dan berkelakuan baik dengan demikian diharapkan keseimbangan pemenuhan aspek
pokok tujuan pemidanaan dapat tercapai.
DAF'TAR PUSTAKA
Arief,
Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1990.
, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan. Bandung: FT Citra Aditya Bakti, 2005.
, Bunga Rampai Pengaturan Hukum Pidana. Bandung:
FT Citra Aditya Bakti, 2005.
, Beberapa Masalah Perbandingan Huhtm Pidana.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Priyatno,
Dwidja. Sistem Pelaksanaan pidana penjara
di Indonesia, Bandung: PT RefikaAditama. 2006.
Prodjodikoro,
Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia. Bandung: PT Eresco, 1989.
Tongat.
Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukam
Pidana di Indonesia. Malang; Universitas Muhammadiyah Malang. 2004.
[1] Tongat. Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukam Pidana di Indonesia. Malang;
Universitas Muhammadiyah Malang. 2004.
a.
Pemerintahan berdasarkan pada konstitusi
b.
Adanya persamaan dihadapan hukum
c.
Adanya Peradilan administrasi
[3] Perbandingan
hukum menurut Dr. G. Guitens Bourgois sebagaimana penulis kutip dari Barda
Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada"
2006) hal- 4, adalah metode perbandingan yang diterapkan pada ilmu hukum.
Perbandingan hukum bukanlah ilmu hukum, melainkan hanya suatu metode studi,
suatu metode untuk meneliti sesuatu, suatu cara kerja yakni perbandingan,
Apabila hukum itu terdiri atas seperangkat peraturan, maka jelaslah bahwa hukum
perbandingan" (vergeleijkende recht)
itu tidak ada metode untuk membanding- bandingkan aturan hukum dari berbagai
sistem hukum tidak mengakibatkan perumusan-rumusan aturan-aturan yang berdiri
sendiri: tidak ada aturan hukum perbandingan Atau menurut Sunaryati Hartono
perbandingan hukum bukanlah suatu bidang hukum tertentu seperti misalnya hukum
tanah, hukum perburuhan atau hukum acara, akan tetapi sekedar merupakan cara
penyelidikan suatu metode untuk membahas suatu persoalan hukum, dalam bidang
mana pun juga.
[4] Op. Cit., hal 107
[5] Ibid, hal. 110
[7] Priyatno,
Dwidja. Sistem Pelaksanaan pidana penjara
di Indonesia, Bandung: PT RefikaAditama. 2006.
[8] Ibid, hal. 7
[10] Tongat, Op. Cit
[11] Dalam pasal 10 KUHP disebutkan secara limitative mengenai jenis
pidana yang diterapkan di Indonesia yaitu:
a.
Pidana Pokok
1.
Pidana mati;
2.
Pidana Penjara;
3.
Kurungan;
4.
Denda
b.
Pidana tambahan
1.
pencabutan hak-hak tertentu
2.
perampasan barang-barang
tertentu
3.
pengumuman putusan hakim
Oleh karena itu maka pidana penjara
seumur hidup termasuk dalam bagian pidana pokok berupa pidana penjara
[12] dalam pasal 12 ayat 2, 3, dan 4 KUHP menjelaskan dengan detil
tentang pengaturan pidana penjara selama waktu tertentu di mana waktu tertentu
paling pendek adalah 1 hari dan paling lama 15 tahun berturut-turut, selain itu pidana
penjara selama waktu tertentu juga boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun
berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara
pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu,
begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan
(concursus), pengulangan (residive) atau karena yang ditentukan
dalam pasal 52 dan 52a, lebih lanjut ditegaskan pula bahwa pidana penjara
selama waktu tertentu tidak diperbolehkan lebih dari 20 tahun.
[13] Grasi adalah hak presiden sebagai kepala Negara untuk memberikan
ampun kepada
seseorang tertentu yang telah dijatuhi hukuman
oleh pengadilan. Bachsan Mustafa, sistem
hukum Indonesia (Bandung: Remaja Karya. 1985) hal 4.
[14] Indonesia, Undang-undang tentang Grasi, UU No. 22, LN. No. 108
tahun 2008
[15] Tongat, Op. Cit., hal 86.
[16] Tongat, Op. Cit., hal 88
[17] Barda Nawawi Arief, Bunga
Rampai Pengaturan Hukum Pidana. Bandung: FT Citra Aditya Bakti, 2005. hal
200
[18] OP. Cit., hal 150
[19] Penulis mensarankan 20 tahun bukan 10 tahun sebagaimana diatur
dalam pasal 63 ayat 5 RUU KUHP karena menurut penulis jangka waktu 10 tahun
tersebut terlalu singkat dan kurang memberikan efek jera dan pencegahan kepada
terpidana dan masyarakat, meskipun ukuran efektivitas menurut jangka waktu
tersebut sifanya sangat subjektif, akan tetapi mengingat sangat tercelanya
tindak pidana yang dilakukan maka 20 tahun adalah ukuran waktu yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar