TUGAS
SEJARAH HUKUM
SEJARAH HUKUM
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
A.
Umum
Sejarah Undang-undang Nomor 02 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia .
Rumusan Masalah adalah
sebagai berikut Jaman
Hindia Belanda Kedudukan, tugas, fungsi, organisasi,
hubungan dan tata cara kerja kepolisian pada zaman Hindia Belanda tentu
diabdikan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Sampai jatuhnya Hindia
Belanda, kepolisian tidak pernah sepenuhnya di bawah Departemen Dalam Negeri.
Di Departemen Dalam Negeri memang berkantor “Hoofd van de Dienst der Algemene
Politie” yang hanya bertugas di bidang administrasi/pembinaan, seperti
kepegawaian, pendidikan SPN (Sekolah Polisi Negeri di Sukabumi), dan
perlengkapan kepolisian.
Wewenang operasional
kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts
politie dipertanggungjawabkan
pada procureur generaal (jaksa agung). Pada masa Hindia
Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld
politie (polisi lapangan) , stands politie (polisi kota), cultur
politie (polisi
pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.
Sejalan dengan administrasi
negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa
Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hood
agent(bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie.
Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri
polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Demikian pula dalam praktek
peradilan pidana terdapat perbedaan kandgerechtdan raad
van justitie.
1.
Zaman Pendudukan Jepang
Pada
masa pendudukan Jepang 1942-1945, pemerintahan kepolisan Jepang membagi
Indonesia dalam dua lingkungan kekuasaan, yaitu:
1. Sumatera, Jawa, dan Madura dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang.
2. Indonesia bagian timur dan Kalimantan dikuasai Angkatan Laut Jepang.
1. Sumatera, Jawa, dan Madura dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang.
2. Indonesia bagian timur dan Kalimantan dikuasai Angkatan Laut Jepang.
Dalam
masa ini banyak anggota kepolisian Bangsa Indonesia menggantikan kedudukan dan
kepangkatan bagi bangsa Belanda sebelumnya. Pusat kepolisian di Jakarta
dinamakan keisatsu bu dan kepalanya disebut keisatsu elucho. Kepolisian untuk
Jawa dan Madura juga berkedudukan di Jakarta, untuk Sumatera berkedudukan di
Bukittinggi, Indonesia bagian timur berkedudukan di Makassar, dan Kalimantan
berkedudukan di Banjarmasin.
Tiap-tiap
kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian
bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut
sidookaan yang dalam praktek lebih berkuasa dari kepala polisi.
Beda
dengan zaman Hindia Belanda yang menganut HIR, pada akhir masa pendudukan
Jepang yang berwenang menyidik hanya polisi dan polisi juga memimpin organisasi
yang disebut keibodan (semacam hansip).
2.
Zaman Revolusi Fisik
Tidak
lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer
Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk
waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang
merdeka.
Inspektur
Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya,
pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan kedudukan polisi sebagai Polisi
Republik Indonesia menyusul dibentuknya Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Pada 29
September 1945 Presiden RI melantik Kepala Kepolisian RI (Kapolri) pertama
Jenderal Polisi R.S. Soekanto. Adapun ikrar Polisi Istimewa tersebutberbunyi:
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menyatakan Poelisi Istimewa sebagai Poelisi Repoeblik Indonesia.”
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menyatakan Poelisi Istimewa sebagai Poelisi Repoeblik Indonesia.”
3.
Kepolisian Pasca Proklamasi
Setelah
proklamasi, tentunya tidak mungkin mengganti peraturan perundang-undangan,
karena masih diberlakukan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda, termasuk
mengenai kepolisian, seperti tercantum dalam peraturan peralihan UUD 1945.
Tanggal
1 Juli 1946 dengan Ketetapan Pemerintah No. 11/SD/1946 dibentuk Djawatan
Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri. Semua
fungsi kepolisian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Negara yang memimpin
kepolisian di seluruh tanah air. Dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional
Indonesia yang sampai hari ini diperingati sebagai Hari Bhayangkara.
Hal
yang menarik, saat pembentukan Kepolisian Negara tahun 1946 adalah jumlah
anggota Polri sudah mencapai 31.620 personel, sedang jumlah penduduk saat itu
belum mencapai 60 juta jiwa. Dengan demikian “police population ratio” waktu
itu sudah 1:500. (Pada 2001, dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, jumlah
polisi hanya 170 ribu personel, atau 1:1.300)
Sebagai
bangsa dan negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di
samping bertugas sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah
RI. Polri menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi
Jenewa. Polisi Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus
untuk perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di
Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI
di Madiun, dan lain-lain.
Pada
masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap
Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh
presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana
menteri.
Pada
masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata
organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI
(PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera
Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 148).
4.
Zaman RIS (Republik Indonesia
Serikat)
Hasil
Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia
Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian
Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI
berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan
Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam
kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan
perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan,
dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.
Umur
RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17
Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150,
organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan
Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian
negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat
kepolisian maupun administratif, organisatoris.
5.
Zaman Demokrasi Parlementer
Dengan
dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950
yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S.
Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.
Waktu
kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas
kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam
Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo
3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan
Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai
sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
Sampai
periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang
memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir
dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam
Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk
organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut
dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini
memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang
memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai
negeri berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan
perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana
gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya
(mengacu standar PBB).
Dalam
periode demokrasi parlementer ini perdana menteri dan kabinet berganti
rata-rata kurang satu tahun. Polri yang otonom di bawah perdana menteri
membenahi organisasi dan administrasi serta membangun laboratorium forensik,
membangun Polisi Perairan (memiliki kapal polisi berukuran 500 ton) dan juga
membangun Polisi Udara serta mengirim ratusan perwira Polri belajar ke luar
negeri, terutama ke Amerika Serikat.
6.
Zaman Demkrasi Terpimpin
Dengan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali
ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD
1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri
Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya
Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara
diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada
tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai
Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959
dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala
Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin
Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu
Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan
Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan
alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959
R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda
Kepolisian, sehingga berakhirlah karir Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29
September 1945 hingga 15 Desember 1959.
Dengan
Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan
Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda
Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama
Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal
19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini
dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat
dengan TNI AD, AL, dan AU.
Dengan
Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL,
Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh
Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962
menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan Menkasak
diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan
langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara.
Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri
ditentukan sebagai berikut:
a. Alat Negara Penegak Hukum.
b. Koordinator Polsus.
c. Ikut serta dalam pertahanan.
d. Pembinaan Kamtibmas.
e. Kekaryaan.
f. Sebagai alat revolusi.
a. Alat Negara Penegak Hukum.
b. Koordinator Polsus.
c. Ikut serta dalam pertahanan.
d. Pembinaan Kamtibmas.
e. Kekaryaan.
f. Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan
Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi
Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara di tahun
1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden
Soekarno, dan PKI mulai menyusupi mempengaruhi sebagian anggota ABRI dari
keempat angkatan.
7.
Zaman Orde Baru
Karena
pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya
integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun
1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan
Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bindang Pertahanan dan Keamanan yang
menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD,
AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada
Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah
Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab
berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya
integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara
universal memang bukan angkatan perang.
Pada
tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian
diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI,
namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini
diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.
Pada
HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi
Kepala Staf Angkatan. Pada kesempatan tersebut anggota AL danAU memakai tanda
TNI di kerah leher, sedangkan Polri memakai tanda Pol. Maksudnya untuk
menegaskan perbedaan antara Angkatan Perang dan Polisi.
I.Zaman Reformasi
Adanya Ketetapan MPR No.
X/MPR/1998 tentang Reformasi telah melahirkan Inpres No. 2/1999 tanggal 1 April
1999 dalam era Presiden BJ Habibie yang memisahkan Polri dan TNI karena
dirasakan memang terdapat perbedaan fungsi dan cara kerja dihadapkan dengan civil
society. Untuk sementara, waktu itu, Polri masih diletakkan di
bawah Menteri Pertahanan Keamanan. Akan tetapi, karena pada waktu itu Menteri
dan Panglima TNI dijabat orang yang sama (Jenderal TNI Wiranto), maka praktis
pemisahan tidak berjalan efektif.
Sementara
peluang yang lain adalah Ketetapan MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang
menetapkan secara nyata adanya pemisahan Polri dan TNI, yang selanjutnya
diikuti pula oleh Ketetapan MPR No. VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri
secara tegas.
Sementara
itu, sebelum ketetapan-ketetapan tersebut di atas digulirkan, pada HUT
Bhayangkara 1 Juli 2000 dikeluarkan Keppres No. 89/2000 yang melepaskan Polri
dari Dephan dan menetapkan langsung Polri di bawah presiden.
Kendati
Keppres ini sering disoroti sebagai bahaya karena Kepolisian akan digunakan
sewenang-wenang oleh presiden, namun sesungguhnya ia masih bisa dikontrol oleh
DPR dan LKN (Lembaga Kepolisian Nasional) yang merupakan lembaga independen.
Adapun
tantangan yang dihadapi Polri dewasa ini dan ke depan, terutama adalah
perubahan paradigma pemolisian yang sesuai dengan paradigma baru penegakan
hukum yang lebih persuasif di negara demokratis, di mana hukum dan polisi
tidaklah tampil dengan mengumbar ancaman-ancaman hukum yang represif dan kadang
kala menjebak rakyat, melainkan tampil lebih simpatik, ramah, dan familier.
Memberi
peluang tumbuhnya dinamika masyarakat dalam menyelesaikan konfliknya sampai
pada taraf tertentu. Memberi peluang berfungsi dan kuatnya pranata-pranata
sosial dalam masyarakat seperti adanya perasaan malu, perasaan bersalah, dan
perasaan takut bila ia melakukan penyimpangan, sehingga mendorong warga patuh
pada hukum secara alamiah.
Sumber:
Pada tanggal 10 November 1998, diprakarsai oleh para mahasiswa
yang tergabung dalam Forum Komunikasi
Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), ITB
Bandung, Universitas Siliwangi, dan empat tokoh reformasi yaitu Abdurrahman
Wahid, Amien
Rais, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Megawati Soekarnoputri mengadakan dialog nasional di rumah kediaman Abdurrahman
Wahid, Ciganjur,Jakarta
Selatan. Dialog itu menghasilkan 8 butir kesepakatan,
yaitu sebagai berikut:
1.
Mengupayakan terciptanya persatuan dan kesatuan nasional.
2.
Menegakkan kembali kedaulatan rakyat.
3.
Melaksanakan desentralisasi pemerintahan sesuai dengan otonomi
daerah.
4.
Melaksanakan pemilu yang luber dan jurdil guna mengakhiri masa
pemerintahan transisi.
5.
Penghapusan Dwifungsi ABRI secara bertahap
6.
Mengusut pelaku KKN dengan diawali pengusutan KKN yang dilakukan
oleh Soeharto dan kroninya.
7.
Mendesak seluruh anggota Pam Swakarsa untuk membubarkan diri.
embaga hn hukum yaitu keadilan dan
kesejahteraan masyarakat.
Mesla aparat penegak hukum (Struktur
Hukum) tidak baik, maka rasa keadilan d B. Perumusan Masalah.
1.
Mengapa
Kepolisian Negara Republik Indonesia dibentuk?
2.
Bagaimana
lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia dimasa yang akan datang?
alam masyarakat akan terancam. Akan
tetapi bila substansi hukumnya tidak
baik atauAmandemen ketiga menentukan bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum. Sebagai negara hukum sudah serta pemerintahan berdasarkan atas hukum.
Hukum dijadikan panglima dalam penyelenggaraan negara.
Guna melaksanakan amanat konstitusi
tersebut diperlukan penegak hukum untuk menjamin terlaksananya negara hukum di
Indonesia. Penegak hukum yang termasuk dalam struktur hukum yakni, pengadilan,
kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian sebagai salah satu lembaga pemerintahan
yang memegang peranan penting dalam negara yang berdasarkan atas hukum.
Kedudukan lembaga kepolisian dalam suatu organisasi negara berpengaruh terhn
serta kinerja lembaga kepolisian.
Sejarah Kepolisian Negara Republik
Indonesia dimulai sejak kemerdekaan Indonengga masa reformasi. Dalam
perkembangannya telah mengalami beberapa kali perubahan kedudukan kepolisian
dalam ketatanegaraan yang membawa dampak dan pengaruh yang signifikan terhadap
tugas dan tanggungjawab sebagai lembaga dalam organisasi negara. Perubahan
keduduka
n tersebut menyesuaikan terhadap
konstitusi yang berlaku di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
A. Latar Belakang Pembentukan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Montesquieu membagi kekuasaan dalam
tiga bidang yakni eksekutif, yudikatif dan legislatif yang selanjutnya dikenal dengan Trias
Politika. Indonesia berdasarkan UUD 1945 tidak menganut paham Trias Politika.
Meski demikian pelembagaan berbagai kekuasaan negara menunjukkan dengan tegas
bahwa para perumus UUD 1945 sangat dipengaruhi oleh ajaran Trias Politika.[2] Pelembagaan
berbagai kekuasaan negara dalam UUD 1945 tidak dipisahkan secara tegas yang
akan menimbulkanchecking power with power.
Namun demikian masing-masing lembaga
pemegang kekuasaan tetap ada keterkaitan dan koordinasi (checks
and balances).
Kepolisian sebagai bagian dari
lembaga eksekutif memiliki hubungan dengan lembaga-lembaga lain yang berkaitan
dengan tugas dan wewenang baik vertikal maupun horizontal. Philipus M. Hadjon
merumuskan bahwa hubungan institusi ditingkat pemerintahan secara vertikal
dalam bentuk pengawasan, kontrol dan sebagainya, sedangkan hubungan horizontal
meliputi perjanjian kerjasama diantara para pejabat yang berada pada tingkat
yang sama.[3] Hubungan
vertikal (pengawasan) dilaksanakan oleh badan-badan pemerintah yang bertingkat
lebih tinggi terhadap yang lebih rendah, sedangkan hubungan horizontal
(kerjasama) adalah mengadakan perjanjian kerjasama dengan lembaga-lembaga lain.[4]
Eksistensi kepolisian di Indonesia
walaupun kepolisian peninggalan penjajah, namun secara teoritis bermula dari
kebutuhan dan keinginan masyarakat untuk menciptakan situasi dan kondisi aman,
tertib, tentram dan damai dalam kehidupan sehari-harinya, namun kemudian
berkembang sejalan dengan perkembangan dan perubahan kondisi negara, dimana
kepolisian menjadi kebutuhan negara sebagai alat negara untuk menghadapi masyarakat,
disinilah terjadi pergeseran fungsi kepolisian dari keinginan masyarakat
menjadi suatu keinginan negara, sehingga terkonsep kepolisian berada pada pihak
negara.[5]
Sebagai landasan filosofis dan arah
dalam penyelenggaraan kepolisian yakni Pancasila dan tujuan negara sebagaimana
tersirat dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 yang menghendaki
penyelenggaraan kepolisian di Indonesia tidak bertentangan dengan cita hukum
yang ada dalam negara hukum.
Dilihat dari sejarah perkembangan
Kepolisian Negara Republik Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan negara
Republik Indonesia sampai pada masa reformasi, terdapat keterkaitan antara
sejarah perkembangan kepolisian dengan pergantian dan perubahan (amandemen) UUD
1945. Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di negara Indonesia menurut waktu
berlakunya, adalah: UUD 1945 yang berlaku sejak bulan Agustus 1945 sampai
dengan bulan Desember 1949, Konstitusi RIS 1949 berlaku bulan Desember 1949
sampai dengan bulan Agustus 1950, UUDS 1950 berlaku bulan Agustus 1950 sampai
dengan bulan Juli 1959, kembali ke UUD 1945 (dengan Dekrit Presiden 5 Juli
1959) dan Amandemen UUD 1945 berlaku sejak 19 Oktober 1999 sampai sekarang.[6]
Disamping adanya pergantian dan
perubahan (amandemen) UUD 1945 yang mempengaruhi eksistensi kepolisian,
terdapat juga tiga peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku dan berpengaruh
terhadap kedudukan, fungsi dan peranan kepolisian yang secara teknis juga
mengatur tugas dan wewenang kepolisian, antara lain UU No. 13 Tahun 1961
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
berlaku sejak tanggal 30 Juni 1961 sampai dengan tanggal 7 Oktober 1997, UU No.
28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berlaku
sejak tanggal 7 Oktober 1997 sampai dengan tanggal 8 Januari 2002 dan UU
No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berlaku
sejak tanggal 8 Januari 2002 sampai dengan sekarang.[7]
1.
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
Kedudukan dan eksistensi kepolisian
tidak diatur secara jelas dan tegas dalam UUD 1945 yang berlaku sejak bulan
Agustus 1945 sampai dengan bulan Desember 1949. Namun didalam alenia keempat
UUD 1945 terkonsep adanya tujuan dan cita-cita negara, yakni untuk membentuk
suatu negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh umpah darah
Indonesia, yang mengandung makna bahwa untuk memberikan rasa aman, rasa tentram
dan damai kepada seluruh warga negara, menjaga warga negara dari segala macam
ancaman baik luar maupun dalam negeri serta menjaga kelestarian bangsa yang
secara teoritis menjadi tugas negara.
Konsep tersebut hanya dapat
dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga penyelenggara
negara yang dirumuskan dalam UUD 1945. Khusus untuk tugas dan wewenang
melindungi, mengayomi, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat didelegasikan
kepada lembaga kepolisian.
Menurut UUD 1945 struktur
ketatanegaraan lembaga kepolisian berada dalam Departemen Pemerintahan yang
dipimpin oleh Presiden selaku kepala eksekutif, namun tugas dan wewenangnya
sehari-hari dilaksanakan oleh Kepala Kepolisian Negara yang diangkat oleh
Presiden. Kekuasaan kepolisian masuk pada kekuasaan pemerintahan negara yang
dipimpin oleh Presiden selaku kepala kekuasaan eksekutif dalam negara yang bertanggungjawab
terhadap keamanan dan ketertiban bangsa atau warga masyarakat. Untuk
melaksanakan tujuan tersebut maka tugas dan wewenang didelegasikan kepada
kepolisian.
Tugas dan wewenang kepolisian
diatur dengan undang-undang maupun Peraturan Pemerintah yang ditetapkan oleh
Presiden selaku Kepala Pemerintahan berdasarkan kewenangan yang diatur dalam
Pasal 5 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Atas dasar kewenangan tersebut, Presiden
mengeluarkan Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tanggal 1 Juli 1946 yang
menetapkan bahwa kepolisian beralih status menjadi jawatan tersendiri langsung
dibawah Perdana Menteri setingkat dengan Departemen dan kedudukan Kepala
Kepolisian Negara (KKN) setingkat dengan Menteri.
2. Konstitusi Republik Indonesia
Serikat 1949 ( Konstitusi RIS 1949)
Konstitusi Republik Indonesia
Serikat 1949 berlaku sejak bulan Desember 1949 sampai dengan bulan Agustus
1950. Sebagai konsekwensi dari berlakunya Konstitusi RIS 1949, terdapat dua
status kepolisian yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kepolisian
Federal. Segala urusan kepolisian daerah federal secara administratif berada
dibawah Menteri Dalam Negeri RIS yang selanjutnya diambil alih oleh Kepolisian
RIS.
Pada masa ini terdapat peraturan
yang dibuat untuk memecahkan problem pembatasan tugas dan kerjasama antara
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Kepolisian Federal, yaitu Ketetapan
Perdana Menteri RIS No. 1 Tahun 1950 tentang pembentukan Komisi Kepolisian yang
bertugas menyusun suatu Rancangan Undang-undang Kepolisian yang mengatur
organisasi, tugas dan kewajibannya serta hubungan antara Jawatan Kepolisian RIS
dengan negara-negara bagian sesuai dengan Konstitusi RIS 1949.
Eksistensi lembaga kepolisian tidak
diatur secara jelas dan tegas dalam Konstitusi RIS. Penyelenggaraan kepolisian
sebagai salah satu komponen penyelenggara Pemerintahan menjadi tanggungjawab
sepenuhnya dari negara-negara bagian. Masing-masing negara bagian memiliki
aparatur kepolisian sendiri yang merupakan aparat kepolisian RIS. Segala
sesuatu yang berkaitan dengan tugas-tugas kepolisian disampaikan kepada Jawatan
Kepolisian Negara Indonesia berpusat di Jakarta yang berkantor pada Kementrian
Dalam Negeri. Sehingga dilihat dari struktur ketatanegaraan menurut Konstitusi
RIS 1949, kepolisian merupakan suatu lembaga yang diselenggarakan secara
desentralistik.[8]
Terdapat perbedaan yang mendasar
dalam penyelenggaraan administrasi kepolisian antara Negara Bagian dan Negara
Republik Indonesia, untuk Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera
Timur tugas dan wewenang kepolisian berada dibawah Menteri Dalam Negeri dan
Jaksa Agung mempertanggungjawabkan urusan kepolisian kepada Menteri Dalam
Negeri, sedang untuk Negara Republik Indonesia tugas dan wewenang kepolisian
seluruhnya berada dibawah Perdana Menteri. Sehingga administrasi kepolisian
tidak terdapat kesesuaian antara sistem federal dengan Negara Republik
Indonesia.[9]
3.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950)
Undang-Undang Dasar Sementara 1950
berlaku sejak bulan Agustus 1950 sampai dengan bulan Juli 1959. Perubahan yang
mendasar dari perubahan Konstitusi RIS ke UUDS 1950, yakni berubahnya bentuk
negara federal menjadi negara kesatuan dan tidak mengenal lagi adanya
negara-negara bagian. Akibat dari perubahan tersebut eksistensi kepolisian yang
ada di negara-negara bagian digabungkan menjadi satu sebagai suatu kesatuan
yang besar dalam institusi kepolisian negara.[10]
Dalam Batang Tubuh UUDS 1950 memuat
secara jelas eksistensi kepolisian, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 130
yakni “Untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum diadakan suatu alat
kekuasaan kepolisian yang diatur dengan undang-undang”. Sedangkan pemisahan
antara kekuasaan kepolisian dengan kekuasaan sipil maupun kekuasaan ketentaraan
dapat dilihat dalam Pasal 129 UUDS 1950 yang menyatakan apabila negara dalam
keadaan bahaya kekuasaan alat-alat perlengkapan kuasa sipil dan polisi
seluruhnya atau sebagian beralih kepada kuasa Angkatan Perang.
Sebagai tindak lanjut dari Pasal
130 UUDS 1950 maka pada tanggal 27 Januari 1950 Perdana Menteri RI mengeluarkan
Penetapan No. 3/PM yang isinya pimpinan kepolisian diserahkan kepada Menteri
Pertahanan dengan maksud memusatkan pimpinan kepolisian dan tentara dalam satu
tangan, sehingga dapat mempelancar tindakan pemerintah dalam penyelenggaraan
ketentraman dan keamanan umum. Penetapan No. 3/PM pada bulan September 1950
dicabut.
Berdasarkan pasal peralihan UUDS
1950, status kepolisian kembali pada Peraturan Pemerintah No. 11/SD Tahun 1946
yaitu kepolisian beralih status menjadi jawatan tersendiri langsung dibawah
Perdana Menteri setingkat dengan Departemen dan kedudukan Kepala Kepolisian
Negara (KKN) setingkat dengan Menteri. Akan tetapi berkaitan dengan struktur
kepolisian mengalami kesulitan karena dari masing-masing negara federasi
mempunyai kepolisian negara bagian yang berbeda-beda statusnya dan harus
menjadi satu kesatuan kepolisian nasional. Pada saat berlakunya Konstitusi RIS
kepolisian nasional dilebur menjadi Kepolisian Republik Indonesia Serikat.
Meski lembaga kepolisian telah
kembali bertanggungjawab kepada Perdana Menteri dan semua anggota polisi
berstatus Pegawai Negeri Sipil, akan tetapi kedudukan kepolisian negara masih
terikat dengan Keppres RIS No. 22 Tahun 1950 tanggal 16 Januari 1950 yang
menempatkan Kepolisian Negara dalam kebijaksanaan polisionil dipimpin oleh
Perdana Menteri dengan perantara Jaksa Agung. Pemeliharaan dan administrasi
Kepolisian Negara dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri yang bertanggungjawab
kepada DPRS.[11] Sehingga
pada tanggal 7 Juni 1950 dikeluarkan Keppres RIS No. 150 Tahun 1950 yang
mengatur dan menempatkan organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan
dalam Jawatan Kepolisian Indonesia, yang ditindaklanjuti dengan Ketetapan
Perdana Menteri No. 6/PM/1950 tanggal 3 Oktober 1950 dimana kebijaksanaan
politik polisionil diserahkan kepada Wakil Perdana Menteri, sehingga
tanggungjawab organisasi kepolisian tetap pada wewenang Perdana Menteri yang
bertanggungjawab kepada DPRS.[12]
Pada tanggal 13 Maret 1951 Menteri
Dalam Negeri mengeluarkan SK No. 4/2/28/Um yang memuat tentang Susunan bagian
dari kantor Jawatan Kepolisian Negara, yang merupakan suatu organisasi besar
dan hanya ada satu jawatan Kepolisian.
Mengenai kedudukan jawatan
kepolisian ditentukan dalam sidang kabinet tanggal 2 Nopember 1951 yang
memutuskan bahwa Jawatan Kepolisian Negara seluruhnya berada dibawah pimpinan
Perdana Menteri yang pelaksanaanya dimulai pada awal tahun 1952. Hingga
keluarnya UU Kepolisian yang akan mengatur secara tetap kewajiban dan kekuasaan
kepolisian baik secara represif maupun preventif, maka Jawatan Kepolisian
Negara tetap menjalankan fungsinya sebagai pembantu Perdana Menteri Urusan
Keamanan Umum.[13]
Disamping itu masih terdapat dua
peraturan pada masa berlakunya UUDS 1950 yang mempengaruhi perkembangan
kepolisian, yaitu Keppres RI No. 75 Tahun 1954 tanggal 31 Maret 1954 tentang
Pembentukan Panitia Negara Perancang Undang-undang Kepolisian yang bertugas
mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang status kepolisian, serta hal-hal
yang berhubungan dengan pembentukan undang-undang kepolisian ataupun status
kepolisian, serta PP No. 51 Tahun 1958 tentang Penyesuaian susunan Kepolisian
Negara.[14]
4. Undang-Undang Dasar 1945 setelah
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dengan berlakunya kembali UUD 1945
melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka eksistensi kepolisian tidak lagi
dirumuskan secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang Dasar. Hal tersebut
menimbulkan dampak yuridis, yaitu tidak diaturnya kekuasaan kepolisian dalam
UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 130 UUDS 1950. Eksistensi Kepolisian
yang tidak diatur dalam UUD 1945 menyebabkan pengaturan mengenai eksistensi
kepolisian tersebar baik dalam bentuk Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden maupun Keputusan Menteri.
Kedudukan kepolisian dalam
ketatanegaran pada masa berlakunya kembali UUD 1945 berubah, yakni berdasarkan
Ketetapan MPRS No. II/1960 Pasal 54 ayat c alenia terakhir menyatakan, bahwa
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terdiri atas Angkatan Perang Republik
Indonesia dan Polisi. Sehingga dengan adanya Ketetapan MPRS ini maka dimulai
babak baru integrasi ABRI yang menempatkan Polisi sebagai bagian dari ABRI
dengan mengemban matra keamanan dan ketertiban masyarakat.
Ketetapan MPRS tersebut dipertegas
dalam Undang-undang No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kepolisian Negara yang diundangkan pada tanggal 30 Juni 1961, Lembaran Negara
RI Tahun 1961 No. 245, yang menyatakan bahwa Departemen Kepolisian
menyelenggarakan tugas Polri; kepolisian negara adalah Angkatan Bersenjata.
Kedudukan kepolisian negara sama dan sederajat dengan Angkatan Darat, Angkatan
Laut dan Angkatan Udara.
Kedudukan kepolisian sebagai
Angkatan Bersenjata dipertegas kembali dalam Keputusan Presiden No. 290 Tahun
1964 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1969 dan
dipertegas lagi dengan Keputusan Presiden No. 79 Tahun 1969 dan Keputusan
Presiden No. 80 Tahun 1969 yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan
merupakan bagian organik dari Departemen Pertahanan Keamanan.
Undang-undang No. 13 Tahun 1961
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara merupakan UU yang pertama
kali mengatur secara rinci tentang tugas dan wewenang kepolisian. Lahirnya
Undang-undang No. 13 Tahun 1961 merupakan tindak lanjut dari Keputusan Presiden
No. 75 Tahun 1954 tanggal 31 Maret 1954 tentang Pembentukan Panitia Negara
Perancang Undang-undang Kepolisian.
Didalam Undang-undang No. 13 Tahun
1961 menetapkan bahwa kepolisian negara memiliki tugas pokok atau tugas utama
dan tugas utama. Tugas pokok yakni menjaga dan memelihara keamanan dalam negeri
terhadap ancaman yang datangnya dari dalam, dengan melalui penegakkan hukum,
sedangkan tugas tambahan sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata yang
sewaktu-waktu ikut berperang bersama-sama Angkatan Bersenjata yang lain
(Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara). Penyusunan Undang-undang
No. 13 Tahun 1961 dipengaruhi oleh kondisi negara sedang menyelesaikan revolusi
dan kepolisian sebagai salah satu alat revolusi. Sejarah ini yang kemudian
dijadikan pertimbangan dilakukannya integrasi antara Angkatan Bersenjata (TNI)
dengan Polisi.[15]
Tugas Tambahan diatur secara
tersendiri dalam peraturan negara yang realisasinya tetap berpegang pada
Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Pemerintahan dan Keamanan/Pertahanan.
Eksistensi fungsi Pertahanan dan Keamanan dimaksud adalah sebagai fungsi
integral, artinya tugas-tugas yang dilaksanakan oleh Polri bersama-sama dan
terpadu dengan tugas Angkatan Bersenjata.[16]
Wewenang kepolisian berdasarkan
Undang-undang No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian
Negara, meliputi wewenang malakukan tindakan dan wilayah melakukan tindakan.
Wewenang melakukan tindakan dirumuskan dalam Pasal 12 dan Pasal 13 yakni
wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara pidana. Wewenang
yang menyangkut wilayah tindakan yaitu dalam menjalankan tugas dan wewenang
tersebut diseluruh wilayah Republik Indonesia atau wilayah dimana ditempatkan.[17]
Wewenang yang melekat tersebut
harus sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan atau
peraturan lainnya yang sebelum lahirnya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana tunduk pada H.I.R (Herziene
Inlandsch Reglement) atau R.I.B (Reglement Indonesia Baru).
Undang-undang No. 13 Tahun 1961
secara teknis dan komando, tugas dan wewenang dipimpin oleh Kepala Kepolisian
Negara yang dalam penyelenggaraan tugasnya baik pencegahan (preventif)
maupun pemberantasan (represif) dipimpin dan
diawasi oleh Menteri yang selanjutnya dipertanggungjawabkan kepada Presiden.
Undang-undang No. 13 Tahun 1961
digantikan dengan Undang-undang No. 28 Tahun 1997 tentang Polri. Materi dari
undang-undang ini mengatur lebih luas tentang tugas dan wewenang kepolisian
terutama tugas dan wewenangnya sebagai penegak hukum, pengayom, pelindung dan
pelayan masyarakat. Kedudukan, peranan dan fungsi kepolisian sebagai unsur
Angkatan Bersenjata secara praktis berpengaruh terhadap teknis dan komando
serta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan wewenangnya sehari-hari, karena
adanya pertanggungjawaban yang ganda seperti, Kepala Kepolisian Republik
Indonesia (Kapolri) dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus
bertanggungjawab kepada Presiden, Menteri Pertahanan Keamanan (Menhankam) dan
Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab). Sehingga untuk memudahkan pengawasan dan
pengendalian tugas digunakan jalur komando yang lazim diterapkan dan menjadi
kebijaksanaan dalam lingkungan TNI (militer).
Sebagai bagian dari unsur Angkatan
Bersenjata maka anggota Polri tunduk pada Undang-undang No. 26 Tahun 1997
tentang Disiplin Militer dan Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer. Setiap pelanggaran disiplin maupun perbuatan pidana yang dilakukan
oleh anggota Polri masuk pada kategori pelanggaran disiplin militer atau pidana
militer yang proses peradilannya pada Makamah Militer.
Tunduknya Polri pada undang-undang
yang berlaku dilingkungan Angkatan Bersenjata, dapat memberikan peluang bagi
lembaga lain untuk mencampuri dan atau mempengaruhi tugas-tugas kepolisian yang
sering menimbulkan benturan. Sehingga kepolisian tidak independen dan bebas
dari intervensi pihak-pihak diluar lembaga kepolisian.
5.
Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
telah berdampak besar bagi perkembangan eksistensi kepolisian dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Eksistensi kepolisian selama era orde baru
mengalami keterpurukan yang menyebabkan tidak independen dan penuh intervensi
dari lembaga yang terintegrasi dalam tubuh Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI). Adanya kerancuan dalam penempatan dan pembagian wewenang yang
menjadi kekuasaan dan tanggungjawab Polri, sehingga dalam menjalankan tugas dan
tanggungjawabnya tidak maksimal.
Adanya peristiwa reformasi pada
tahun 1998 yang menghendaki perubahan disegala bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara termasuk juga dibidang hukum merupakan langkah awal bagi perkembangan
Polri. Melalui Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1999, Polri dipisahkan dari
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Sebagai tindaklanjut dari Instruksi
Presiden dikeluarkan Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan
Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia
(TNI) dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Pemisahan Polri dengan TNI dan
rumusan peran Polri tersebut menjadi konsep dasar kekuasaan Polri dalam arti
tugas, fungsi, wewenang dan tanggungjawab Polri dalam organisasi negara.
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjalankan kekuasaannya terutama
sebagai alat penegak hukum, penjaga dan pemelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, pengayom, pelindung dan pelayan kepada masyarakat secara
kelembagaan dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri)
yang diangkat oleh Presiden atas saran Komisi Kepolisian Nasional dan setelah
mendapat persetujuan DPR. Kekuasaan Polri dijalankan dibawah Presiden
mengandung konsekwensi logis, bahwa Polri didalam menjalankan kekuasaannya
bertanggungjawab kepada Presiden, dalam arti mempertanggungjawabkan
kekuasaannya kepada Presiden.[18]
Dalam ketentuan Pasal 30 ayat 1
amandemen UUD 1945 menentukan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Inti dari
pasal tersebut menjelaskan kekuasaan kepolisian dalam ketatanegaraan di Indonesia.
Reformasi juga membawa perubahan
terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kepolisian,
diantaranya lahirnya Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang menggantikan Undang-undang No. 28 Tahun 1997 tentang
Polri. Reformasi mampu mendobrak eksistensi kepolisian yang telah
berpuluh-puluh tahun berada dalam unsur Angkatan Bersenjata dirubah sebagai
Polri yang mandiri.
Ditinjau dari sisi penegakkan
hukum, sifat universal kepolisian dan perpolisian yang tampak adalah dalam segi
kedudukan organisasi kepolisian dimana sebagian terbesar negara didunia
menempatkan organisasi kepolisian bebas dari dan tidak tunduk pada organisasi
Angkatan Bersenjata (militer).[19]
Pemisahan kepolisian dengan TNI
secara kelembagaan membawa pengaruh dan perubahan perlakuan bagi anggota
kepolisian didepan hukum, yang semula tunduk pada hukum disiplin dan hukum pidana
militer dalam lingkup kompetensi Peradilan Militer, beralih tunduk pada
Peradilan Umum. Terdapat suatu perubahan yang sangat esensial, dimana Polri
bukan lagi Militer dan berstatus sebagai sipil. Berubahnya kepolisian sebagai
sipil, maka sebagai konsekwensi logis bahwa anggota kepolisian tunduk dan
berlaku hukum sipil.
B. Lembaga Kepolisian Negara Republik
Indonesia dimasa yang akan datang.
Berakhirnya era orde baru pada
tahun 1998 yang diawali dengan tuntutan reformasi disegala bidang kehidupan berbangsa
dan bernegara telah berdampak luas terhadap eksistensi lembaga kepolisian dalam
ketatanegaraan Indonesia. Salah satu tuntuan reformasi tersebut yakni
penegakkan hukum, HAM dan pemberantasan KKN. Dalam melaksanakan penegakkan
hukum, kepolisian harus mandiri, bebas dari intervensi dan bersifat independen.
Sehingga perlu adanya peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin
terlaksananya penegakkan hukum oleh kepolisian.
Munculnya Undang-undang No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menggantikan
Undang-undang No. 28 Tahun 1997 tentang Polri seakan menjawab tuntutan
reformasi. Kedudukan Polri yang berada dibawah Presiden dan proses pemilihan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang diangkat oleh
Presiden atas saran Komisi Kepolisian Nasional dan setelah mendapat persetujuan
DPR, diupayakan dapat membentuk kepolisian yang mandiri, independen dan bebas
dari intervensi.
Kepolisian baik sebagai fungsi
maupun sebagai organ berada pada domain pemerintah atau negara, berimplikasi
terhadap baik dan buruk kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap citra negara.
Indonesia sebagai salah satu negara
demokrasi yang meletakkan pemerintahan ada ditangan rakyat dan rakyat sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi atau rakyat yang berdaulat, maka dalam mewujudkan
pemerintahan yang baik (good governance) rakyat
memegang fungsi pengawasan (control) oleh karena
itu tugas-tugas kepolisian yang sangat dekat dengan rakyat dan objeknya adalah
rakyat atau masyarakat akan mudah dikontrol dan dinilai oleh masyarakat.[20] Sehingga
kontak nyata antara polisi dan masyarakat ternyata akan sangat mempengaruhi
sikap dan pandangan masyarakat terhadap polisi.[21]
Peran kepolisian dalam proses
penegakkan hukum khususnya sebagai komponen dari Sistem Peradilan Pidana sangat
strategis. Maksudnya bahwa dalam proses penegakkan hukum, kepolisian harus
dapat menjamin keamanan warga masyarakat, dapat menjamin keadilan, sehingga
tercipta peradilan yang jujur, bertanggungjawab, etis dan efisien yang tujuan
akhirnya dapat menumbuhkan keparcayaan dan respek masyarakat terhadap hukum.
Status kepolisian sebagai komponen
dari Sistem Peradilan Pidana dapat dilihat dalam KUHAP maupun dalam
Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
yaitu sebagai penyelidik dan penyidik.[22] Sebagai
penyelidik dan penyidik dalam Sistem Peradilan Pidana, kepolisian dalam
melaksanakan tugas dan wewenang dituntut harus profesional.
Kepolisian juga berperan dalam
menentukan kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal yang dimaksud adalah
kebijakan operasional dalam upaya penanggulangan kejahatan, maka Polri dan
semua aparat lainnya dalam ruang lingkup sistem peradilan pidana dapat saja
menentukan langkah-langkah kebijakan apa yang sebaiknya diambil dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya. Lain halnya apabila kebijakan
legislatif/formulatif dalam rangka menyusun perundang-undangan untuk
memberantas kejahatan/tindak pidana, maka kebijakan tersebut akan ditentukan
oleh badan legislatif. Namun demikian dalam penyusunan kebijakan legislatif,
Polri dapat saja dilibatkan.[23]Keterlibatan
Polri dalam penyusunan kebijakan legislatif hanya sebatas yang telah ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan dan penetapan atas kebijakan legislatif tetap
berada pada badan legislatif.
Fungsi pemerintahan yang diemban
oleh kepolisian berupa tindakan nyata dalam menjalankan penegakkan hukum
preventif maupun represif, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat dan tindakan mengeluarkan keputusan-keputusan yang bersifat
umum dalam rangka menjaga, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
Ketertiban masyarakat sangat diperlukan dalam negara dan sangat erat
hubungannya dengan keamanan masyarakat, maka diperlukan dan harus ada suatu
alat perlengkapan negara yang ditugaskan khusus untuk menjaga keamanan dan
ketertiban dalam negeri tersebut, yakni jawatan kepolisian.[24]
Sebagai salah satu garda terdepan
dalam penegakkan hukum di Indonesia, kepolisian selalu dihadapkan pada
permasalahan-permasalahan yang ada didalam masyarakat. Sehingga baik atau buruk
dalam mengatasi permasalahan tersebut bergantung pada profesionalisme anggota
kepolisian dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.
Momentum reformasi yang menghendaki
pemerintahan yang baik (good governance)
dimanfaatkan oleh kepolisian dalam mereformasi diri terhadap perkembangan
demokrasi dan hukum di Indonesia. Langkah yang diambil yakni dengan membentuk
kode etik kepolisian dan diberlakukan bagi setiap anggota kepolisian melalui
Surat Keputusan Kapolri No. Pol. Kep/32/VII/2003 tanggal 1 Juni 2003 tentang
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mencakup tentang
etika pengabdian, etika kelembagaan, dan etika kenegaraan. Kode etik tersebut
merupakan suatu landasan etika moral yang bersumber dan berpijak pada good governance dalam menjalankan pemerintahan.
Sehingga Kode Etik Profesi Kepolisian merupakan pengejewantahan dari good governance.[25]
Pemberlakukan Kode Etik Profesi
Kepolisian bagi setiap anggota Polri hendaknya diiringi dengan tingkat
kesadaran dan moralitas anggota Polri dalam menjalankan wewenang yang
diamanatkan oleh undang-undang. Sehingga hasil yang dicapai mencakup pemahaman
yang mendalam bagi anggota Polri tentang fungsi yang diembannya berorientasi
pada masyarakat yang dilayani.
Penyelesaian perkara berkaitan
dengan pelanggaran disiplin maupun kode etik selama ini telah menimbulkan suatu
permasalahan hukum, antara lain:[26]
1.
Keputusan
sidang disiplin maupun Komisi Kode Etik belum mengikat dan belum final, karena
keputusan akhir dalam penjatuhan hukuman pelanggaran disiplin maupun kode etik
terletak pada atasan yang berhak menghukum (Ankum), sehingga keputusan sidang
terbatas pada memberi rekomendasi kepada Ankum atas keputusan yang dijatuhkan
berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan.
2.
Dewan
Sidang Disiplin dan Komisi Kode Etik dalam kedudukannya tidak independen dan
lebih cendrung subjektif dan formalistis kerena diarahkan pada kepentingan
lembaga.
3.
Sidang
Disiplin dan Sidang Komisi Kode Etik Profesi adalah suatu proses penegakkan
hukum yang rumusannya sanksi hukumannya dapat berupa hukuman kurungan,
administrasi maupun Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari anggota
Kepolisian, sedangkan anggota sidang bukan sebagai hakim yang telah disumpah
dan pemeriksaan bukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
sehingga tanggungjawab moral bagi para anggota sidang hanya semata-mata
menjalankan tugas dan tidak menanggung risiko hukum, namun Ankum yang
bertanggungjawab secara hukum atas keputusan yang dikeluarkan.
Sidang
Disiplin dan Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian tersebut merupakan
penyelesaian secara internal kelembagaan terhadap perbuatan melanggar hukum
yang dilakukan oleh anggota Polri. Meski bagi mereka juga berlaku Peradilan
Umum mengingat status anggota Polri setelah reformasi adalah sipil.
Hubungan
antara kepolisian dengan lembaga lain dalam Sistem Peradilan Pidana (criminal
justice system) perlu juga mendapat perhatian dari semua pihak baik
unsur eksekutif maupun legislaif sebagai penentu kebijakan. Hubungan legalitas
fungsional yang sifatnya administratif yaitu hubungan yang didasarkan pada
ketentuan undang-undang yang mengatur tentang fungsi yang melekat dan diemban
oleh masing-masing lembaga yang ditujukan pada penegakkan hukum pidana. Hal ini
bertujuan agar terciptanya keselarasan dan persamaan persepsi penegakkan hukum
terhadap suatu kasus pidana. Sehingga dalam pelaksanaan tugas dan
tanggungjawabnya antara masing-masing lembaga yang termasuk dalam criminal justice system baik kepolisian, kejaksaan, advokat
dan KPK tidak terjadi benturan-benturan yang dapat melemahkan penegakkan hukum.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pokok permasalahan,
dapat penulis simpulkan bahwa:
Lembaga
kepolisian terbentuk dari adanya fungsi kepolisian yang telah ada dalam
masyarakat karena kepentingan dan kebutuhan untuk terpeliharanya dan terjaganya
rasa aman, tentram keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.
Didalam perspektif fungsi maupun lembaga kepolisian memiliki tanggungjawab
untuk melindungi rakyat dari segala bentuk ancaman kejahatan dan gangguan yang
dapat menimbulkan rasa tidak aman, tidak tertib dan tidak tentram serta
memberikan perlindungan, menjaga, menjamin dan mencegah adanya pelanggaran
terhadap hak asasi. Sehingga idealnya penyelenggaraan kepolisian tidak bertentangan
dengan fungsi kepolisian yang telah ada dan melekat pada setiap individu
manusia sebelum dibentuknya lembaga kepolisian.
Penyelenggaraan
kepolisian harus bertumpu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai
landasan hukum tidak tertulis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Untuk
mewujudkan hal tersebut, penyelengaraan kepolisian bertumpu pada konsep
kepolisian yang baik yang dijabarkan dalam rumusan standar kepolisian yang
baik. Sebagai tolok ukurnya kepolisian dalam melakukan tugas dan tanggungjawabnya
bersifat mandiri, profesional, bebas dari intervensi dan bebas dari tindakan
maladministrsi. Disamping itu juga mentalitas setiap anggota Polri dalam
menjalankan tugas dan tanggungjawab yang diberikan oleh undang-undang harus
baik, dengan pemberian sanksi yang tegas bagi anggota yang melakukan tindakan
diluar yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia
Penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor, Cetakan Kedua,
2005.
Anton Tabah, Menatap dengan Mata Hati Polisi
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991.
Barda Nawawi Arief, Masalah Pengakkan Hukum dan
Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana,
Cetakan kedua, 2008.
Dinas Sejarah Polri, Jakarta, 1980.
Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum
diIndonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999.
Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia (Introduction to the Indonesian an Administrative Law),
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Cetakan ke-empat, 1995.
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia
dan Penegakkan Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2001.
Sadjijono, Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan
Good Governance, LaksBang Yogyakarta, Yogyakarta, Cetakan kedua,
2005.
[1] Achmad
Ali, Keterpurukan
Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia,
Ciawi-Bogor, Cetakan Kedua, 2005, hal. 1.
[2] Moh.
Mahfud MD, Pergulatan
Politik dan Hukum diIndonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal.
274.
[3] Philipus
M. Hadjon dkk, Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian an Administrative
Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Cetakan ke-empat,
1995, hal. 74.
[5] Sadjijono, Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan
Good Governance, LaksBang Yogyakarta, Yogyakarta, Cetakan kedua,
2005, hal. 73.
[11] Mabes
Polri, Sejarah
Kepolisian di Indonesia, Markas Besar Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Jakarta, 1999, hal. 88, dalam buku Sadjijono, Op.Cit,
hal. 112.
[19] Romli
Atmasasmita, Reformasi
Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakkan Hukum, CV. Mandar Maju,
Bandung, 2001, hal. 191.
[21] M.
Taylor dalam Anton Tabah, Menatap
dengan Mata Hati Polisi Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1991, hlm. 42.
[22] Barda
Nawawi Arief, Masalah
Pengakkan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan,
Kencana, Cetakan kedua, 2008, hlm. 48.
[24] S.
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum
Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 13,
dalam Sadjijono, Op.Cit,
hlm. 227.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar