BAB I
SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
Di undangkannya Undang-undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana menjadikan system peradilan di Indonesia ini menganut system
akusator, yaitu pembuktian perkara pidana mengarah kepada pembuktian ilmiah,
serta tersangka sebagai pihak pemeriksaan tindak pidana, dan sytem peradilan
juga terpengaruh oleh due proses model, yaitu: proses hukum yang adil dan
layak serta pengakuan hak-hak tersangka/terdakwa.
Akan tetapi pelaksanaan peradilan pidana
berdasarkan KUHAP ternyata masih belum berjalan lancar, dan masih banyak
kelemahan-kelemahan. Due proses model masih jauh dari harapan bahkan pendekatan inkusator masih mendominasi.
Pendekatan system peradilan pidana
haruslah menyesuaikan dengan karakter masyarakat di mana kejahatan itu terjadi,
karena faktor-faktor penyebab terjadinya
kejahatan itu sangatlah komplek. Pada Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-6
Tahun 1980 dalam pertimbangan resolusi mengenai crime trends and crime
prevention strategies menyatakan:
1. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk mencapai kualitas hidup
yang pantas bagi semua orang.
2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan
sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.
3. Bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah: ketimpangan
sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebuta hurufan (kebodohan)
diantara golongan besar penduduk.
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Remington dan Ohlin
mengemukakan bahwa criminal justice sytem adalah pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana,
dan peradilan pidana sebagai suatu sistem yang merupakan hasil dari interaksi
antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah
laku sosial. Mardjono memberikan batasan pengertian sistem peradilan pidana
adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Menanggulangi disini diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada
dalam batas-batas toleransi masyarakat[1].
2. System hukum secara garis besar dibagi menjadi 2 yaitu:
system hukum anglo saxon
dan sistem continental. Dari kedua system tersebut mempunyai perbedaan yang
cukup besar pada pembangunan system peradilan pidananya, disebabkan akar
falsafah dan politik yang melatar-belakanginya berbeda.
Kedua system ini
dibangun dalam semangat liberalisme namun pendekatan yang di ambil berbeda.
Sistem Anglosaxon memperlihatkan Individualisme dan desentralisme dengan
mengutamakan keadilan serta perlindungan hak-hak individu yang sangat tinggi.
Sedangan system continental bersandar pada prinsip keseragaman, organisasi
birokratik, sentralisasi serta menekankan pada pengembangan secara hati-hati
pada system hukum acara yang memadai, untuk dapat memastikan fakta-fakta, agar
keputusannya dapat di capai secara adil.
System peradilan pidana
dari keduanya itu mempunyai dasar berbeda dari fakta-faktanya, jika Anglosaxon
berdasarkan metode akuisitur dan eropa continental berdasarkan metode
inkuisitor.
Penerapan dari kedua system dan
berdasarkan dengan perbedaan metode itu berjalan dalam waktu yang lama, mapan
dan cocok terhadap masyarakat yang bersangkutan, jadi akuisitur yang cocok di
amerika belum tentu bisa diterapkan di Eropa, begitu sebaliknya.
3. Teori-Teori system peradilan pidana
Dalam system peradilan banyak berbagai
teori yang berkaitan, ada yang menggunakan pendekatan dikotomi ataupun
pendekatan trikotomi.
Umumnya pendekatan dikotomi digunakan oleh
teoritis hukum pidana di Amerika Serikat, yaitu Herbet Packer, seorang ahli
hukum dari Universitas Stanford, dengan pendekatan normatif yang berorientasi
pada nilai-nilai praktis dalam melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana.[2]
Di dalam pendekatan dikotomi terdapat dua
model,diantaranya:
1. Crime control model, pemberantasan kejahatan merupakan fungsi
terpenting dan harus diwujudkan dari suatu proses peradilan pidana. Titik tekan
dari model ini yaitu efktifitas, kecepatan dan kepastian. Pembuktian kesalahan
tersangka sudah diperoleh di dalam proses pemeriksaan oleh petugas kepolisian.
Adapun nilai-nilai yang melandasi crime control model adalah:
a. Tindakan reprensif terhadap suatu tindakan criminal merupakan fungsi
terpenting dari suatu proses peradilan;
b. Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakan hukum
untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau
melindungi hak tersangka dalam proses peradilan;
c. Proses criminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan prinsip
cepat dan tuntas, dan model yang dapat mendukung proses penegakan hukum
tersebut adalah model administratif dan merupakan model manajerial;
d. Asas praduga bersalah akan menyebabkan system ini dilaksanakan secara
efisien;
e. Proses penegakan hukum harus menitik beratkan kepada kualitas temuan-temuan
fakta administrative, oleh karena temuan tersebut akan membawa kearah:
1) Pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau
2) Kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah.
2. Due process model, model ini menekankan seluruh temuan-temuan
fakta dari suatu kasus yang diperoleh melalui prosedur formal yang sudah
ditetapkan oleh undang-undang. prosedur itu penting dan tidak boleh diabaikan,
melalui suatu tahapan pemeriksaan yang ketat mulai dari penyidikan,
penangkapan, penahanan dan peradilan serta adanya suatu reaksi untuk setiap
tahapan pemeriksaan, maka dapat diharapkan seorang tersangka yang nyata-nyata
tidak bersalah akan dapat memperoleh kebebasan dari tuduhan melakukan
kejahatan.
Adapun nilai-nilai yang terkandung di dalam model ini adalah
a. Mengutamakan, formal-adjudicative dan adversary fact-findings, hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka
pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak
yang penuh untuk mengajukan pembelaannya;
b. Menekankan pada pencegahan dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan
mekanisme administrasi peradilan;
c. Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaanya sampai
pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memilih
potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaanya yang koersif dari Negara;
d. Memegang teguh doktrin legal audit,yaitu:
1) Seorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya dilakukan secara
procedural dan dilakukkan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas itu;
2) Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan
memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-undang kepada orang
yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahan seseorang hanya dapat
dilakukan oleh pengadilan yang tidak memihak
e. Gagasan persamaan di muka hukum lebih diutamakan
f. Lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.
Konsep due process model, sangat menjunjung tinggi supremasi hukum, dalam perkara pidana tidak ada
seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum.
Pendekatan trikotomi , pendekitan ini di
bawa oleh Denis Szabok Direktur the international centre for
comparative criminology, the University of Montreal, Canada dalam
Komperensi UNAFEI di fuchu, Tokyo, jepang bulan Desember 1982.
[1] Trisno Raharjo,MEDIASI PIDANA DALAM
SISTEM PERADILAN PIDANA,(Yogyakarta:Mata Padi Pressindo,2011),hlm.3
Sistem peradilan pidana di indonesia yang berdasarkan Undang-undang Nomor 8
tahun 1981, memiliki sepuluh asas sebagai berikut:
1. Perlakuan yang sama
dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun;
2. Asas praduga tak
bersalah;
3. Hak untuk memperoleh
kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi
4. Hak untuk memperoleh
bantuan hukum;
5. Hak kehadiran terdakwa
di muka pengadilan;
6. Peradilan yang bebas dan
dilakukan dengan cepat dan sedehana;
7. Peradilan yang terbuka
untuk umum;
8. Pelanggaran atas hak-hak
warga negara (penangkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan) harus
didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
9. Hak seseorang tersangka
untuk diberikan bantuan tentang prasangkaan dan pendakwaan terhadapnya;
10. Kewajiban pengadilan dan
mengendalikan putusannya.
Asas persamaan atau kesederajatan dimuka
hukum, ini berarti tidak ada perbedaan perlakuan terhadap siapapun juga Pasal 5
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dengan tegas menyebutkan;
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membedakan orang.
Dalam perkara perdata pengadilan membantu
para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan
dan rintangan untuk dapat terciptanya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan.
Penjelasan umum angka 3 huruf a KUHAP
mengatakan: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan
tidak mengadakan perbedaan perlakuan’.
Asas Praduga Tak bersalah (Presumption of innocence) Asas ini disebut dalam undang-undang Nomor
14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan juga
dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP yang berbunyi:
Setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut dan atau dihadapkan dimuka
persidangan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam perundang-undangan pidana khusus terutama
Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, Pasal 17 terutama perlu
diperhatikan ayat 1 dan 4 berikutnya.
Hakim dapat memperkenalkan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan
memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan
tindak pidana korupsi”ayat (1)
Tujuan Sistem Peradilan Pidana
Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk juga tindak pidana korupsi, selain dibutuhkan seperangkat peraturan perundang-undangan, dibutuhkan juga instrumen penggeraknya, yaitu institusi-institusi penegak hukum dan implementasinya melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem, yaitu sistem peradilan pidana (criminal justice system). Lebih lanjut Muladi menyatakan sistem peradilan pidana mempunyai dimensi ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkat tertentu (crime containment system). Di lain pihak juga berfungsi untuk pencegahan skunder (secondary prevention), yakni mencoba mengurangi kriminalitas di kalangan mereka yang pernah melakukan tindak pidana dan mereka yang bermaksud melakukan kejahatan, melalui proses deteksi, pemidanaan dan pelaksanaan pidana.
Berkaitan dengan sistem hukum, Fuller mengajukan suatu pendapat untuk mengukur apakah kita pada suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum. Ukuran tersebut diletakannya pada delapan asas yang dinamakannya principles of legality, yaitu :
1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, yang dimaksud di sini adalah bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjamin pedoman tingkah laku. Membolehkan peraturan secara berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan seorang akan kehilangan orientasinya.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Lebih lanjut Fuller menyatakan, bahwa kegagalan untuk menciptakan sistem yang demikian itu bukan hanya melahirkan sistem hukum yang jelek, melainkan juga suatu yang tidak bisa disebut sistem hukum sama sekali. Sebagai sebuah sistem, maka sistem peradilan pidana bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang menyatu. Oleh karena itu sistem peradilan pidana memerlukan kombinasi yang serasi antar subsistem untuk mencapai satu tujuan.
Sistem peradilan pidana dilihat dari segi tujuan sistem itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu jaringan kerja yang ada dalam masyarakat atau negara yang dibentuk secara sadar dalam rangka untuk mengendalikan kejahatan, agar kejahatan yang ada dalam masyarakat masih berada dalam tingkat yang dapat diterima.
Menurut Yahya Harahap, tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan : pertama, mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan ; kedua, menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana ; dan ketiga, berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Robert D. Pursley, membedakan tujuan sistem peradilan pidana atas tujuan utama dan tujuan penting lainnya, yaitu :
1. Tujuan utama, diantaranya untuk melindungi warga masyarakat dan untuk memelihara ketertiban masyarakat.
2. Tujuan penting lainnya adalah sebagai berikut :
a. mencegah kejahatan ;
b. menekan prilaku yang jahat dengan cara menahan para pelanggar dengan mana mencegah mereka untuk melakukan kejahatan sudah tidak mempan (tidak efektif) lagi ;
c. meninjau keabsahan dari tindakan atau langkah yang telah dilakukan di dalam mencegah dan menekan kejahatan ;
d. menempatkan secara sah apakah bersalah mereka yang ditahan, atau tidak ;
e. menempatkan secara pantas atau layak mereka yang secara sah telah dinyatakan bersalah ;
f. membina atau memperbaiki para pelanggar hukum.
Bertitik tolak dari pendapat tersebut di atas, dapatlah dikatakan tujuan dalam sistem peradilan pidana merupakan hal yang menentukan keberhasilan sistem tersebut. Masing-masing subsistem peradilan pidana harus memiliki persepsi yang sama terhadap tujuan tersebut. Selain itu, setiap kewenangan dan tindakan yang dilakukan masing-masing subsistem harus mengarah kepada tujuan tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kenet J. Peak :
”Each system component police, court and correction have vary degree of responsibility and discretion dealing with crime. However, there is a failure of each system component to engage ini any coordinated planning effort, hence relations among and between these components are often characterized by friction, conflict, and deficient communication. Role conflicts also serve to ensure that planning and communication are stified”.
Artinya, masing-masing komponen sistem harus mempunyai kesamaan tingkat tanggung jawab dan pertimbangan dalam menangani suatu perkara kejahatan. Perlu adanya koordinasi dan perencanaan, karena dalam hubungan dengan subsistem lain sering terjadi adanya konflik oleh karena itu komunikasi saja tidak cukup. Pembagian kewenangan harus jelas agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antar subsistem.
Meskipun masing-masing komponen subsistem memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda tetapi dalam kerangka sistem peradilan pidana masing-masing subsistem mempunyai tujuan yang sama. Keterkaitan keberhasilan kerja masing-masing subsistem satu dengan yang lainnya akan berdampak pada hasil kerja subsistem yang lain dalam menegakan hukum dan keadilan. Kebutuhan akan aparat penegak hukum untuk menjalankan tugas memerlukan wewenang atau otoritas untuk menjalankannya. Dengan kewenangan yang ada diharapkan dapat digunakan untuk memerangi kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat.
Jadi pada hakekatnya dibentuknya sistem peradilan pidana mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan internal sistem dan tujuan eksternal. Tujuan internal, agar terciptanya keterpaduan atau sinkronisasi antar subsistem-subsistem dalam tugas menegakkan hukum. Sedangkan tujuan eksternal untuk melindungi hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana sejak proses penyelidikan sampai proses pemidanaan. Dengan demikian, sebenarnya tujuan dari sistem peradilan pidana baru selesai apabila pelaku kejahatan telah kembali terintegrasi ke dalam masyarakat, hidup sebagai anggota masyarakat umumnya yang taat pada hukum.
Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk juga tindak pidana korupsi, selain dibutuhkan seperangkat peraturan perundang-undangan, dibutuhkan juga instrumen penggeraknya, yaitu institusi-institusi penegak hukum dan implementasinya melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem, yaitu sistem peradilan pidana (criminal justice system). Lebih lanjut Muladi menyatakan sistem peradilan pidana mempunyai dimensi ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkat tertentu (crime containment system). Di lain pihak juga berfungsi untuk pencegahan skunder (secondary prevention), yakni mencoba mengurangi kriminalitas di kalangan mereka yang pernah melakukan tindak pidana dan mereka yang bermaksud melakukan kejahatan, melalui proses deteksi, pemidanaan dan pelaksanaan pidana.
Berkaitan dengan sistem hukum, Fuller mengajukan suatu pendapat untuk mengukur apakah kita pada suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum. Ukuran tersebut diletakannya pada delapan asas yang dinamakannya principles of legality, yaitu :
1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, yang dimaksud di sini adalah bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjamin pedoman tingkah laku. Membolehkan peraturan secara berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan seorang akan kehilangan orientasinya.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Lebih lanjut Fuller menyatakan, bahwa kegagalan untuk menciptakan sistem yang demikian itu bukan hanya melahirkan sistem hukum yang jelek, melainkan juga suatu yang tidak bisa disebut sistem hukum sama sekali. Sebagai sebuah sistem, maka sistem peradilan pidana bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang menyatu. Oleh karena itu sistem peradilan pidana memerlukan kombinasi yang serasi antar subsistem untuk mencapai satu tujuan.
Sistem peradilan pidana dilihat dari segi tujuan sistem itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu jaringan kerja yang ada dalam masyarakat atau negara yang dibentuk secara sadar dalam rangka untuk mengendalikan kejahatan, agar kejahatan yang ada dalam masyarakat masih berada dalam tingkat yang dapat diterima.
Menurut Yahya Harahap, tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan : pertama, mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan ; kedua, menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana ; dan ketiga, berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Robert D. Pursley, membedakan tujuan sistem peradilan pidana atas tujuan utama dan tujuan penting lainnya, yaitu :
1. Tujuan utama, diantaranya untuk melindungi warga masyarakat dan untuk memelihara ketertiban masyarakat.
2. Tujuan penting lainnya adalah sebagai berikut :
a. mencegah kejahatan ;
b. menekan prilaku yang jahat dengan cara menahan para pelanggar dengan mana mencegah mereka untuk melakukan kejahatan sudah tidak mempan (tidak efektif) lagi ;
c. meninjau keabsahan dari tindakan atau langkah yang telah dilakukan di dalam mencegah dan menekan kejahatan ;
d. menempatkan secara sah apakah bersalah mereka yang ditahan, atau tidak ;
e. menempatkan secara pantas atau layak mereka yang secara sah telah dinyatakan bersalah ;
f. membina atau memperbaiki para pelanggar hukum.
Bertitik tolak dari pendapat tersebut di atas, dapatlah dikatakan tujuan dalam sistem peradilan pidana merupakan hal yang menentukan keberhasilan sistem tersebut. Masing-masing subsistem peradilan pidana harus memiliki persepsi yang sama terhadap tujuan tersebut. Selain itu, setiap kewenangan dan tindakan yang dilakukan masing-masing subsistem harus mengarah kepada tujuan tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kenet J. Peak :
”Each system component police, court and correction have vary degree of responsibility and discretion dealing with crime. However, there is a failure of each system component to engage ini any coordinated planning effort, hence relations among and between these components are often characterized by friction, conflict, and deficient communication. Role conflicts also serve to ensure that planning and communication are stified”.
Artinya, masing-masing komponen sistem harus mempunyai kesamaan tingkat tanggung jawab dan pertimbangan dalam menangani suatu perkara kejahatan. Perlu adanya koordinasi dan perencanaan, karena dalam hubungan dengan subsistem lain sering terjadi adanya konflik oleh karena itu komunikasi saja tidak cukup. Pembagian kewenangan harus jelas agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antar subsistem.
Meskipun masing-masing komponen subsistem memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda tetapi dalam kerangka sistem peradilan pidana masing-masing subsistem mempunyai tujuan yang sama. Keterkaitan keberhasilan kerja masing-masing subsistem satu dengan yang lainnya akan berdampak pada hasil kerja subsistem yang lain dalam menegakan hukum dan keadilan. Kebutuhan akan aparat penegak hukum untuk menjalankan tugas memerlukan wewenang atau otoritas untuk menjalankannya. Dengan kewenangan yang ada diharapkan dapat digunakan untuk memerangi kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat.
Jadi pada hakekatnya dibentuknya sistem peradilan pidana mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan internal sistem dan tujuan eksternal. Tujuan internal, agar terciptanya keterpaduan atau sinkronisasi antar subsistem-subsistem dalam tugas menegakkan hukum. Sedangkan tujuan eksternal untuk melindungi hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana sejak proses penyelidikan sampai proses pemidanaan. Dengan demikian, sebenarnya tujuan dari sistem peradilan pidana baru selesai apabila pelaku kejahatan telah kembali terintegrasi ke dalam masyarakat, hidup sebagai anggota masyarakat umumnya yang taat pada hukum.
Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027071-tujuan-sistem-peradilan-pidana/#ixzz2iJnIIPAf
Komponen Sistem Peradilan Pidana
Perkembangan yang terjadi telah menempatkan kejaksaan sebagai salah satu bagian tersendiri dari sistem peradilan pidana, sehingga kini dikenal 4 (empat) komponen peradilan pidana yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Namun, dengan memperhatikan tujuan hukum pidana, pembuat undang-undang dan advokat juga mempunyai peran penting dalam sistem peradilan pidana.
Di Indonesia yang mendasari bekerjanya komponen sistem peradilan pidana di atas mengacu kepada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 atau KUHAP. Tugas dan wewenang masing-masing komponen (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, termasuk Advokat) dalam sistem peradilan pidana tersebut dimulai dari penyidikan hingga pelaksanaan hukuman menurut KUHAP sebagai berikut :
a. Kepolisian
Kepolisian sebagai subsistem peradilan pidana diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Sesuai Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut kepolisian mempunyai tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan dalam peradilan pidana, kepolisian memiliki kewenangan khusus sebagai penyidik yang secara umum diatur dalam Pasal 15 dan 16 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 dan dalam hukum acara pidana diatur dalam Pasal 5-7 KUHAP.
Sebelum berlakunya KUHAP, yaitu pada masa HIR, tugas untuk melakukan penyidikan diberikan kepada lembaga kejaksaan, polisi hanya sebatas sebagai pembantu jaksa menyidik, tetapi setelah berlaku KUHAP maka tugas dan wewenang Kejaksaan di Indonesia dalam hal penyidikan telah beralih ke pihak Kepolisian. Oleh karena itu, mengenai tugas dan kekuasaan dalam menangani penyidikan adalah menjadi tanggung jawab kepolisian, terutama dalam usaha mengungkap setiap tindak kejahatan mulai sejak awal hingga selesai terungkap berdasarkan penyelidikannya.
b. Kejaksaan
Dalam perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia, lembaga kejaksaan merupakan bagian dari lembaga eksekutif yang tunduk kepada Presiden. Akan tetapi, apabila dilihat dari segi fungsinya, kejaksaan merupakan bagian dari lembaga yudikatif. Hal ini dapat diketahui dari redaksi Pasal 24 Amandemen Ketiga UUD Negara RI 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Penegasan mengenai badan-badan peradilan lain diperjelas dalam Pasal 41 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lain diatur dalam undang-undang.”
Sebagai subsistem peradilan pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang dibidang pidana sebagaimana diatur Pasal 14 KUHAP, yaitu :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu ;
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik ;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik ;
d. membuat surat dakwaan ;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan ;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan ;
g. melakukan penuntutan ;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum ;
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini ;
j. melaksanakan penetapan hakim.
c. Pengadilan
Keberadaan lembaga pengadilan sebagai subsistem peradilan pidana diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 Undang-undang tersebut memberi definisi tentang kekuasaan kehakiman sebagai berikut:
“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.”
Sesuai dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tersebut dan KUHAP, tugas Pengadilan adalah menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dalam memeriksa seseorang terdakwa, hakim bertitik tolak pada surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum, dan mendasarkan pada alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP. Kemudian dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti dan keyakinannya, hakim menjatuhkan putusannya.
d. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang mengubah sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsep umum mengenai pemidanaan.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dinyatakan bahwa Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan
e. Advokat (Penasehat Hukum)
Lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menjadi landasan hukum penting bagi profesi Advokat sebagai salah satu pilar penegak hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tersebut, yang menyatakan bahwa Advokat berstatus penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 lebih ditegaskan lagi, bahwa yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainya dalam menegakan hukum dan keadilan.
Di Indonesia bekerjanya sistem peradilan pidana tercermin dari berjalannya komponen sistem peradilan pidana yang terdiri atas 4 (empat) unsur, yaitu : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan secara sistemik.
Perkembangan yang terjadi telah menempatkan kejaksaan sebagai salah satu bagian tersendiri dari sistem peradilan pidana, sehingga kini dikenal 4 (empat) komponen peradilan pidana yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Namun, dengan memperhatikan tujuan hukum pidana, pembuat undang-undang dan advokat juga mempunyai peran penting dalam sistem peradilan pidana.
Di Indonesia yang mendasari bekerjanya komponen sistem peradilan pidana di atas mengacu kepada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 atau KUHAP. Tugas dan wewenang masing-masing komponen (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, termasuk Advokat) dalam sistem peradilan pidana tersebut dimulai dari penyidikan hingga pelaksanaan hukuman menurut KUHAP sebagai berikut :
a. Kepolisian
Kepolisian sebagai subsistem peradilan pidana diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Sesuai Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut kepolisian mempunyai tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan dalam peradilan pidana, kepolisian memiliki kewenangan khusus sebagai penyidik yang secara umum diatur dalam Pasal 15 dan 16 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 dan dalam hukum acara pidana diatur dalam Pasal 5-7 KUHAP.
Sebelum berlakunya KUHAP, yaitu pada masa HIR, tugas untuk melakukan penyidikan diberikan kepada lembaga kejaksaan, polisi hanya sebatas sebagai pembantu jaksa menyidik, tetapi setelah berlaku KUHAP maka tugas dan wewenang Kejaksaan di Indonesia dalam hal penyidikan telah beralih ke pihak Kepolisian. Oleh karena itu, mengenai tugas dan kekuasaan dalam menangani penyidikan adalah menjadi tanggung jawab kepolisian, terutama dalam usaha mengungkap setiap tindak kejahatan mulai sejak awal hingga selesai terungkap berdasarkan penyelidikannya.
b. Kejaksaan
Dalam perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia, lembaga kejaksaan merupakan bagian dari lembaga eksekutif yang tunduk kepada Presiden. Akan tetapi, apabila dilihat dari segi fungsinya, kejaksaan merupakan bagian dari lembaga yudikatif. Hal ini dapat diketahui dari redaksi Pasal 24 Amandemen Ketiga UUD Negara RI 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Penegasan mengenai badan-badan peradilan lain diperjelas dalam Pasal 41 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lain diatur dalam undang-undang.”
Sebagai subsistem peradilan pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang dibidang pidana sebagaimana diatur Pasal 14 KUHAP, yaitu :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu ;
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik ;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik ;
d. membuat surat dakwaan ;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan ;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan ;
g. melakukan penuntutan ;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum ;
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini ;
j. melaksanakan penetapan hakim.
c. Pengadilan
Keberadaan lembaga pengadilan sebagai subsistem peradilan pidana diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 Undang-undang tersebut memberi definisi tentang kekuasaan kehakiman sebagai berikut:
“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.”
Sesuai dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tersebut dan KUHAP, tugas Pengadilan adalah menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dalam memeriksa seseorang terdakwa, hakim bertitik tolak pada surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum, dan mendasarkan pada alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP. Kemudian dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti dan keyakinannya, hakim menjatuhkan putusannya.
d. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang mengubah sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsep umum mengenai pemidanaan.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dinyatakan bahwa Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan
e. Advokat (Penasehat Hukum)
Lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menjadi landasan hukum penting bagi profesi Advokat sebagai salah satu pilar penegak hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tersebut, yang menyatakan bahwa Advokat berstatus penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 lebih ditegaskan lagi, bahwa yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainya dalam menegakan hukum dan keadilan.
Di Indonesia bekerjanya sistem peradilan pidana tercermin dari berjalannya komponen sistem peradilan pidana yang terdiri atas 4 (empat) unsur, yaitu : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan secara sistemik.
SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA
Berdasarkan undang – undang dasar 1945 sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka.
2. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)
3. Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan majelis permusyawaratan rakyat.
4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi dibawah MPR. Dalam menjalankan pemerintahan Negara kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan prsiden.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden harus mendapat persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam membentuk undang – undang dan untuk menetapkan anggaran dan belanja Negara.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden yang mengangkat dan memberhentikan mentri Negara. Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR.
7. Kekuasaan kepala Negara tidak terbatas. presiden harus memperhatikan dengan sungguh – sungguh usaha DPR.
Kekuasaan pemerintahan Negara Indonesia menurut undang–undang dasar 1 sampai dengan pasal 16. pasal 19 sampai dengan pasal 23 ayat (1) dan ayat (5), serta pasal 24 adalah:
1. Kekuasaan menjalan perundang – undangan Negara atau kekuasaan eksekutif yang dilakukan oleh pemerintah.
2. Kekuasaan memberikan pertimbangan kenegaraan kepada pemerintah atau kekuasaan konsultatif yang dilakukan oleh DPA.
3. Kekuasaan membentuk perundang – undang Negara atau kekuasaan legislatif yang dilakukan oleh DPR.
4. Kekuasaan mengadakan pemeriksaan keuangan Negara atau kekuasaan eksaminatif atau kekuasaan inspektif yang dilakukan oleh BPK.
5. Kekuasaan mempertahankan perundang – undangan Negara atau kekuasaan yudikatif yang dilakukan oleh MA.
Berdasarkan ketetapan MPR nomor III / MPR/1978 tentang kedudukan dan hubungan tata kerja lembaga tertinggi Negara dengan atau antara Lembaga – lembaga Tinggi Negara ialah sebagai berikut.
1. Lembaga tertinggi Negara adalah majelis permusyawaratan rakyat. MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Negara dengan pelaksana kedaulatan rakyat memilih dan mengangkat presiden atau mandataris dan wakil presiden untuk melaksanakan garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan putusan – putusan MPR lainnya. MPR dapat pula diberhentikan presiden sebelum masa jabatan berakhir atas permintaan sendiri, berhalangan tetap sesuai dengan pasal 8 UUD 1945, atau sungguh – sungguh melanggar haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR.
2. Lembaga – lembaga tinggi Negara sesuai dengan urutan yang terdapat dalam UUD 1945 ialah presiden (pasal 4 – 15), DPA (pasal 16), DPR (pasal 19-22), BPK (pasal 23), dan MA (pasal 24).
a. Presiden adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah MPR. Dalam melaksanakan kegiatannya dibantu oleh seorang wakil presiden. Presiden atas nama pemerintah (eksekutif) bersama – sama dengan DPR membentuk UU termasuk menetapkan APBN. Dengan persetujuan DPR, presiden dapat menyatakan perang.
b. Dewan pertimbangan Agung (DPA) adalah sebuah bahan penasehat pemerintah yang berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan presien. Selain itu DPA berhak mengajukan pertimbangan kepada presiden.
c. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebauh badan legislative yang dipilih oleh masyarakat berkewajiban selain bersama – sama dengan presiden membuat UU juga wajib mengawasi tindakkan – tindakan presiden dalam pelaksanaan haluan Negara.
d. Badan pemeriksa keuangan (BPK) ialah Badan yang memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara. Dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. BPK memriksa semua pelaksanaan APBN. Hasil pemeriksaannya dilaporkan kepada DPR.
e. Mehkamah Agung (MA) adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainnya. MA dapat mempertimbangkan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak diminta kepada kepada lembaga – lembaga tinggi Negara.
Untuk memperjelas bagaimana hubungan antara lembaga tertinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara dan lembaga tinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara lainnya menurut UUD 1945, perhatikan dengan seksama bagan – bagan dibawah ini yang di elaborasi oleh kansil.:
EKSEKUTIF
Kekuasaan pemerintah (eksekutif) diatur dalam UUD 1945 pada BAB II pasal 4 sampai dengan pasal 15. Pemerintahan republic Indonesia terdiri dari Aparatur pemerintah republic Indonesia terdiri dari Aparatur Pemerintah Pusat, Aperatur Pemrintah daerah dan usaha – usaha Negara. Aperatur pemrintah pusat terdiri dari :
a. Kepresidenan beserta Aparatur utamanya meliputi :
1) Presiden sebagai kepala Negara merangkap kepala pemerintahan (eksekutif).
2) Wakil presiden
3) Menteri – menteri Negara / lembaga non departemen. Menurut keputusan prsiden Republik Indonesia nomor 102 Tahun 2001 tanggal 13 september 2001 bahwa departemen merupakan unsure pelaksana pemerintah yang di pimpin oleh seorang menteri Negara yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Departemen luar negeri, departemen pertahanan dan dewpartemen lainnya.
4) Kejaksaan agung
5) Sekretariat Negara
6) Dewan – dewan nasional
7) Lembaga – lembaga non departemen menurut keputusan presiden RI nomor 166 tahun 2000, seperti publik Indonesia (ANRI), LAN, BKN, dan perpunas, dan lain – lain.
Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2026005-makalah-sistem-pemerintahan-indonesia/#ixzz2iJwSRuV0
Berdasarkan undang – undang dasar 1945 sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka.
2. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)
3. Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan majelis permusyawaratan rakyat.
4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi dibawah MPR. Dalam menjalankan pemerintahan Negara kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan prsiden.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden harus mendapat persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam membentuk undang – undang dan untuk menetapkan anggaran dan belanja Negara.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden yang mengangkat dan memberhentikan mentri Negara. Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR.
7. Kekuasaan kepala Negara tidak terbatas. presiden harus memperhatikan dengan sungguh – sungguh usaha DPR.
Kekuasaan pemerintahan Negara Indonesia menurut undang–undang dasar 1 sampai dengan pasal 16. pasal 19 sampai dengan pasal 23 ayat (1) dan ayat (5), serta pasal 24 adalah:
1. Kekuasaan menjalan perundang – undangan Negara atau kekuasaan eksekutif yang dilakukan oleh pemerintah.
2. Kekuasaan memberikan pertimbangan kenegaraan kepada pemerintah atau kekuasaan konsultatif yang dilakukan oleh DPA.
3. Kekuasaan membentuk perundang – undang Negara atau kekuasaan legislatif yang dilakukan oleh DPR.
4. Kekuasaan mengadakan pemeriksaan keuangan Negara atau kekuasaan eksaminatif atau kekuasaan inspektif yang dilakukan oleh BPK.
5. Kekuasaan mempertahankan perundang – undangan Negara atau kekuasaan yudikatif yang dilakukan oleh MA.
Berdasarkan ketetapan MPR nomor III / MPR/1978 tentang kedudukan dan hubungan tata kerja lembaga tertinggi Negara dengan atau antara Lembaga – lembaga Tinggi Negara ialah sebagai berikut.
1. Lembaga tertinggi Negara adalah majelis permusyawaratan rakyat. MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Negara dengan pelaksana kedaulatan rakyat memilih dan mengangkat presiden atau mandataris dan wakil presiden untuk melaksanakan garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan putusan – putusan MPR lainnya. MPR dapat pula diberhentikan presiden sebelum masa jabatan berakhir atas permintaan sendiri, berhalangan tetap sesuai dengan pasal 8 UUD 1945, atau sungguh – sungguh melanggar haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR.
2. Lembaga – lembaga tinggi Negara sesuai dengan urutan yang terdapat dalam UUD 1945 ialah presiden (pasal 4 – 15), DPA (pasal 16), DPR (pasal 19-22), BPK (pasal 23), dan MA (pasal 24).
a. Presiden adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah MPR. Dalam melaksanakan kegiatannya dibantu oleh seorang wakil presiden. Presiden atas nama pemerintah (eksekutif) bersama – sama dengan DPR membentuk UU termasuk menetapkan APBN. Dengan persetujuan DPR, presiden dapat menyatakan perang.
b. Dewan pertimbangan Agung (DPA) adalah sebuah bahan penasehat pemerintah yang berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan presien. Selain itu DPA berhak mengajukan pertimbangan kepada presiden.
c. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebauh badan legislative yang dipilih oleh masyarakat berkewajiban selain bersama – sama dengan presiden membuat UU juga wajib mengawasi tindakkan – tindakan presiden dalam pelaksanaan haluan Negara.
d. Badan pemeriksa keuangan (BPK) ialah Badan yang memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara. Dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. BPK memriksa semua pelaksanaan APBN. Hasil pemeriksaannya dilaporkan kepada DPR.
e. Mehkamah Agung (MA) adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainnya. MA dapat mempertimbangkan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak diminta kepada kepada lembaga – lembaga tinggi Negara.
Untuk memperjelas bagaimana hubungan antara lembaga tertinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara dan lembaga tinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara lainnya menurut UUD 1945, perhatikan dengan seksama bagan – bagan dibawah ini yang di elaborasi oleh kansil.:
EKSEKUTIF
Kekuasaan pemerintah (eksekutif) diatur dalam UUD 1945 pada BAB II pasal 4 sampai dengan pasal 15. Pemerintahan republic Indonesia terdiri dari Aparatur pemerintah republic Indonesia terdiri dari Aparatur Pemerintah Pusat, Aperatur Pemrintah daerah dan usaha – usaha Negara. Aperatur pemrintah pusat terdiri dari :
a. Kepresidenan beserta Aparatur utamanya meliputi :
1) Presiden sebagai kepala Negara merangkap kepala pemerintahan (eksekutif).
2) Wakil presiden
3) Menteri – menteri Negara / lembaga non departemen. Menurut keputusan prsiden Republik Indonesia nomor 102 Tahun 2001 tanggal 13 september 2001 bahwa departemen merupakan unsure pelaksana pemerintah yang di pimpin oleh seorang menteri Negara yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Departemen luar negeri, departemen pertahanan dan dewpartemen lainnya.
4) Kejaksaan agung
5) Sekretariat Negara
6) Dewan – dewan nasional
7) Lembaga – lembaga non departemen menurut keputusan presiden RI nomor 166 tahun 2000, seperti publik Indonesia (ANRI), LAN, BKN, dan perpunas, dan lain – lain.
Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2026005-makalah-sistem-pemerintahan-indonesia/#ixzz2iJwSRuV0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar