PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DALAM
PEMBANGUNAN DESA DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Data penduduk Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan
proporsi penduduk yang bertempat tinggal di perdesaan jika dibandingkan di
perkotaan tidak lagi berbeda jauh, yakni 113,7 juta jiwa di perdesaan dan 106,2
juta jiwa di perkotaan (BPS, 2005). Namun, perbandingan tingkat kesejahteraan
masyarakat dan tingkat pembangunan wilayah di antara keduanya menunjukkan
kawasan perdesaan masih relatif tertinggal jika dibandingkan dengan perkotaan.
Jumlah penduduk miskin di perdesaan pada tahun 2004 mencapai 24,6 juta jiwa,
jauh lebih tinggi daripada di perkotaan, yaitu 11,5 juta jiwa. Sementara itu,
jangkauan pelayanan infrastruktur di perdesaan masih jauh dari memadai.
Misalnya, baru sekitar 6,4 persen rumah tangga perdesaan yang telah dilayani
oleh infrastruktur perpipaan air minum, sedangkan di perkotaan mencapai 32
persen; sementara itu, untuk pelayanan telekomunikasi, dari total 62.806 desa
di Indonesia, sebanyak 43.000 desa masih belum memiliki fasilitas
telekomunikasi.
Data juga menunjukkan masih relatif rendahnya
produktivitas tenaga kerja di perdesaan karena aktivitas ekonomi perdesaan
masih bertumpu pada sektor pertanian (primer). Berdasarkan Susenas 2003, pangsa tenaga kerja di
perdesaan pada sektor pertanian mencapai 67,7 persen. Padahal secara nasional,
meski sektor pertanian menampung 46,3 persen dari 90,8 juta penduduk yang
bekerja, sumbangannya dalam pembentukan PDB hanya 15,0 persen. Menguatnya
desakan alih fungsi lahan dari pertanian menjadi nonpertanian, terutama di
Pulau Jawa, tidak hanya merusak sistem irigasi yang sudah terbangun, tetapi
juga semakin menurunkan produktivitas tenaga kerja di perdesaan dengan
meningkatnya rumah tangga petani gurem. Jika hal itu dibiarkan, sangat sulit
untuk menurunkan angka kemiskinan di perdesaan dan mengendalikan migrasi ke
kota-kota besar sehingga pada gilirannya akan membebani dan memperburuk
permasalahan di perkotaan. Oleh karena itu, sangat mendesak untuk dilakukannya
diversifikasi usaha ekonomi di perdesaan ke arah kegiatan nonpertanian (non-farm activities), baik berupa
industri yang mengolah produk pertanian maupun berupa jasa-jasa penunjang.
Industrialisasi perdesaan yang berbasis pertanian, tidak hanya berpotensi mengalihkan
surplus tenaga kerja di sektor pertanian primer yang kurang produktif, tetapi
juga mempertahankan nilai tambah yang dihasilkan tetap berada di perdesaan.
Namun, untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan, upaya
diversifikasi lapangan pekerjaan ini secara simultan perlu diiringi dengan
peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan,
penyediaan dukungan prasarana dan sarana sosial ekonomi yang
memadai, peningkatan kapasitas
pemerintahan dan kapasitas kelembagaan sosial ekonomi dalam pembangunan perdesaan
di tingkat lokal, dan penguatan keterkaitan kota dan desa serta sektor pertanian
dengan industri dan jasa penunjangnya.
Pembangunan
masyarakat desa pada hakekatnya bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat
secara keseluruhan agar lebih baik, lebih menyenangkan dan mengenakkan warga
masyarakat dari keadaan sebelumnya. Mencapai kesejahteraan, itulah yang menjadi
tujuannya.
Pembangunan masyarakat desa dan tujuannya selalu dikaitkan dengan masalah "kemiskinan", yang dialami oleh sebagian "masyarakat" dalam kategori "masyarakat desa", dan lebih khusus lagi "masyarakat" nelayan dan petani kecil."Hambatan dalam pelaksanaan "pembangunan masyarakat desa" di negara-negara Dunia Ketiga, antara lain adalah keadaan penduduk yang sangat "miskin", kebodohan dan pengalaman-pengalaman mereka yang serba menyusahkan dan menyedihkan di masa lampau, menyebabkan para petani dan nelayan pada umumnya dicekam rasa takut, menjadi apatis, berserah diri pada nasib (yang jelek), tidak ada keberanian untuk mencapai prestasi secara individu, tidak ada keberanian menanggung resiko untuk merubah nasib mereka yang bagaikan berada di dalam rawa-rawa yang memerlukan pertolongan dari luar untuk menariknya.
Pembangunan masyarakat desa dan tujuannya selalu dikaitkan dengan masalah "kemiskinan", yang dialami oleh sebagian "masyarakat" dalam kategori "masyarakat desa", dan lebih khusus lagi "masyarakat" nelayan dan petani kecil."Hambatan dalam pelaksanaan "pembangunan masyarakat desa" di negara-negara Dunia Ketiga, antara lain adalah keadaan penduduk yang sangat "miskin", kebodohan dan pengalaman-pengalaman mereka yang serba menyusahkan dan menyedihkan di masa lampau, menyebabkan para petani dan nelayan pada umumnya dicekam rasa takut, menjadi apatis, berserah diri pada nasib (yang jelek), tidak ada keberanian untuk mencapai prestasi secara individu, tidak ada keberanian menanggung resiko untuk merubah nasib mereka yang bagaikan berada di dalam rawa-rawa yang memerlukan pertolongan dari luar untuk menariknya.
Pembangunan pada
prinsipnya adalah suatu proses dan usaha yang dilakukan oleh suatu masyarakat
secara sistematis untuk mencapai situasi atau kondisi yang lebih baik dari saat
ini. Dilaksanakannya proses pembangunan ini tidak lain karena masyarakat merasa
tidak puas dengan keadaan saat ini yang dirasa kurang ideal. Namun demikian
perlu disadari bahwa pembangunan adalah sebuah proses evolusi, sehingga
masyarakat yang perlu melakukan secara bertahap sesuai dengan sumber daya yang
dimiliki dan masalah utama yang sedang dihadapi.
BAB II
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DALAM
PEMBANGUNAN DESA
Permasalahan yang Dihadapi
Permasalahan yang dihadapi dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat perdesaan dapat dimasukkan ke dalam beberapa
permasalahan utama sebagai berikut (1) masih kurang berkembangnya kehidupan
masyarakat perdesaan karena terbatasnya akses masyarakat perdesaan, terutama
kaum perempuan, ke sumber daya produktif, seperti lahan, permodalan,
infrastruktur, dan teknologi serta akses terhadap pelayanan publik dan pasar;
(2) masih terbatasnya pelayanan prasarana dan sarana permukiman perdesaan,
seperti air minum, sanitasi, persampahan, dan prasarana lingkungan lain; (3)
masih terbatasnya kapasitas kelembagaan pemerintahan di tingkat lokal dan
kelembagaan sosial ekonomi untuk mendukung peningkatan sumber daya pembangunan
perdesaan; dan (4) masih kurangnya keterkaitan antara kegiatan ekonomi
perkotaan dan perdesaan yang mengakibatkan makin meningkatnya kesenjangan
ekonomi dan kesenjangan pelayanan infrastruktur antarwilayah.
Dalam lingkup sektor pertanian sendiri, masih terbatas
upaya-upaya untuk beralih ke komoditas bernilai ekonomi tinggi, serta belum
dioptimalkannya pertanian lahan kering yang relatif lebih kecil kebutuhan
investasi prasarana pendukungnya. Dalam
lingkup yang lebih besar, belum mantapnya alih peran dan tanggung jawab dalam
sektor-sektor yang terkait dengan pembangunan perdesaan seiring dengan
desentralisasi mengakibatkan pembangunan prasarana perdesaan kurang mendapatkan
perhatian yang memadai. Di sisi lain, terjadinya bencana alam yang
bertubi-tubi, seperti halnya di NAD dan Nias, memiliki kontribusi yang tidak
kecil dalam memperburuk kapasitas infrastruktur perdesaan yang telah dibangun
di banyak wilayah di Indonesia.
Permasalah yang dihadapi dalam pembangunan Desa umumnya
berada pada masalah sturktural dan sosial budaya. Adapun masalah yang dihadapi
dalam upaya pembanguna di Desa yaitu :
A. Masalah Sosial
Budaya
- Rendahnya
tingkat pendidikan
Sarana
pendidikan masyarakat di desa cenderung rendah. Masyarakat di desa umumnya
hanya berpendidikan SD, SMP dan SMA. Hal ini disebabkan karena masyarakat belum
mengetahui seberapa besar pentingnya pendidikan untuk dirinya. Apabila setelah
menyelesaikan pendidikan hingga SMA atau lebih buruk hanya sampai SD saja orang
tua akan menikahkan anak-anaknya sehingga masa depan pendidikan generasi
penerus bangsa menjadi terputus dan hal ini menyebabkan mereka hanya bergelut
pada lingkar kemiskinan karena minimnya pendidikan. Rendahnya pendidikan ini
juga menjadi menjadi akar permasalahan bahwa kurangnya inisiatif masyarakat
dalam menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan mereka. Mereka hanya
memikirkan bagaimana caranya agar tetap mempertahankan hidup tanpa memikirkan
bagaimana nasib generasi penerus bangsa di masa yang akan mendatang. Karena
minimnya pendidikan masyarakat hal ini menyebabkan dari seluruh penduduk desa
hampir 95% penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu masalah
rendahnya pendidikan juga menjadikan kendala dalam penerapan inovasi yang
dilakukan oleh penyuluhan.
2. Minimnya
sarana dan prasarana di pedesaan
Salah satu penyebab daerah pedesaan
masih terisolasi atau tertinggal adalah masih minimnya prasarana dan sarana
transportasi yang membuka akses daerah pedesaan dengan daerah lainnya. Kondisi
prasarana dan sarana transportasi yang minim berkontribusi terhadap
keterbelakangan ekonomi daerah pedesaan. Secara umum, masyarakat daerah
pedesaan menghasilkan jenis produk yang relatif sama, sehingga transaksi jual
beli barang atau produk antar sesama penduduk di suatu desa relatif kecil.
Dalam kondisi prasarana dan sarana transportasi yang minim, produk yang
dihasilkan masyarakat daerah pedesaan sulit untuk diangkut dan dipasarkan ke
daerah lain. Jika dalam kondisi seperti itu, masyarakat daerah pedesaan
menghasilkan produk pertanian dan non pertanian dalam skala besar, maka produk
tersebut tidak dapat diangkut dan dipasarkan ke luar desa dan akan menumpuk di
desa. Penumpukan dalam waktu yang lama akan menimbulkan kerusakan dan kerugian.
Kondisi seperti ini sangat tidak menguntungkan bagi warga masyarakat di daerah
pedesaan. Sebaliknya, hal tersebut akan mendorong sebagian warga masyarakat di
daerah pedesaan untuk merantau atau berpindah ke daerah lain terutama daerah
perkotaan yang dianggap lebih menawarkan masa depan yang lebih baik.
3.
Terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan
Indonesia sebagai negara agraris sampai saat ini dapat
dilihat dari besarnya jumlah penduduk yang masih mengandalkan penghasilannya
serta menggantungkan harapan hidupnya pada sektor pertanian. Dominasi sektor
pertanian sebagai matapencaharian penduduk dapat terlihat nyata di daerah
pedesaan. Sampai saat ini lapangan kerja yang tersedia di daerah pedesaan masih
didominasi oleh sektor usaha bidang pertanian. Kegiatan usaha ekonomi produktif
di daerah pedesaan masih sangat terbatas ragam dan jumlahnya, yang cenderung
terpaku pada bidang pertanian (agribisnis). Aktivitas usaha dan matapencaharian
utama masyarakat di daerah pedesaan adalah usaha pengelolaan/ pemanfaatan
sumber daya alam yang secara langsung atau tidak langsung ada kaitannya dengan
pertanian. Bukan berarti bahwa lapangan kerja di luar sektor pertanian tidak
ada, akan tetapi masih sangat terbatas. Peluang usaha di sektor non-pertanian
belum mendapat sentuhan yang memadai dan belum berkembang dengan baik. Kondisi
ini mendorong sebagian penduduk di daerah pedesaan untuk mencari usaha lain di
luar desanya, sehingga mendorong mereka untuk berhijrah/migrasi dari daerah
pedesaan menuju daerah lain terutama daerah perkotaan. Daerah perkotaan
dianggap memiliki lebih banyak pilihan dan peluang untuk bekerja dan berusaha.
B. Masalah
ekonomi
Jika di daerah perkotaan geliat perekonomian begitu
fenomenal dan pantastis. Sebaliknya, hal yang berbeda terjadi di daerah
pedesaan, dimana geliat perekonomian berjalan lamban dan hampir tidak
menggairahkan. Roda perekonomian di daerah pedesaan didominasi oleh aktivitas
produksi. Aktivitas produksi yang relatif kurang beragam dan cenderung monoton
pada sektor pertanian (dalam arti luas : perkebunan, perikanan, petanian
tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, kehutanan, dan produk turunannya).
Kalaupun ada aktivitas di luar sektor pertanian jumlah dan ragamnya masih
relatif sangat terbatas.
Aktivitas perekonomian yang ditekuni masyarakat di daerah
pedesaan tersebut sangat rentan terhadap terjadinya instabilitas harga. Pada
waktu dan musim tertentu produk (terutama produk pertanian) yang berasal dari
daerah pedesaan dapat mencapai harga yang begitu tinggi dan pantastik.
Meskipun penduduk di daerah pedesaan mayoritas
bermatapencaharian sebagai petani, namun tidak semua petani di daerah pedesaan
memiliki lahan pertanian yang memadai. Banyak diantara mereka memiliki lahan
pertanian kurang dari 0,5 hektar, yang disebut dengan istilah petani gurem.
Lebih ironis lagi, sebagian dari penduduk di daerah pedesaan yang malah tidak
memiliki lahan pertanian garapan sendiri. Mereka berstatus sebagai petani
penyewa, penggarap atau sebagai buruh tani. Petani penyewa adalah para petani
yang tidak memiliki lahan pertanian garapan milik sendiri melainkan menyewa
lahan pertanian milik orang lain. Petani penggarap adalah para petani yang
tidak memiliki lahan pertanian garapan milik sendiri melainkan menggarap lahan
pertanian milik orang lain dengan sistem bagi hasil atau lainnya. Buruh tani
adalah petani yang tidak memiliki lahan pertanian garapan milik sendiri
melainkan bekerja sebagai buruh yang menggarap lahan pertanian milik orang lain
dengan memperoleh upah atas pekerjaannya.
C. Masalah
Geografis
Di Indonesia mempunyai tingkat kesuburan tanah yang berbeda
disetiap wilayah. Tingkat kesuburan tanah juga sangat berpengaruh dalam
pembangunan desa, desa yang mempunyai keadaan tanah yang subur cenderung akan
mempengaruhi hasil tani yang akan dihasilkan. Semakin baik dan banyak hasil
tani yang dihasilkan oleh desa tersebut maka akan sangat mempengaruhi dari
pendapatan masayarakat itu sendiri. Semakin besar pendapatan masyarakat maka
pertumbuhan ekonomi didesa tersebut akan semakin baik.
Letak wilayah desa juga sangat
mempengaruhi dari pembangunan desa itu sendiri. Desa yang yang letak wilayahnya
lebih strategis yang dalam hal ini dekat dengan peradaban kota akan berbeda
dengan desa yang letaknya sulit dijangkau. Desa yang letaknya sulit dijangkau
akan cenderung akan mengalami pembangunan ekonomi yang lambat. Hal ini
disebabkan karena sulitnya akses pemerintah dan dunia luar untuk menjangkaunya.
Jadi letak desa yang strategis juga sangat berpengaruh dalam pembangunan desa
itu sendiri.
Adapun Solusi dalam upaya
mengatasi permasalahan pembangunan desa di antaranya adalah :
a. Peningkatan
kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dengan memperbaiki sarana
pendidikan, mengadakan penyuluhan pendidikan terhadap masyarakat agar tercipta
generasi penerus yang memiliki pengetahuan sehingga dapat meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
b. Ketersediaan parasarana dan sarana
transportasi yang memadai akan mendukung arus orang dan barang yang keluar dan
masuk ke daerah pedesaan. Untuk mendorong peningkatan dinamika masyarakat
daerah pedesaan akan arus transportasi orang dan barang keluar dan masuk dari
dan ke daerah pedesaan, diperlukan prasarana dan sarana transportasi yang
memadai.karena Salah satu prasarana dan sarana pokok dan penting untuk membuka
isolasi daerah pedesaan dengan daerah lainnya adalah prasarana transportasi
(seperti jalan raya, jembatan, prasarana transportasi laut, danau, sungai dan
udara), dan sarana transportasi (seperti mobil, sepeda motor, kapal laut,
perahu mesin, pesawat udara dan sebagainya).
c. Peran pemerintah (pusat dan daerah) dalam
pembangunan desa ditempatkan pada posisi yang tepat. Pemerintah diharapkan
berperan dalam memberi motivasi, stimulus, fasilitasi, pembinaan, pengawasan
dan hal-hal yang bersifat bantuan terhadap pembanguan desa dalam aspek fisik.
d. Keterlibatan masyarakat sangat
diperlukan dalam pembangunan desa. Karena proses pembangunan desa bukan hanya
sebatas membangun prasarana dan sarana yang diperlukan, tetapi proses
pembangunan desa memerlukan waktu yang panjang, banyak pengorbanan, dan
bertalian dengan banyak pihak dalam masyarakat termasuk masyarakat di daerah
pedesaan. Proses pembangunan desa dimulai dari tahap pengkajian, perencanaan,
pelaksanaan, dan pemeliharaan. Seyogyanya pada semua tahapan pembangunan desa
ini terjadi keterlibatan partisipasi aktif masyarakat daerah pedesaan.
BAB III
LANGKAH-LANGKAH
KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI
Penciptaan lapangan pekerjaan nonpertanian di perdesaan
merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat
perdesaan. Untuk itu, langkah-langkah kebijakan yang ditempuh meliputi (1)
meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui penguatan kelembagaan dan
modal sosial masyarakat perdesaan serta pengembangan kemampuan dan kemandirian
masyarakat perdesaan dalam pengelolaan pembangunan; (2) memperkuat keterkaitan
kawasan perdesaan dengan perkotaan serta keterkaitan antarsektor pertanian
dengan sektor industri dan jasa berbasis sumber daya lokal; (3) memperbaiki
tingkat pelayanan prasarana permukiman dan ekonomi perdesaan; (4) meningkatkan
kapasitas pemerintahan di tingkat lokal dalam mengelola pembangunan perdesaan
secara partisipatif; dan (5) mengembangkan dan memantapkan kelembagaan sosial
ekonomi dalam rangka pengembangan ekonomi lokal dan peningkatan akses
masyarakat perdesaan ke modal usaha. Jika memperhatikan karakteristik umum
permasalahan kesejahteraan rakyat dan kualitas hidup masyarakat desa,
langkah-langkah tersebut dilakukan dengan memperhatikan kesetaraan gender.
Dalam rangka meningkatkan keberdayaan masyarakat
perdesaan dan kapasitas pemerintahan di tingkat lokal, telah dicapai
hasil-hasil sebagai berikut (1) penyusunan pedoman untuk memberdayakan
kapasitas masyarakat dan termasuk dalam hal pengarusutamaan gender; (2)
penyusunan pedoman yang diperlukan untuk memperkuat kapasitas pemerintahan di
tingkat lokal, di antaranya mengenai pengelolaan pembangunan secara partisipatif,
pengelolaan anggaran, serta penyusunan produk hukum wilayah perdesaan; (3)
pembimbingan teknis Pengembangan Badan Usaha Milik Desa; (4) pembimbingan
teknis Tata Cara Penegasan dan Penetapan Batas Desa; (5) pembimbingan teknis
Penataan Administrasi Pemerintahan Desa; (6) pembimbingan teknis Penyusunan
Peraturan Desa dan Keputusan Desa; (7) pelaksanaan pelatihan peningkatan
kapasitas pemerintah dan keberdayaan masyarakat desa, di antaranya
mengenai Manajemen Pemerintahan Desa
bagi Kepala Desa dan Perencanaan Pembangunan Partisipatif, terutama bagi kaum
perempuan; (8) pelatihan pendayagunaan Teknologi Tepat Guna (TTG) bagi
instruktur TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD); (9) pelatihan pendayagunaan
Teknologi Tepat Guna (TTG) bagi instruktur Latihan Integrasi Taruna Wreda
(Latsitarda) Nusantara Tahun 2004; (10) pelatihan penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi bagi aparatur Pemerintah Daerah; (11) pengevaluasian PP
Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Desa; (12) tersusunnya Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang Desa (pengganti PP Nomor 76 Tahun 2001); (13) tersusunnya
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kelurahan (pengganti Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 1999); (14)
tersusunnya Rancangan Peraturan Presiden tentang Penataan Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (pengganti Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2001) sebagai
wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan; (15) tersusunnya Rancangan
Pedoman Umum Peningkatan Peran Masyarakat dalam Pendayagunaan Tata Ruang
Kawasan Perdesaan; (16) pemfungsian 16.210 unit Lumbung Pangan Masyarakat Desa
(LPMD) dalam mendukung peningkatan ketahanan pangan masyarakat; (17)
pembangunan prasarana sosial berupa Balai/Kantor Desa (66 unit); (18)
pelaksanaan fasilitasi kepada Pemerintah Daerah dalam rangka peningkatan
kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Desa/Kelurahan; (19) pelaksanaan pemberian
tanah (redistribusi) kepada para petani sebanyak 1.400 bidang; dan (20)
pengembangan desa-desa percontohan di wilayah pesisir agar masyarakat desa dapat
mendayagunakan sumber daya pesisir secara lestari dalam suatu rencana wilayah
desa yang terpadu.
Selanjutnya, dalam rangka pengembangan ekonomi lokal
serta penguatan keterkaitan perdesaan dengan perkotaan, telah dicapai
hasil-hasil sebagai berikut (1) penyusunan Dokumentasi Data Peraturan
Perundangundangan Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan; (2) tersusunnya Pedoman
Umum Pengelolaan Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP) sebagai Lembaga
Keuangan Mikro Perdesaan; (3) tersusunnya Pedoman Umum Fasilitasi Penerapan
Teknologi Tepat Guna bagi Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil; (4) penyusunan
kajian Strategi Pengembangan Ekonomi Rakyat pada Kawasan Pengelolaan Sumber
Daya Alam Strategis; (5) pelatihan kewirausahaan bagi masyarakat; (6)
pembangunan prasarana perekonomian, yakni jalan desa (835,48 km), jembatan desa
(4.466 unit), sarana air bersih
(4.072 unit), sanitasi (670 unit), irigasi desa (6.143 unit), pasar desa
(29.003 unit), listrik desa (308 unit), dermaga desa (26 unit), tempat
pelelangan ikan (6 unit), saluran air (5,6 km); (7) pengembangan 22.229 unit
Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP) sebagai lembaga keuangan mikro
perdesaan yang melayani keperluan modal usaha bagi masyarakat perdesaan; (8)
pemfungsian 2.121 Pos Pelayanan Teknologi Perdesaan (Posyantekdes) dalam
menyediakan layanan informasi dan perangkat teknologi tepat guna untuk
mendukung pengembangan usaha ekonomi produktif masyarakat perdesaan; (9)
pelaksanaan Persiapan Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) Bidang
Infrastruktur Perdesaan terutama untuk desa-desa tertinggal; dan (10)
pengembangan prasarana dan sarana agropolitan di 59 kawasan.
Di samping itu, secara simultan juga dicapai hasil-hasil
melalui kegiatan-kegiatan pokok peningkatan infrastruktur perdesaan (diuraikan
secara terperinci dalam Bab 33: Percepatan Pembangunan Infrastruktur),
peningkatan kualitas sumber daya manusia di perdesaan (Bab 27: Peningkatan
Akses Masyarakat terhadap Pendidikan yang Lebih Berkualitas dan Bab 28:
Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Kesehatan yang Lebih Berkualitas); serta
perlindungan dan konservasi sumber daya alam (Bab 32: Perbaikan Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup).
Sejauh ini dapat diamati bahwa telah dilakukan upaya
intensif dalam meningkatkan pembangunan perdesaan secara partisipatif, terutama
dengan memperkuat kapasitas masyarakat dan pemerintahan desa. Hal itu, antara
lain, ditandai dengan telah tersusunnya Rancangan Peraturan Presiden tentang
Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) sebagai wadah partisipasi
masyarakat dalam pembangunan dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Desa
(pengganti PP No.76 Tahun 2001). Pencapaian lain yang layak digarisbawahi
adalah peningkatan kemampuan berusaha dan pemantapan kelembagaan dalam
pengembangan ekonomi lokal, antara lain dengan telah dikembangkannya unit-unit
Usaha Ekonomi Desa-Simpan Pinjam (UED-SP) sebagai lembaga keuangan mikro
perdesaan, dalam rangka meningkatkan akses masyarakat perdesaan ke modal usaha.
Di samping itu, komitmen untuk terus meningkatkan keterkaitan
perdesaan-perkotaan juga dilaksanakan melalui pengembangan prasarana-sarana di
kawasan-kawasan agropolitan.
BAB IV
TINDAK
LANJUT YANG DIPERLUKAN
Mencermati dinamika perkembangan pembangunan perdesaan
sampai sejauh ini, baik berbagai pencapaian maupun permasalahannya, kebijakan
pembangunan perdesaan pada tahun 2006 akan diarahkan pada (1) penggalakan
promosi dan pemasaran produk-produk pertanian dan perdesaan lainnya untuk
meningkatkan kontinuitas pasokan, khususnya ke pasar perkotaan terdekat serta
industri pengolahan berbasis sumber daya lokal; (2) perluasan akses masyarakat,
terutama kaum perempuan, ke sumber daya produktif untuk pengembangan usaha
seperti lahan, permodalan, informasi, teknologi dan inovasi; (3) peningkatan
prasarana dan sarana perdesaan serta akses masyarakat ke pelayanan publik; (4)
peningkatan kapasitas masyarakat perdesaan untuk dapat menangkap peluang
pengembangan ekonomi serta memperkuat kelembagaan dan modal sosial masyarakat
perdesaan berupa jaringan kerja sama untuk memperkuat posisi tawar; (5)
perbaikan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan meningkatkan pelayanan
pendidikan dan kesehatan serta meminimalkan risiko kerentanan, baik dengan
mengembangkan kelembagaan pelindungan masyarakat petani maupun dengan
memperbaiki struktur pasar yang tidak sehat (monopsoni dan oligopsoni); (6)
pengembangan praktik-praktik budi daya pertanian dan usaha nonpertanian yang
mempertahankan daya dukung lingkungan, baik di wilayah daratan maupun di
wilayah pesisir; dan (7) pengembangan kapasitas pemerintahan dalam pembangunan
perdesaan di tingkat lokal.
Dengan arah kebijakan tersebut, dalam rangka peningkatan
keberdayaan masyarakat perdesaan, upaya tindak lanjut yang diperlukan meliputi
(1) penumbuhan lembaga pelayanan penyuluhan dan peningkatan penyuluhan dan
pelatihan keterampilan usaha bagi masyarakat perdesaan; (2) fasilitasi
penguatan lembaga dan organisasi berbasis masyarakat di perdesaan berdasarkan
identifikasi praktik terbaik (best
practices) dan pembelajaran dari program-program pemberdayaan
masyarakat; (3) pemantapan kelembagaan pemerintahan desa dalam pengelolaan
pembangunan perdesaan dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik; (4)
peningkatan partisipasi masyarakat perdesaan dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi pembangunan perdesaan; (5) koordinasi pengembangan
kelembagaan untuk difusi teknologi tepat guna dan ramah lingkungan ke kawasan
perdesaan; dan (6) peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam
memfasilitasi dan mengoordinasikan peran pemilik kepentingan (stakeholders) dalam pembangunan kawasan
perdesaan.
Sementara itu, untuk mengembangkan ekonomi lokal,
terutama di daerah perdesaan, langkah tindak lanjut yang diperlukan meliputi
(1) peningkatan koordinasi lintas sektor untuk memantapkan kawasan agropolitan
yang sudah ada dan mempromosikan pendekatan agropolitan ke lokasi baru terutama
kawasan-kawasan potensial di luar pulau Jawa-Bali; (2) peningkatan pengembangan
usaha agribisnis yang meliputi mata rantai subsektor hulu (pasokan masukan), on farm (budi daya), hilir (pengolahan),
dan jasa penunjang; (3) peningkatan infrastruktur sosial dan ekonomi perdesaan
melalui pendekatan pembangunan berbasis masyarakat lokal (community based development); (4) pengembangan budaya usaha dan
kewirausahaan terutama bagi angkatan kerja muda perdesaan; (5) pengembangan
jaringan kerja sama usaha dan kemitraan antara pelaku usaha besar dan usaha
mikro/rumah tangga; (6) peningkatan peran perempuan dalam kegiatan usaha
ekonomi produktif di perdesaan; (7) peningkatan pelayanan lembaga keuangan,
termasuk lembaga keuangan mikro (LKM), kepada pelaku usaha di perdesaan, antara
lain, melalui fasilitasi informasi tentang pelaku usaha potensial di perdesaan,
pelindungan status badan hukum LKM, kemudahan perizinan dan pembentukan sistem
jaringan antar-LKM serta antara LKM dan bank; dan (8) fasilitasi pengembangan
akses masyarakat dalam pemasaran produk hasil usaha pada skala lokal dan
regional.
Upaya peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan dan pengembangan
ekonomi lokal di perdesaan perlu didukung pula oleh berbagai upaya tindak
lanjut yang diperlukan dalam meningkatkan infrastruktur perdesaan (dibahas
terperinci dalam Bab 33: Percepatan Pembangunan Infrastruktur), meningkatkan
kualitas sumber daya manusia di perdesaan (Bab 27: Peningkatan Akses Masyarakat
terhadap Pendidikan yang Lebih Berkualitas dan Bab 28: Peningkatan Akses
Masyarakat terhadap Kesehatan yang Lebih Berkualitas) dan melindungi dan
melakukan konservasi sumber daya alam (Bab 32: Perbaikan Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup).
BAB V
P E N U T U P
Permasalah
yang dihadapi dalam pembangunan Desa umumnya berada pada masalah sturktural dan
sosial budaya. Adapun masalah yang dihadapi dalam upaya pembanguna di Desa yaitu : Masalah Sosial Budaya, masalah
ekonomi dan masalah geografis. Masalah sosial budaya terdiri dari Rendahnya
tingkat pendidikan, Minimnya sarana dan prasarana di pedesaan yaitu Prasarana dan sarana
transportasi, Prasarana dan sarana pendidikan yang kurang memadai ,Terbatasnya
lapangan pekerjaan di pedesaan dan Rendahnya Kesadaran Petani terhadap
adopsi inovasi pertanian.Masalah ekonomi terdiri dari Keterbelakangan perekonomian dan Tidak
tersedianya permodalan untuk petani dan Harga pupuk yang lumayan tinggi. Selain
itu masalah geografisnya yaitu prediksi terhadap iklim yang sulit, keadaan
tanah dan letak wilayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar