SEJARAH HUKUM
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
A.
Umum
Sejarah Undang-undang Nomor 02 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia .
Rumusan Masalah adalah
sebagai berikut Jaman
Hindia Belanda Kedudukan, tugas, fungsi, organisasi,
hubungan dan tata cara kerja kepolisian pada zaman Hindia Belanda tentu
diabdikan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Sampai jatuhnya Hindia
Belanda, kepolisian tidak pernah sepenuhnya di bawah Departemen Dalam Negeri.
Di Departemen Dalam Negeri memang berkantor “Hoofd van de Dienst der Algemene
Politie” yang hanya bertugas di bidang administrasi/pembinaan, seperti
kepegawaian, pendidikan SPN (Sekolah Polisi Negeri di Sukabumi), dan
perlengkapan kepolisian.
Wewenang operasional
kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts
politie dipertanggungjawabkan
pada procureur generaal (jaksa agung). Pada masa Hindia
Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld
politie (polisi lapangan) , stands politie (polisi kota), cultur
politie (polisi
pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.
Sejalan dengan administrasi
negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa
Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hood
agent(bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie.
Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri
polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Demikian pula dalam praktek
peradilan pidana terdapat perbedaan kandgerechtdan raad
van justitie.
1.
Zaman Pendudukan Jepang
Pada
masa pendudukan Jepang 1942-1945, pemerintahan kepolisan Jepang membagi
Indonesia dalam dua lingkungan kekuasaan, yaitu:
1. Sumatera, Jawa, dan Madura dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang.
2. Indonesia bagian timur dan Kalimantan dikuasai Angkatan Laut Jepang.
Dalam
masa ini banyak anggota kepolisian Bangsa Indonesia menggantikan kedudukan dan
kepangkatan bagi bangsa Belanda sebelumnya. Pusat kepolisian di Jakarta
dinamakan keisatsu bu dan kepalanya disebut keisatsu elucho. Kepolisian untuk
Jawa dan Madura juga berkedudukan di Jakarta, untuk Sumatera berkedudukan di
Bukittinggi, Indonesia bagian timur berkedudukan di Makassar, dan Kalimantan
berkedudukan di Banjarmasin.
Tiap-tiap
kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian
bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut
sidookaan yang dalam praktek lebih berkuasa dari kepala polisi.
Beda
dengan zaman Hindia Belanda yang menganut HIR, pada akhir masa pendudukan
Jepang yang berwenang menyidik hanya polisi dan polisi juga memimpin organisasi
yang disebut keibodan (semacam hansip).
2.
Zaman Revolusi Fisik
Tidak
lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer
Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk
waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang
merdeka.
Inspektur
Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya,
pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan kedudukan polisi sebagai Polisi
Republik Indonesia menyusul dibentuknya Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Pada 29
September 1945 Presiden RI melantik Kepala Kepolisian RI (Kapolri) pertama
Jenderal Polisi R.S. Soekanto. Adapun ikrar Polisi Istimewa tersebutberbunyi:
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17
Agoestoes 1945, dengan ini menyatakan Poelisi Istimewa sebagai Poelisi
Repoeblik Indonesia.”
3.
Kepolisian Pasca Proklamasi
Setelah
proklamasi, tentunya tidak mungkin mengganti peraturan perundang-undangan,
karena masih diberlakukan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda, termasuk
mengenai kepolisian, seperti tercantum dalam peraturan peralihan UUD 1945.
Tanggal
1 Juli 1946 dengan Ketetapan Pemerintah No. 11/SD/1946 dibentuk Djawatan
Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri. Semua
fungsi kepolisian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Negara yang memimpin
kepolisian di seluruh tanah air. Dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional
Indonesia yang sampai hari ini diperingati sebagai Hari Bhayangkara.
Hal
yang menarik, saat pembentukan Kepolisian Negara tahun 1946 adalah jumlah
anggota Polri sudah mencapai 31.620 personel, sedang jumlah penduduk saat itu
belum mencapai 60 juta jiwa. Dengan demikian “police population ratio” waktu
itu sudah 1:500. (Pada 2001, dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, jumlah
polisi hanya 170 ribu personel, atau 1:1.300)
Sebagai
bangsa dan negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di
samping bertugas sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah
RI. Polri menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi
Jenewa. Polisi Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus
untuk perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di
Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI
di Madiun, dan lain-lain.
Pada
masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap
Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh
presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana
menteri.
Pada
masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata
organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI
(PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera
Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 148).
4.
Zaman RIS (Republik Indonesia
Serikat)
Hasil
Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia
Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian
Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI
berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan
Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam
kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan
perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan,
dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.
Umur
RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17
Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150,
organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan
Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian
negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat
kepolisian maupun administratif, organisatoris.
5.
Zaman Demokrasi Parlementer
Dengan
dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950
yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S.
Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.
Waktu
kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas
kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam
Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo
3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan
Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai
sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
Sampai
periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang
memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir
dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam
Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk
organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut
dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini
memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang
memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai
negeri berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan
perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana
gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya
(mengacu standar PBB).
Dalam
periode demokrasi parlementer ini perdana menteri dan kabinet berganti
rata-rata kurang satu tahun. Polri yang otonom di bawah perdana menteri
membenahi organisasi dan administrasi serta membangun laboratorium forensik,
membangun Polisi Perairan (memiliki kapal polisi berukuran 500 ton) dan juga
membangun Polisi Udara serta mengirim ratusan perwira Polri belajar ke luar
negeri, terutama ke Amerika Serikat.
6.
Zaman Demkrasi Terpimpin
Dengan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali
ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD
1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri
Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya
Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara
diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada
tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai
Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959
dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala
Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin
Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu
Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan
Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan
alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959
R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda
Kepolisian, sehingga berakhirlah karir Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29
September 1945 hingga 15 Desember 1959.
Dengan
Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan
Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda
Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama
Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal
19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini
dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat
dengan TNI AD, AL, dan AU.
Dengan
Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL,
Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh
Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962
menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan Menkasak
diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan
langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara.
Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri
ditentukan sebagai berikut:
a. Alat Negara Penegak Hukum.
b. Koordinator Polsus.
c. Ikut serta dalam pertahanan.
d. Pembinaan Kamtibmas.
e. Kekaryaan.
f. Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan
Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi
Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara di tahun
1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden
Soekarno, dan PKI mulai menyusupi mempengaruhi sebagian anggota ABRI dari
keempat angkatan.
7.
Zaman Orde Baru
Karena
pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya
integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun
1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan
Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bindang Pertahanan dan Keamanan yang
menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD,
AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada
Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah
Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab
berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya
integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara
universal memang bukan angkatan perang.
Pada
tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian
diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI,
namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini
diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.
Pada
HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi
Kepala Staf Angkatan. Pada kesempatan tersebut anggota AL danAU memakai tanda
TNI di kerah leher, sedangkan Polri memakai tanda Pol. Maksudnya untuk
menegaskan perbedaan antara Angkatan Perang dan Polisi.
I.Zaman Reformasi
Adanya Ketetapan MPR No.
X/MPR/1998 tentang Reformasi telah melahirkan Inpres No. 2/1999 tanggal 1 April
1999 dalam era Presiden BJ Habibie yang memisahkan Polri dan TNI karena
dirasakan memang terdapat perbedaan fungsi dan cara kerja dihadapkan dengan civil
society. Untuk sementara, waktu itu, Polri masih diletakkan di
bawah Menteri Pertahanan Keamanan. Akan tetapi, karena pada waktu itu Menteri
dan Panglima TNI dijabat orang yang sama (Jenderal TNI Wiranto), maka praktis
pemisahan tidak berjalan efektif.
Sementara
peluang yang lain adalah Ketetapan MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang
menetapkan secara nyata adanya pemisahan Polri dan TNI, yang selanjutnya
diikuti pula oleh Ketetapan MPR No. VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri
secara tegas.
Sementara
itu, sebelum ketetapan-ketetapan tersebut di atas digulirkan, pada HUT
Bhayangkara 1 Juli 2000 dikeluarkan Keppres No. 89/2000 yang melepaskan Polri
dari Dephan dan menetapkan langsung Polri di bawah presiden.
Kendati
Keppres ini sering disoroti sebagai bahaya karena Kepolisian akan digunakan
sewenang-wenang oleh presiden, namun sesungguhnya ia masih bisa dikontrol oleh
DPR dan LKN (Lembaga Kepolisian Nasional) yang merupakan lembaga independen.
Adapun
tantangan yang dihadapi Polri dewasa ini dan ke depan, terutama adalah
perubahan paradigma pemolisian yang sesuai dengan paradigma baru penegakan
hukum yang lebih persuasif di negara demokratis, di mana hukum dan polisi
tidaklah tampil dengan mengumbar ancaman-ancaman hukum yang represif dan kadang
kala menjebak rakyat, melainkan tampil lebih simpatik, ramah, dan familier.
Memberi
peluang tumbuhnya dinamika masyarakat dalam menyelesaikan konfliknya sampai
pada taraf tertentu. Memberi peluang berfungsi dan kuatnya pranata-pranata
sosial dalam masyarakat seperti adanya perasaan malu, perasaan bersalah, dan
perasaan takut bila ia melakukan penyimpangan, sehingga mendorong warga patuh
pada hukum secara alamiah.
Sumber:
Pada tanggal 10 November 1998, diprakarsai oleh para mahasiswa
yang tergabung dalam Forum Komunikasi
Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), ITB
Bandung, Universitas Siliwangi, dan empat tokoh reformasi yaitu Abdurrahman
Wahid, Amien
Rais, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Megawati Soekarnoputri mengadakan dialog nasional di rumah kediaman Abdurrahman
Wahid, Ciganjur,Jakarta
Selatan. Dialog itu menghasilkan 8 butir kesepakatan,
yaitu sebagai berikut:
1.
Mengupayakan terciptanya persatuan dan kesatuan nasional.
2.
Menegakkan kembali kedaulatan rakyat.
3.
Melaksanakan desentralisasi pemerintahan sesuai dengan otonomi
daerah.
4.
Melaksanakan pemilu yang luber dan jurdil guna mengakhiri masa
pemerintahan transisi.
5.
Penghapusan Dwifungsi ABRI secara bertahap
6.
Mengusut pelaku KKN dengan diawali pengusutan KKN yang dilakukan
oleh Soeharto dan kroninya.
7.
Mendesak seluruh anggota Pam Swakarsa untuk membubarkan diri.
embaga hn hukum yaitu keadilan dan
kesejahteraan masyarakat.
Mesla aparat penegak hukum (Struktur
Hukum) tidak baik, maka rasa keadilan d B. Perumusan Masalah.
1.
Mengapa
Kepolisian Negara Republik Indonesia dibentuk?
2.
Bagaimana
lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia dimasa yang akan datang?
1. Sumatera, Jawa, dan Madura dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang.
2. Indonesia bagian timur dan Kalimantan dikuasai Angkatan Laut Jepang.
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menyatakan Poelisi Istimewa sebagai Poelisi Repoeblik Indonesia.”
a. Alat Negara Penegak Hukum.
b. Koordinator Polsus.
c. Ikut serta dalam pertahanan.
d. Pembinaan Kamtibmas.
e. Kekaryaan.
f. Sebagai alat revolusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar