Rabu, 21 Mei 2014

PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DALAM PEMBANGUNAN DESA DI INDONESIA


PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DALAM PEMBANGUNAN DESA DI INDONESIA


BAB  I
PENDAHULUAN

Data penduduk Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan proporsi penduduk yang bertempat tinggal di perdesaan jika dibandingkan di perkotaan tidak lagi berbeda jauh, yakni 113,7 juta jiwa di perdesaan dan 106,2 juta jiwa di perkotaan (BPS, 2005). Namun, perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat pembangunan wilayah di antara keduanya menunjukkan kawasan perdesaan masih relatif tertinggal jika dibandingkan dengan perkotaan. Jumlah penduduk miskin di perdesaan pada tahun 2004 mencapai 24,6 juta jiwa, jauh lebih tinggi daripada di perkotaan, yaitu 11,5 juta jiwa. Sementara itu, jangkauan pelayanan infrastruktur di perdesaan masih jauh dari memadai. Misalnya, baru sekitar 6,4 persen rumah tangga perdesaan yang telah dilayani oleh infrastruktur perpipaan air minum, sedangkan di perkotaan mencapai 32 persen; sementara itu, untuk pelayanan telekomunikasi, dari total 62.806 desa di Indonesia, sebanyak 43.000 desa masih belum memiliki fasilitas telekomunikasi. 
Data juga menunjukkan masih relatif rendahnya produktivitas tenaga kerja di perdesaan karena aktivitas ekonomi perdesaan masih bertumpu pada sektor pertanian (primer). Berdasarkan Susenas 2003, pangsa tenaga kerja di perdesaan pada sektor pertanian mencapai 67,7 persen. Padahal secara nasional, meski sektor pertanian menampung 46,3 persen dari 90,8 juta penduduk yang bekerja, sumbangannya dalam pembentukan PDB hanya 15,0 persen. Menguatnya desakan alih fungsi lahan dari pertanian menjadi nonpertanian, terutama di Pulau Jawa, tidak hanya merusak sistem irigasi yang sudah terbangun, tetapi juga semakin menurunkan produktivitas tenaga kerja di perdesaan dengan meningkatnya rumah tangga petani gurem. Jika hal itu dibiarkan, sangat sulit untuk menurunkan angka kemiskinan di perdesaan dan mengendalikan migrasi ke kota-kota besar sehingga pada gilirannya akan membebani dan memperburuk permasalahan di perkotaan. Oleh karena itu, sangat mendesak untuk dilakukannya diversifikasi usaha ekonomi di perdesaan ke arah kegiatan nonpertanian (non-farm activities), baik berupa industri yang mengolah produk pertanian maupun berupa jasa-jasa penunjang.
Industrialisasi perdesaan yang berbasis pertanian, tidak hanya berpotensi mengalihkan surplus tenaga kerja di sektor pertanian primer yang kurang produktif, tetapi juga mempertahankan nilai tambah yang dihasilkan tetap berada di perdesaan. Namun, untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan, upaya diversifikasi lapangan pekerjaan ini secara simultan perlu diiringi dengan peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan,  penyediaan dukungan prasarana dan sarana sosial ekonomi yang memadai,  peningkatan kapasitas pemerintahan dan kapasitas kelembagaan sosial ekonomi dalam pembangunan perdesaan di tingkat lokal, dan penguatan keterkaitan kota dan desa serta sektor pertanian dengan industri dan jasa penunjangnya.

Pembangunan masyarakat desa pada hakekatnya bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan agar lebih baik, lebih menyenangkan dan mengenakkan warga masyarakat dari keadaan sebelumnya. Mencapai kesejahteraan, itulah yang menjadi tujuannya.
Pembangunan masyarakat desa dan tujuannya selalu dikaitkan dengan masalah "kemiskinan", yang dialami oleh sebagian "masyarakat" dalam kategori "masyarakat desa", dan lebih khusus lagi "masyarakat" nelayan dan petani kecil."Hambatan dalam pelaksanaan "pembangunan masyarakat desa" di negara-negara Dunia Ketiga, antara lain adalah keadaan penduduk yang sangat "miskin", kebodohan dan pengalaman-pengalaman mereka yang serba menyusahkan dan menyedihkan di masa lampau, menyebabkan para petani dan nelayan pada umumnya dicekam rasa takut, menjadi apatis, berserah diri pada nasib (yang jelek), tidak ada keberanian untuk mencapai prestasi secara individu, tidak ada keberanian menanggung resiko untuk merubah nasib mereka yang bagaikan berada di dalam rawa-rawa yang memerlukan pertolongan dari luar untuk menariknya.
Pembangunan pada prinsipnya adalah suatu proses dan usaha yang dilakukan oleh suatu masyarakat secara sistematis untuk mencapai situasi atau kondisi yang lebih baik dari saat ini. Dilaksanakannya proses pembangunan ini tidak lain karena masyarakat merasa tidak puas dengan keadaan saat ini yang dirasa kurang ideal. Namun demikian perlu disadari bahwa pembangunan adalah sebuah proses evolusi, sehingga masyarakat yang perlu melakukan secara bertahap sesuai dengan sumber daya yang dimiliki dan masalah utama yang sedang dihadapi.






















BAB II
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DALAM
PEMBANGUNAN DESA


Permasalahan yang Dihadapi
Permasalahan yang dihadapi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dapat dimasukkan ke dalam beberapa permasalahan utama sebagai berikut (1) masih kurang berkembangnya kehidupan masyarakat perdesaan karena terbatasnya akses masyarakat perdesaan, terutama kaum perempuan, ke sumber daya produktif, seperti lahan, permodalan, infrastruktur, dan teknologi serta akses terhadap pelayanan publik dan pasar; (2) masih terbatasnya pelayanan prasarana dan sarana permukiman perdesaan, seperti air minum, sanitasi, persampahan, dan prasarana lingkungan lain; (3) masih terbatasnya kapasitas kelembagaan pemerintahan di tingkat lokal dan kelembagaan sosial ekonomi untuk mendukung peningkatan sumber daya pembangunan perdesaan; dan (4) masih kurangnya keterkaitan antara kegiatan ekonomi perkotaan dan perdesaan yang mengakibatkan makin meningkatnya kesenjangan ekonomi dan kesenjangan pelayanan infrastruktur antarwilayah.
Dalam lingkup sektor pertanian sendiri, masih terbatas upaya-upaya untuk beralih ke komoditas bernilai ekonomi tinggi, serta belum dioptimalkannya pertanian lahan kering yang relatif lebih kecil kebutuhan investasi prasarana pendukungnya.  Dalam lingkup yang lebih besar, belum mantapnya alih peran dan tanggung jawab dalam sektor-sektor yang terkait dengan pembangunan perdesaan seiring dengan desentralisasi mengakibatkan pembangunan prasarana perdesaan kurang mendapatkan perhatian yang memadai. Di sisi lain, terjadinya bencana alam yang bertubi-tubi, seperti halnya di NAD dan Nias, memiliki kontribusi yang tidak kecil dalam memperburuk kapasitas infrastruktur perdesaan yang telah dibangun di banyak wilayah di Indonesia.
Permasalah yang dihadapi dalam pembangunan Desa umumnya berada pada masalah sturktural dan sosial budaya. Adapun masalah yang dihadapi dalam upaya pembanguna di Desa  yaitu :
A.    Masalah Sosial Budaya
  1. Rendahnya tingkat pendidikan
Sarana pendidikan masyarakat di desa cenderung rendah. Masyarakat di desa umumnya hanya berpendidikan SD, SMP dan SMA. Hal ini disebabkan karena masyarakat belum mengetahui seberapa besar pentingnya pendidikan untuk dirinya. Apabila setelah menyelesaikan pendidikan hingga SMA atau lebih buruk hanya sampai SD saja orang tua akan menikahkan anak-anaknya sehingga masa depan pendidikan generasi penerus bangsa menjadi terputus dan hal ini menyebabkan mereka hanya bergelut pada lingkar kemiskinan karena minimnya pendidikan. Rendahnya pendidikan ini juga menjadi menjadi akar permasalahan bahwa kurangnya inisiatif masyarakat dalam menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan mereka. Mereka hanya memikirkan bagaimana caranya agar tetap mempertahankan hidup tanpa memikirkan bagaimana nasib generasi penerus bangsa di masa yang akan mendatang. Karena minimnya pendidikan masyarakat hal ini menyebabkan dari seluruh penduduk desa hampir 95% penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu masalah rendahnya pendidikan juga menjadikan kendala dalam penerapan inovasi yang dilakukan oleh penyuluhan.
       2.      Minimnya sarana dan prasarana di pedesaan       
          Salah satu penyebab daerah pedesaan masih terisolasi atau tertinggal adalah masih minimnya prasarana dan sarana transportasi yang membuka akses daerah pedesaan dengan daerah lainnya. Kondisi prasarana dan sarana transportasi yang minim berkontribusi terhadap keterbelakangan ekonomi daerah pedesaan. Secara umum, masyarakat daerah pedesaan menghasilkan jenis produk yang relatif sama, sehingga transaksi jual beli barang atau produk antar sesama penduduk di suatu desa relatif kecil. Dalam kondisi prasarana dan sarana transportasi yang minim, produk yang dihasilkan masyarakat daerah pedesaan sulit untuk diangkut dan dipasarkan ke daerah lain. Jika dalam kondisi seperti itu, masyarakat daerah pedesaan menghasilkan produk pertanian dan non pertanian dalam skala besar, maka produk tersebut tidak dapat diangkut dan dipasarkan ke luar desa dan akan menumpuk di desa. Penumpukan dalam waktu yang lama akan menimbulkan kerusakan dan kerugian. Kondisi seperti ini sangat tidak menguntungkan bagi warga masyarakat di daerah pedesaan. Sebaliknya, hal tersebut akan mendorong sebagian warga masyarakat di daerah pedesaan untuk merantau atau berpindah ke daerah lain terutama daerah perkotaan yang dianggap lebih menawarkan masa depan yang lebih baik.

       3.      Terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan
Indonesia sebagai negara agraris sampai saat ini dapat dilihat dari besarnya jumlah penduduk yang masih mengandalkan penghasilannya serta menggantungkan harapan hidupnya pada sektor pertanian. Dominasi sektor pertanian sebagai matapencaharian penduduk dapat terlihat nyata di daerah pedesaan. Sampai saat ini lapangan kerja yang tersedia di daerah pedesaan masih didominasi oleh sektor usaha bidang pertanian. Kegiatan usaha ekonomi produktif di daerah pedesaan masih sangat terbatas ragam dan jumlahnya, yang cenderung terpaku pada bidang pertanian (agribisnis). Aktivitas usaha dan matapencaharian utama masyarakat di daerah pedesaan adalah usaha pengelolaan/ pemanfaatan sumber daya alam yang secara langsung atau tidak langsung ada kaitannya dengan pertanian. Bukan berarti bahwa lapangan kerja di luar sektor pertanian tidak ada, akan tetapi masih sangat terbatas. Peluang usaha di sektor non-pertanian belum mendapat sentuhan yang memadai dan belum berkembang dengan baik. Kondisi ini mendorong sebagian penduduk di daerah pedesaan untuk mencari usaha lain di luar desanya, sehingga mendorong mereka untuk berhijrah/migrasi dari daerah pedesaan menuju daerah lain terutama daerah perkotaan. Daerah perkotaan dianggap memiliki lebih banyak pilihan dan peluang untuk bekerja dan berusaha.


B.     Masalah ekonomi

Jika di daerah perkotaan geliat perekonomian begitu fenomenal dan pantastis. Sebaliknya, hal yang berbeda terjadi di daerah pedesaan, dimana geliat perekonomian berjalan lamban dan hampir tidak menggairahkan. Roda perekonomian di daerah pedesaan didominasi oleh aktivitas produksi. Aktivitas produksi yang relatif kurang beragam dan cenderung monoton pada sektor pertanian (dalam arti luas : perkebunan, perikanan, petanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, kehutanan, dan produk turunannya). Kalaupun ada aktivitas di luar sektor pertanian jumlah dan ragamnya masih relatif sangat terbatas.
Aktivitas perekonomian yang ditekuni masyarakat di daerah pedesaan tersebut sangat rentan terhadap terjadinya instabilitas harga. Pada waktu dan musim tertentu produk (terutama produk pertanian) yang berasal dari daerah pedesaan dapat mencapai harga yang begitu tinggi dan pantastik.
Meskipun penduduk di daerah pedesaan mayoritas bermatapencaharian sebagai petani, namun tidak semua petani di daerah pedesaan memiliki lahan pertanian yang memadai. Banyak diantara mereka memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar, yang disebut dengan istilah petani gurem. Lebih ironis lagi, sebagian dari penduduk di daerah pedesaan yang malah tidak memiliki lahan pertanian garapan sendiri. Mereka berstatus sebagai petani penyewa, penggarap atau sebagai buruh tani. Petani penyewa adalah para petani yang tidak memiliki lahan pertanian garapan milik sendiri melainkan menyewa lahan pertanian milik orang lain. Petani penggarap adalah para petani yang tidak memiliki lahan pertanian garapan milik sendiri melainkan menggarap lahan pertanian milik orang lain dengan sistem bagi hasil atau lainnya. Buruh tani adalah petani yang tidak memiliki lahan pertanian garapan milik sendiri melainkan bekerja sebagai buruh yang menggarap lahan pertanian milik orang lain dengan memperoleh upah atas pekerjaannya.
C.    Masalah Geografis
Di Indonesia mempunyai tingkat kesuburan tanah yang berbeda disetiap wilayah. Tingkat kesuburan tanah juga sangat berpengaruh dalam pembangunan desa, desa yang mempunyai keadaan tanah yang subur cenderung akan mempengaruhi hasil tani yang akan dihasilkan. Semakin baik dan banyak hasil tani yang dihasilkan oleh desa tersebut maka akan sangat mempengaruhi dari pendapatan masayarakat itu sendiri. Semakin besar pendapatan masyarakat maka pertumbuhan ekonomi didesa tersebut akan semakin baik.
Letak wilayah desa juga sangat mempengaruhi dari pembangunan desa itu sendiri. Desa yang yang letak wilayahnya lebih strategis yang dalam hal ini dekat dengan peradaban kota akan berbeda dengan desa yang letaknya sulit dijangkau. Desa yang letaknya sulit dijangkau akan cenderung akan mengalami pembangunan ekonomi yang lambat. Hal ini disebabkan karena sulitnya akses pemerintah dan dunia luar untuk menjangkaunya. Jadi letak desa yang strategis juga sangat berpengaruh dalam pembangunan desa itu sendiri.
Adapun Solusi dalam upaya mengatasi permasalahan pembangunan desa di antaranya adalah :
a.    Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dengan memperbaiki sarana pendidikan, mengadakan penyuluhan pendidikan terhadap masyarakat agar tercipta generasi penerus yang memiliki pengetahuan sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
b.    Ketersediaan parasarana dan sarana transportasi yang memadai akan mendukung arus orang dan barang yang keluar dan masuk ke daerah pedesaan. Untuk mendorong peningkatan dinamika masyarakat daerah pedesaan akan arus transportasi orang dan barang keluar dan masuk dari dan ke daerah pedesaan, diperlukan prasarana dan sarana transportasi yang memadai.karena Salah satu prasarana dan sarana pokok dan penting untuk membuka isolasi daerah pedesaan dengan daerah lainnya adalah prasarana transportasi (seperti jalan raya, jembatan, prasarana transportasi laut, danau, sungai dan udara), dan sarana transportasi (seperti mobil, sepeda motor, kapal laut, perahu mesin, pesawat udara dan sebagainya).
c.    Peran pemerintah (pusat dan daerah) dalam pembangunan desa ditempatkan pada posisi yang tepat. Pemerintah diharapkan berperan dalam memberi motivasi, stimulus, fasilitasi, pembinaan, pengawasan dan hal-hal yang bersifat bantuan terhadap pembanguan desa dalam aspek fisik.
d.    Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam pembangunan desa. Karena proses pembangunan desa bukan hanya sebatas membangun prasarana dan sarana yang diperlukan, tetapi proses pembangunan desa memerlukan waktu yang panjang, banyak pengorbanan, dan bertalian dengan banyak pihak dalam masyarakat termasuk masyarakat di daerah pedesaan. Proses pembangunan desa dimulai dari tahap pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan. Seyogyanya pada semua tahapan pembangunan desa ini terjadi keterlibatan partisipasi aktif masyarakat daerah pedesaan.











BAB  III
LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI

Penciptaan lapangan pekerjaan nonpertanian di perdesaan merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat perdesaan. Untuk itu, langkah-langkah kebijakan yang ditempuh meliputi (1) meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui penguatan kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan serta pengembangan kemampuan dan kemandirian masyarakat perdesaan dalam pengelolaan pembangunan; (2) memperkuat keterkaitan kawasan perdesaan dengan perkotaan serta keterkaitan antarsektor pertanian dengan sektor industri dan jasa berbasis sumber daya lokal; (3) memperbaiki tingkat pelayanan prasarana permukiman dan ekonomi perdesaan; (4) meningkatkan kapasitas pemerintahan di tingkat lokal dalam mengelola pembangunan perdesaan secara partisipatif; dan (5) mengembangkan dan memantapkan kelembagaan sosial ekonomi dalam rangka pengembangan ekonomi lokal dan peningkatan akses masyarakat perdesaan ke modal usaha. Jika memperhatikan karakteristik umum permasalahan kesejahteraan rakyat dan kualitas hidup masyarakat desa, langkah-langkah tersebut dilakukan dengan memperhatikan kesetaraan gender.  
Dalam rangka meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan dan kapasitas pemerintahan di tingkat lokal, telah dicapai hasil-hasil sebagai berikut (1) penyusunan pedoman untuk memberdayakan kapasitas masyarakat dan termasuk dalam hal pengarusutamaan gender; (2) penyusunan pedoman yang diperlukan untuk memperkuat kapasitas pemerintahan di tingkat lokal, di antaranya mengenai pengelolaan pembangunan secara partisipatif, pengelolaan anggaran, serta penyusunan produk hukum wilayah perdesaan; (3) pembimbingan teknis Pengembangan Badan Usaha Milik Desa; (4) pembimbingan teknis Tata Cara Penegasan dan Penetapan Batas Desa; (5) pembimbingan teknis Penataan Administrasi Pemerintahan Desa; (6) pembimbingan teknis Penyusunan Peraturan Desa dan Keputusan Desa; (7) pelaksanaan pelatihan peningkatan kapasitas pemerintah dan keberdayaan masyarakat desa, di antaranya mengenai  Manajemen Pemerintahan Desa bagi Kepala Desa dan Perencanaan Pembangunan Partisipatif, terutama bagi kaum perempuan; (8) pelatihan pendayagunaan Teknologi Tepat Guna (TTG) bagi instruktur TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD); (9) pelatihan pendayagunaan Teknologi Tepat Guna (TTG) bagi instruktur Latihan Integrasi Taruna Wreda (Latsitarda) Nusantara Tahun 2004; (10) pelatihan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi bagi aparatur Pemerintah Daerah; (11) pengevaluasian PP Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Desa; (12) tersusunnya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Desa (pengganti PP Nomor 76 Tahun 2001); (13) tersusunnya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kelurahan (pengganti Keputusan Menteri Dalam Negeri  Nomor 65 Tahun 1999); (14) tersusunnya Rancangan Peraturan Presiden tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (pengganti Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2001) sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan; (15) tersusunnya Rancangan Pedoman Umum Peningkatan Peran Masyarakat dalam Pendayagunaan Tata Ruang Kawasan Perdesaan; (16) pemfungsian 16.210 unit Lumbung Pangan Masyarakat Desa (LPMD) dalam mendukung peningkatan ketahanan pangan masyarakat; (17) pembangunan prasarana sosial berupa Balai/Kantor Desa (66 unit); (18) pelaksanaan fasilitasi kepada Pemerintah Daerah dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Desa/Kelurahan; (19) pelaksanaan pemberian tanah (redistribusi) kepada para petani sebanyak 1.400 bidang; dan (20) pengembangan desa-desa percontohan di wilayah pesisir agar masyarakat desa dapat mendayagunakan sumber daya pesisir secara lestari dalam suatu rencana wilayah desa yang terpadu.
Selanjutnya, dalam rangka pengembangan ekonomi lokal serta penguatan keterkaitan perdesaan dengan perkotaan, telah dicapai hasil-hasil sebagai berikut (1) penyusunan Dokumentasi Data Peraturan Perundangundangan Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan; (2) tersusunnya Pedoman Umum Pengelolaan Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP) sebagai Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan; (3) tersusunnya Pedoman Umum Fasilitasi Penerapan Teknologi Tepat Guna bagi Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil; (4) penyusunan kajian Strategi Pengembangan Ekonomi Rakyat pada Kawasan Pengelolaan Sumber Daya Alam Strategis; (5) pelatihan kewirausahaan bagi masyarakat; (6) pembangunan prasarana perekonomian, yakni jalan desa (835,48 km), jembatan desa (4.466  unit), sarana air bersih (4.072  unit), sanitasi (670  unit), irigasi desa (6.143 unit), pasar desa (29.003 unit), listrik desa (308 unit), dermaga desa (26 unit), tempat pelelangan ikan (6 unit), saluran air (5,6 km); (7) pengembangan 22.229 unit Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP) sebagai lembaga keuangan mikro perdesaan yang melayani keperluan modal usaha bagi masyarakat perdesaan; (8) pemfungsian 2.121 Pos Pelayanan Teknologi Perdesaan (Posyantekdes) dalam menyediakan layanan informasi dan perangkat teknologi tepat guna untuk mendukung pengembangan usaha ekonomi produktif masyarakat perdesaan; (9) pelaksanaan Persiapan Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) Bidang Infrastruktur Perdesaan terutama untuk desa-desa tertinggal; dan (10) pengembangan prasarana dan sarana agropolitan di 59 kawasan.
Di samping itu, secara simultan juga dicapai hasil-hasil melalui kegiatan-kegiatan pokok peningkatan infrastruktur perdesaan (diuraikan secara terperinci dalam Bab 33: Percepatan Pembangunan Infrastruktur), peningkatan kualitas sumber daya manusia di perdesaan (Bab 27: Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pendidikan yang Lebih Berkualitas dan Bab 28: Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Kesehatan yang Lebih Berkualitas); serta perlindungan dan konservasi sumber daya alam (Bab 32: Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup).
Sejauh ini dapat diamati bahwa telah dilakukan upaya intensif dalam meningkatkan pembangunan perdesaan secara partisipatif, terutama dengan memperkuat kapasitas masyarakat dan pemerintahan desa. Hal itu, antara lain, ditandai dengan telah tersusunnya Rancangan Peraturan Presiden tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Desa (pengganti PP No.76 Tahun 2001). Pencapaian lain yang layak digarisbawahi adalah peningkatan kemampuan berusaha dan pemantapan kelembagaan dalam pengembangan ekonomi lokal, antara lain dengan telah dikembangkannya unit-unit Usaha Ekonomi Desa-Simpan Pinjam (UED-SP) sebagai lembaga keuangan mikro perdesaan, dalam rangka meningkatkan akses masyarakat perdesaan ke modal usaha. Di samping itu, komitmen untuk terus meningkatkan keterkaitan perdesaan-perkotaan juga dilaksanakan melalui pengembangan prasarana-sarana di kawasan-kawasan agropolitan.









BAB IV
TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN


Mencermati dinamika perkembangan pembangunan perdesaan sampai sejauh ini, baik berbagai pencapaian maupun permasalahannya, kebijakan pembangunan perdesaan pada tahun 2006 akan diarahkan pada (1) penggalakan promosi dan pemasaran produk-produk pertanian dan perdesaan lainnya untuk meningkatkan kontinuitas pasokan, khususnya ke pasar perkotaan terdekat serta industri pengolahan berbasis sumber daya lokal; (2) perluasan akses masyarakat, terutama kaum perempuan, ke sumber daya produktif untuk pengembangan usaha seperti lahan, permodalan, informasi, teknologi dan inovasi; (3) peningkatan prasarana dan sarana perdesaan serta akses masyarakat ke pelayanan publik; (4) peningkatan kapasitas masyarakat perdesaan untuk dapat menangkap peluang pengembangan ekonomi serta memperkuat kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan berupa jaringan kerja sama untuk memperkuat posisi tawar; (5) perbaikan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan serta meminimalkan risiko kerentanan, baik dengan mengembangkan kelembagaan pelindungan masyarakat petani maupun dengan memperbaiki struktur pasar yang tidak sehat (monopsoni dan oligopsoni); (6) pengembangan praktik-praktik budi daya pertanian dan usaha nonpertanian yang mempertahankan daya dukung lingkungan, baik di wilayah daratan maupun di wilayah pesisir; dan (7) pengembangan kapasitas pemerintahan dalam pembangunan perdesaan di tingkat lokal.
Dengan arah kebijakan tersebut, dalam rangka peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan, upaya tindak lanjut yang diperlukan meliputi (1) penumbuhan lembaga pelayanan penyuluhan dan peningkatan penyuluhan dan pelatihan keterampilan usaha bagi masyarakat perdesaan; (2) fasilitasi penguatan lembaga dan organisasi berbasis masyarakat di perdesaan berdasarkan identifikasi praktik terbaik (best practices) dan pembelajaran dari program-program pemberdayaan masyarakat; (3) pemantapan kelembagaan pemerintahan desa dalam pengelolaan pembangunan perdesaan dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik; (4) peningkatan partisipasi masyarakat perdesaan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan perdesaan; (5) koordinasi pengembangan kelembagaan untuk difusi teknologi tepat guna dan ramah lingkungan ke kawasan perdesaan; dan (6) peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam memfasilitasi dan mengoordinasikan peran pemilik kepentingan (stakeholders) dalam pembangunan kawasan perdesaan.
Sementara itu, untuk mengembangkan ekonomi lokal, terutama di daerah perdesaan, langkah tindak lanjut yang diperlukan meliputi (1) peningkatan koordinasi lintas sektor untuk memantapkan kawasan agropolitan yang sudah ada dan mempromosikan pendekatan agropolitan ke lokasi baru terutama kawasan-kawasan potensial di luar pulau Jawa-Bali; (2) peningkatan pengembangan usaha agribisnis yang meliputi mata rantai subsektor hulu (pasokan masukan), on farm (budi daya), hilir (pengolahan), dan jasa penunjang; (3) peningkatan infrastruktur sosial dan ekonomi perdesaan melalui pendekatan pembangunan berbasis masyarakat lokal (community based development); (4) pengembangan budaya usaha dan kewirausahaan terutama bagi angkatan kerja muda perdesaan; (5) pengembangan jaringan kerja sama usaha dan kemitraan antara pelaku usaha besar dan usaha mikro/rumah tangga; (6) peningkatan peran perempuan dalam kegiatan usaha ekonomi produktif di perdesaan; (7) peningkatan pelayanan lembaga keuangan, termasuk lembaga keuangan mikro (LKM), kepada pelaku usaha di perdesaan, antara lain, melalui fasilitasi informasi tentang pelaku usaha potensial di perdesaan, pelindungan status badan hukum LKM, kemudahan perizinan dan pembentukan sistem jaringan antar-LKM serta antara LKM dan bank; dan (8) fasilitasi pengembangan akses masyarakat dalam pemasaran produk hasil usaha pada skala lokal dan regional.
Upaya peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan dan pengembangan ekonomi lokal di perdesaan perlu didukung pula oleh berbagai upaya tindak lanjut yang diperlukan dalam meningkatkan infrastruktur perdesaan (dibahas terperinci dalam Bab 33: Percepatan Pembangunan Infrastruktur), meningkatkan kualitas sumber daya manusia di perdesaan (Bab 27: Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pendidikan yang Lebih Berkualitas dan Bab 28: Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Kesehatan yang Lebih Berkualitas) dan melindungi dan melakukan konservasi sumber daya alam (Bab 32: Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup).






























BAB V
P E N U T U P

Permasalah yang dihadapi dalam pembangunan Desa umumnya berada pada masalah sturktural dan sosial budaya. Adapun masalah yang dihadapi dalam upaya pembanguna di Desa  yaitu : Masalah Sosial Budaya, masalah ekonomi dan masalah geografis. Masalah sosial budaya terdiri dari Rendahnya tingkat pendidikan, Minimnya sarana dan prasarana di pedesaan yaitu Prasarana dan sarana transportasi, Prasarana dan sarana pendidikan yang kurang memadai ,Terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan dan Rendahnya Kesadaran Petani terhadap adopsi inovasi pertanian.Masalah ekonomi terdiri dari Keterbelakangan perekonomian dan Tidak tersedianya permodalan untuk petani dan Harga pupuk yang lumayan tinggi. Selain itu masalah geografisnya yaitu prediksi terhadap iklim yang sulit, keadaan tanah dan letak wilayah.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar