Minggu, 25 Mei 2014

PERBANDINGAN PENGATURAN PIDANA SEUMUR HIDUP DI INDONESIA DAN SAUDI ARABIA



PERBANDINGAN PENGATURAN PIDANA SEUMUR HIDUP DI INDONESIA DAN SAUDI ARABIA

TUGAS



DI SUSUN OLEH:
DADANG DJOKO KARYANTO
NIM. B20011086



PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2013

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan meningkatkan owareness masyarakat dunia akan Hak Asasi Manusia maka perdebakan tentang masih digunakannya pidana mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan di berbagai negara semakin gencar. Terpusatnya perhatian pemikir-pemikir hukum dunia pada pidana mati tersebut menyebabkan pidana seumur hidup dan bentuk pemidanaan lainnya kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat dunia" meskipun pada prakteknya seringkali masyarakat mengakui kekurang-pahamannya terhadap perumusan dan pelaksanaan dari pidana seumur hidup itu sendiri secara jelas. Dimana kecenderungan yang terjadi masyarakat awam hukum di Indonesia (misalnya) sering mengartikan "seumur hidup" sebagaimana keterangan sama dengan umur (hidup) pelaku (tindak pidana) pada saat melakukan tindak pidana[1]. Misperception tersebut terjadi bukan hanya karena sedikitnya transfer of information tentang pidana seumur hidup kepada masyarakat akan tetapi lebih lanjut ternyata perumusan pidana seumur hidup sebagai salah satu bentuk pemidanaan di Indonesia juga memiliki permasalahan dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, di mana salah satunya adalah pengaturan tentang pidana seumur hidup dalam perundang-undangan pidana di lndonesia tidak memberikan kemungkinan modifikasi atas pertimbangan adanya perubahan atau perbaikan pada diri pelaku tindak pidana selama menjalani pidananya.
Atas dasar hal tersebut penulis tergerak untuk membahas mengenai pengaturan pidana seumur hidup dalam hukum pidana Indonesia untuk kemudian penulis bandingkan dengan pengaturan pidana seumur hidup di negara kerajaan Saudi Arabia. Penulis memilih kerajaan Saudi Arabia sebagai negara yang dalam pengaturan  pidana seumur hidup memiliki ke khasan  jika diperbandingkan dengan pidana seumur hidup di Indonesia, oleh karena itu dalam makalah ini sudah barang tentu kerajaan Saudi Arabia memiliki suatu sistem hukum yang sama dengan Indonesia yaitu Civil Low Sytem[2]. Mengingat dalam sejarahnya kerajaan Saudi Arabia dan negara Amerika Latin umumnya pernah mengalami kolonialisasi oleh Spanyol yang notabene merupakan negara eropa continental sehingga root of law system-nya pun merujuk pada hukum eropa continental. Persamaan sistem hukum tersebut menggugah penulis untuk melakukan perbandingan hukum[3] dengan memperbandingkan pengaturan tentang pidana seumur hidup di negara  Indonesia dan  kerajaan  Saudi Arabia, seiring dengan hal tersebut diatas agar penulis mampu menilai pengaturan pidana seumur hidup di Indonesia secara obyektif dan membuka cakrawala wawasan penulis tentang pembahasan serupa di negara lain yaitu kerajaan Saudi Arabia sehingga dari perbandingan tersebut diharapkan makalah ini dapat memberi masukan tentang pengaturan  pidana seumur hidup di Indonesia dalam RUU KUHP mendatang.

B. Perumusan Masalah
Dari uraian diatas terdapat permasalahan-permasalahan yang memerlukan suatu kajian lebih lanjut. Jawaban-jawaban atas permasalahan ini akan menjadi suatu penjelasan teoritis sekaligus paradigma pengembangan selanjutnya, permasalahan yang dimaksud itu disusun dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah pengaturan pidana seumur hidup di Indonesia?
2.      Bagaimanakah pengaturan pidana seumur hidup di Saudi Arabia?
3.      Bagaimanakah pengaturan pidana seumur hidup dalam RUU KUHP?

C. Metode Penulisan
Untuk mempermudah dan memberikan gambaran secara menyeluruh dengan jelas isi makalah ini. Maka metode penulisan makalah ini diuraikan dalam bab per bab. Untuk Bab I merupakan pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah dengan metode penulisan mengutamakan pola pikir induksi yang mana melihat permasalahan secara khusus dan ditarik kesimpulan secara umum. Bab II merupakan tinjauan pustaka terdiri dari kerangka konsepsional dan kerangka teoritis dengan metode penulisan deduksi yang mana melihat permasalahan secara umum dan ditarik kesimpulan secara khusus. Bab III merupakan pembahasan terdiri dari Pengaturan Pidana Seumur Hidup di Indonesia dan Pengaturan Pidana Seumur Hidup di kerajaan Saudi Arabia dengan metode penulisan menggunakan pola pikir induksi yang mana permasalahan yang dibahas secara khusus dan ditarik kesimpulan secara umum yang dihubungkan dengan Proyeksi Pengaturan Pidana Seumur Hidup Dalam RUU KUHP Indonesia. Bab IV merupakan penutup berisikan kesimpulan dan saran.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Konsepsional
Berbicara mengenai pidana seumur hidup yang merupakan bentuk dari pemidanaan penumpasan kemerdekaan tidak bisa terlepas dari pembahasan mengenai tujuan pemidanaan. Pembahasan mengenai tujuan pemidanaan akan memberikan pemahaman atau analisis tentang sejauh mana jenis sanksi pidana seumur hidup yang  relevan dan karenanya patut dipertahankan dalam sistem hukum pidana.
Sejak awal perkembangan hukum pidana telah dikenal beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, antara lain[4]:
1. Teori Retributif
Teori ini merumuskan tujuan pemidanaan sebagai balasan atas kesalahan. Dengan asumsi dasar bahwa setiap orang bertanggung jawab secara moral atas kesalahannya. Jadi, menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata demi memenuhi ambisi balas dendam.

2. Teori Teleologis
Teori ini merumuskan tujuan pemidanaan digunakan untuk kemanfaatan. Dimana kemanfaatan tersebut ditujukan kepada pelaku tindak pidana agar menjadi lebih baik dan tidak mengulangi perbuatannya lagi dan juga ditujukan kepada dunia yaitu mencegah agar orang lain tidak melakukan perbuatan serupa.

3. Teori Integratif
Teori ini merumuskan tujuan pemidanaan dengan mengartikulasikan beberapa teori pemidanaan sekaligus. Pada teori ini pidana dan pemidanaan dilihat sebagai proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana yang dengan cara tertentu diharapkan dapat mengasimilasikan kernbali narapidana ke dalam lingkungan masyarakat.
Seiring berkembangnya dunia keilmuan maka teori integratiflah yang banyak digunakan oleh berbagai negara di dunia. Dari teori pemidanaan tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek pokok tujuan pemidanaan meliputi[5]:
1. Aspek Perlindungan Masyarakat
Aspek ini pada intinya meliputi tujuan pencegahan, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat. Dimana dengan dirampasnya kemerdekaan pelaku tindak pidana maka berarti terdapat pembatasan terhadap ruang gerak pelaku tindak pidana, sehingga masyarakat merasaaman dan terlindungi dari perilaku jahat pelaku. Berdasarkan pengertian tersebut maka pengaturan tentang diterapkannya pidana seumur hidup di lndonesia telah memenuhi aspek perlindungan masyarakat tersebut.

2. Aspek Perlindungan Individu
Aspek ini pada intinya meliputi tujuan untuk melakukan rehabilitasi dan mernpengaruhi tingkah laku pelaku tindak pidana agar taat dan patuh pada hukum. Aspek perlindungan individu ini merupakan implernentasi dari falsafah pembinaan (treatment philosophi) sebagi falsafah pemidanaan yang sekarang dianut oleh  banyak negara. Sebagaimana diketahui bahwa di lndonesia pidana penjara dilakukan dengan sistem pemasyarakaan. Pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan tersebut bertujuan membina dan mengembalikan kesatuan hidup terpidana agar menjadi masyarakat yang baik dan berguna. Berdasarkan konsep tersebut maka resosialisasi terpidana merupakan tujuan utama dari pidana penjara.
Selain itu Pidana penjara sebagai bentuk pemidanaan perampasan kemerdekaan individu juga memiliki sistem yaitu sistem hukuman penjara yang secara garis besar di dunia terdiri atas tiga sistem, yaitu[6]:
1.      Sistem Pennsylvania yang menghendaki para hukuman terus-menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar atau sel;
2.      Sistem Auburne, yang menentukan bahwa para terhukum pada siang hari disuruh bekerja bersama-sama, tetapi tidak boleh bicara;
3.      Sistem Irlandia yang menghendaki para hukuman mula-mula ditutup terus menerus, tetapi kemudian dikerjakan bersama-sama dan tahap demi tahap diberi kelonggaran bergaul satu sama lain sehingga pada akhirnya setelah tiga per empat dari lamanya hukuman sudah lampau dimerdekakan dengan syarat.
Sistem hukuman penjara yang dianut oleh Indonesia adalah perkawinan antara ketiga sistem tersebut. Dimana biasanya beberapa orang terpidana dikumpulkan dalam satu ruangan  pada saat bekerja dan tidur, tetapi ada kemungkinan juga bahwa seorang terpidana yang nakal dapat ditutup sendiri dalam satu kamar atau sel. Dan berdasarkan Pasal 15 KUHP, maka seorang terpidana penjara atau kurungan yang 2/3 lamanya hukuman sudah dijalani dan tenggang ini paling sedikitnya 9 (Sembilan) bulan, dapat dimerdekakan dengan syarat dan dalam waktu percobaan, yang lamanya 1 (satu) tahun lebih dari sisa lamanya hukuman akan tetapi pelepasan bersyarat ini tidak berlaku bagi terpidana penjara seumur hidup di lndonesia.
B. Kerangka Teoritis
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pidana adalah "reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu[7]. Dan untuk memudahkan pemahaman maka dapat simpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut[8]:
1.      Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2.      Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).
3.      Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau Badan Hukum (korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Sedangkan yang dimaksud dengan pidana penjara adalah
Suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilahirkan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut[9].
Kemudian pidana penjara seumur hidup adalah pidana yang harus dijalani terpidana selama hidup/sepanjang hidupnya[10].



BABIII
PEMBAHASAN

A. Pengaturan Pidana Seumur Hidup di Indonesia
Peraturan perundang-undangan Indonesia yang memuat pengaturan tentang pidana penjara seumur hidup adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai induk dari semua peraturan pidana di Indonesia[11], oleh karena itu pembahasan mengenai pengaturan pidana penjara seumur hidup di Indonesia dalam bab pembahasan ini penulis bagi menjadi dua bagian:
l. Pengaturan Pidana Penjara Seumur Hidup Dalam KUHP
a. Ketentuan umum tentang pidana seumur hidup
Sebagai peraturan yang memuat basic principle tentang aturan-aturan hukum pidana maka ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengikat terhadap aturan-aturan pidana diluar KUHP. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 103 KUHP:
Ketentuan-ketentuan dalam bab I sampai dengan bab VIII KUHP juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana kecuali jika oleh UU ditentukan lain.
Berdasarkan Pasal 103 KUHP di atas maka ketentuan-ketentuan umum dalam KUHP termasuk ketentuan umum tentang pidana seumur hidup juga berlaku untuk perundang-undangan di luar KUHP sepanjang tidak ditentukan lain dalam undang-Undang (khusus) yang bersangkutan. Di dalam KUHP, ketentuan umum tentang pidana seumur hidup diatur dalam Pasal 12 KUHP:
1.      Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu;
2.      Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah 1 hari dan paling lama 15 tahun berturut-turut;
3.      Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana semur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena yang ditentukan dalam pasal 52 dan52a;
4.      Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.
Berdasarkan ketentuan pasal 12 KUHP tersebut terlihat bahwa ketentuan umum tentang pidana seumur hidup hanya diatur dalam satu ketentuan yaitu dalam Pasal 12 ayat l KUHP. Dari ketentuan tersebut dapat dilihat ketidakjelasan pengaturan pidana penjara seumur hidup dalam KUHP apabila dibandingkan dengan pengaturan tentang pidana penjara selama waktu tertentu. Ketentuan pasal 12 ayat I KUHP diatas sebenarnya hanya menunjukkan bahwa bentuk pidana penjara itu bisa berupa pidana seumur hidup dan sementara waktu. Dengan demikian dalam ketentuan umum ini sama sekali tidak disinggung tentang bagaimana pengaturan pidana penjara seumur hidup sebagaimana dalam pengaturan tentang pidana penjara selama waktu tertentu[12]. Ketidakjelasan pengaturan tersebut menimbulkan pertentangan dengan tujuan pemidanaan apabila dihubungkan dengan kemungkinan diterapkannya pelepasan bersyarat terhadap individu yang dijatuhi pidana penjara seumur hidup. oleh karena itu Pasal 15 KUHP yang mengatur tentang pelepasan bersyarat ternyata juga tidak mengatur tentang adanya kemungkinan terhadap narapidana seumur hidup untuk memperoleh pelepasan bersyarat. Pasal 15 KUHP secara jelas hanya memperuntukkan pelepasan bersyarat kepada narapidana yang menjalani pidana penjara selama waktu tertentu saja:
1.      Jika terpidana telah menjalani dua per tiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus Sembilan bulan maka kepadanya dapat diberikan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut pidana itu dianggap sebagai satu pidana.
2.      Dalam memberikan pelepasan bersyarat ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
3.      Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.
Dari ketentuan tersebut jelas bahwa pelepasan bersyarat hanya diberikan kepada narapidana setelah yang bersangkutan menjalani 2/3 dari pidana yang dijatuhkan, atau dengan kata lain pelepasan bersyarat hanya dapat diberikan apabila batas waktu pidananya dapat diketahui atau dapat dihitung/diukur. Dengan demikian maka seseorang yang dijatuhi pidana penjara seumur hidup tidak mungkin mendapatkan pelepasan bersyarat, karena sifat pidana yang dijatuhkan kepadanya tidak terbatas/tidak dapat dihitung karena tidak satu pun orang yang tahu secara pasti sampai batas berapa usianya.
Di Indonesia peraturan yang memberikan peluang bagi terpidana seumur hidup untuk kembali ke masyarakat tidak diatur dalam KUHP sebagai peraturan yang memuat prinsip dasar hukum pidana melainkan diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 69 Tahun 1999 Tentang Pengurangan Masa Pidana (Remisi), dimana dalam pasal 7 dibuka kemungkinan bagi narapidana seumur hidup memperoleh remisi dengan syarat pidananya telah diubah dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 Keputusan presiden RI No. 69 Tahun 1999:
1.      Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani pidananya paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut dan berkelakuan baik dapat diubah dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara, sehingga lamanya sisa pidana yang masih harus dijalaninya menjadi paling lama 15 (limabelas) tahun;
2.      Perubahan pidana seumur hidup menjadi pidana penjara sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan dengan Keputusan menteri Kehakiman Republik Indonesia pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik lndonesia tanggal 17 Agustus;
3.      Dalam hal pidana penjara seumur hidup telah diubah menjadi pidana penjara sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, maka untuk pemberian remisi berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 sampai dengan pasal 6 Keputusan presiden ini.
Dengan demikian adanya ketentuan Pasal 7 Keputusan Presiden RI Nomor 69 Tahun 1999 maka terpidana penjara seumur hidup dapat melakukan perubahan atau
penyesuaian pidana melalui Keputusan menteri Kehakiman Republik Indonesia selain itu bisa juga melalui grasi[13].
Akan tetapi permasalahan ini tidak selesai begitu saja dengan adanya perubahan jenis pidana dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara tersebut dan grasi. Oleh karena itu pada perubahan jenis pidana dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana sementara sebagaimana diatur dalam keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1999 tidak ditentukan siapa saja yang berwenang dan berhak untuk mengajukan perubahan atau penyesuaian, sehingga besar kemungkinan terpidana yang tidak paham hukum akan tidak memperoleh perubahan atau penyesuaian pidananya. Demikian pula dengan perubahan pidana melalui grasi juga sulit untuk diperoleh, oleh terpidana yang "awam hukum", karena tidak adanya jaminan kepastian hukum bahwa terpidana penjara seumur hidup yang mengajukan grasi akan dikabulkan grasinya dan berubah pidananya menjadi pidana sementara. Sedangkan grasi tersebut hanya dapat diajukan 1 kali kepada Presiden terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal:
a.       Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut atau
b.      Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima[14].

Berdasarkan penjelasan diatas maka terlihat dengan jelas adanya pertentangan antara pengaturan pidana penjara seumur hidup di Indonesia dengan aspek perlindungan individu yang merupakan salah satu pokok tujuan pemidanaan. Pertentangan tersebut dikarenakan diterapkannya pidana penjara seumur hidup yang termasuk dalam jenis pidana perampasan kemerdekaan individu untuk jangka waktu selama hidupnya atau akhir hayatnya tanpa disertai aturan yang jelas dalam KUHP yang memberikan kemungkinan perubahan atau penyesuaian putusan pemidanaan terhadap terpidana penjara seumur hidup, memperkecil kemungkinan dapat dilakukannya resosialisasi terpidana ke dalam masyarakat. Dua solusi yang ditawarkan agar terpidana dapat menyesuaikan pidananya adalah melalui perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana sementara dan grasi, namun kedua hal tersebut sulit dilakukan oleh terpidana yang "awam hukum" disamping juga tidak adanya jaminan kepastian akan berubahnya pidana seumur hidup menjadi pidana sementara sehingga kemungkinan terpidana penjara seumur hidup untuk kembali ke masyarakat sangat kecil, sedangkan aspek perlindungan individu yang merupakan salah satu pokok tujuan pemidanaan yang menitikberatkan kepada perbaikan terpidana agar dapat menyatu kembali dengan masyarakat.

a.         Tindak Pidana yang Diancam Pidana Seumur Hidup oleh KUHP
Dilihat dari kualifikasinya tindak pidana dalam KUHP yang diancam dengan pidana seumur hidup adalah tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai kejahatan (berat).  Tindak pidana tersebut terdapat dalam buku II yang tersebar dalam 8 bab dan 23 ketentuan. Penempatan kelompok tindak pidana yang diancam pidana seumur hidup dalam buku II KUHP ini dapat dipahami oleh karena tindak pidana menurut sistem KUHP dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan
yang secara umum dianggap lebih berat diatur dalam buku II dan pelanggaran diatur
dalam buku III.
No
Kelompok Kejahatan
Pasal yang mengatur
1
Terhadap keamanan negara
104, 106, 107 (2), 108 (2), 11 92), 124 (2), 124 (3)
2
Terhadap negara
140 (3)
3
Membahayakan kepentingan umum
187 ke-3, 198 ke-2, 200 ke-3, 202 (2), 204 (2)
4
Terhadap nyawa
339, 340
5
Pencurian
365 (4)
6
Pemerasan dan pengancaman
368 (2)
7
Pelayaran
444
8
Penerbangan
479f sub b, 479k (1) dan (2) 479o (1) dan (2)

c. Perumusan ancaman pidana penjara seumur hidup dalam KUHP
Secara umum dalam KUHP hanya dikenal 2 bentuk perumusan ancaman pidana penjara yaitu bentuk perumusan dengan sistem tunggal dan bentuk perumusan dengan sistem alternatif. Dimana sistem pcrumusan tunggal adalah pidana penjara dirumuskan sebagai satu-satunya jenis sanksi pidana untuk delik yang bersangkutan, sedangkan pengertian sistem perumusan altenatif adalah pidana penjara dirumuskan secara altematif dengan jenis sanksi pidana lainnya berdasarkan urut-urutan jenis sanksi pidana yang terberat sampai yang teringan[15].




Pidana seumur hidup dalam KUHP dirumuskan dengan sistem alternatif:
No
Kelompok kejahatan
Perumusan ancaman pidana/pasal
Mati/seumur hidup/20 tahun
Seumur hidup/20 tahun
1
Terhadap keamanan negara
Pasal 104, 111 (2), 124 (3)
Pasal 106, 107 (2), 108 (2) 124 (2)
2
Terhadap negara
Pasal 339
-
3
Membahayakan kepentingan umum
-
Pasal 187 ke 3, 198 ke 2, 200 ke 3, 202 (2), 204 (2)
4
Terhadap nyawa
Pasal 340
Pasal 339
5
Pencurian
Pasal 365 (4)
-
6
Pemerasan dan pengancaman
Pasal 368 (2)
-
7
Pelayaran
Pasal 444
-
8
Penerbangan
Pasal 479k (2), 479o (2)
Pasal 479f sub b, 479k (1), 479o (1)

Tabel tersebut menunjukkan bahwa pidana seumur hidup selalu dialternatifkan dari pidana mati dan selalu dialternatifkan dengan pidana penjara selama 20 tahun. Sebagai alternatif dari pidana mati, pidana seumur hidup berhubungan pula dengan fungsi subsidair yaitu sebagai pengganti untuk delik-delik yang diancam dengan maksimum pidana mati. Selain itu dengan menggunakan sistem alternatif menunjukan bahwa pidana seumur hidup dalam KUHP merupakan jenis sanksi yang dapat dipilih penjatuhannya tidak bersifat imperatif[16].

2. Pengaturan Pidana Penjara Seumur Hidup di luar KUHP
Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana di dunia berkembang dengan pesat, dan untuk mengimbangi perkembangan tindak pidana tersebut maka pemerintah Indonesia banyak mensahkan peraturan perundang-undangan, pidana yang mengatur tindak pidana yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP, ataupun mengatur ketentuan pidana secara lebih spesifik dari yang sudah diatur dalam KUHP.
Perumusan ancaman pidana seumur hidup dalam perundang-undangan di luar KUHP sama dengan perumusan dalam KUHP yaitu berupa alternatif, akan tetapi beberapa pasal yang mengaturnya secara kumulatif salah satu contohnya adalah Pasal 111 (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dimana ancaman pidana penjara seumur hidup dikumulasikan dengan pidana pokok denda:
Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (l) beratnya melebihi I (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (l) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pidana pokok denda sendiri sebagaimana diatur dalam KUHP menganut asas subsidiaritas dimana pidana pokok denda yang tidak dapat dijalani oleh terpidana akan digantikan dengan pidana pengganti berupa kurungan sebagaimana diatur dalam Pasal30 KUHP:
Pasal 30
1.      Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen.
2.      Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.
3.      Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
4.      Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan demikian; jika pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh dua sen atau kurungan, di hitung satu hari; jika lebih dari lima rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen di hitung paling banyak satu hari demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
5.      Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan.
6.      Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.

Perumusan ancaman pidana penjara seumur hidup yang dikumulasikan dengan pidana pokok denda dalam Pasal lll (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang  Narkotika tersebut menurut penulis harus direvisi. Perumusan ancaman pidana kumulatif berupa pidana penjara seumur hidup dan pidana denda sangatlah tidak mungkin untuk diterapkan. Oleh karena apabila terpidana yang dijatuhi pidana penjara seumur hidup dan denda ternyata tidak mempunyai uang untuk membayar denda yang paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) tersebut ditambah  l/3(sepertiga), maka terhadapnya tidak mungkin dikenakan pidana kurungan pengganti, karena tidak dapat ditentukan kapan terpidana harus menjalani pidana kurungan pengganti tersebut, mengingat terpidana dijatuhi pidana penjara seumur hidup yang harus dijalaninya sampai akhir hayatnya.

B. Pengaturan Pidana Seumur Hidup Di Saudi Arabia
a.               Dasar-dasar Hukum  kerajaan Saudi Arabia
Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik Muslim maupun bukan Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebahagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. Terkait dengan susunan tertib Syari'at,Al-Quran Surat Al-Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara,maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum  menetapkan  ketentuannya maka  umat  Islam  dapat  menentukan  sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS5:101  yang  menyatakan  bahwa hal-hal  yang  tidak  dijelaskan  ketentuannya  sudah dimaafkan Allah
Dengan demikian perkara yang dihadapi oleh umat Islam dalam menjalani kehidupan  beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.
§  Asas Syara'
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau AlHadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara'.  Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat 
.           Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati syari'at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang  membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak  diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian  pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari'at yang berlaku.
Hukum syara’ adalah “maa tsabata bi khithaabillahil muwajjahi ilaal ‘ibaadi‘alaa sabiilith thalabi awit takhyiiri awil wadh’i”. Maksudnya, sesuatu yang telah ditetapkan oleh titah Allah yang ditujukan kepada manusia, yang penetapannya dengan cara tuntutan (thalab), bukan pilihan (takhyir), atau wadha’. Contoh hukum syara’,dari beberapa firman Allah dalam Al-Quran
§ Firman Allah swt., “Tegakkahlah shalat dan berikanlah zakat!”[QS. Al-Muzzamil (73): 20]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan berbuat, dengan  cara tuntutan keharusan yang menunjukkan hukum wajib melakukan shalat dan zakat
§ Firman Allah swt., “Dan janganlah kamu mendekati zina!” [QS.Al-Isra' (17): 32]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan meninggalkan, dengan cara keharusan yang menunjukkan hukum haram berbuat zina.
§  Firman  Allah  swt.,  “Dan  apabila  kamu  telah  bertahallul(bercukur), maka berburulah.” [QS. Al-Maidah (5): 2]. Ayat ini menunjukkan suatu hukum  syara’ boleh berburu sesudah tahallul (lepas dari ihram dalam haji). Orang mukallaf boleh memilih antara berbuat berburu atau tidak.
Wadha’ adalah sesuatu yang diletakkan menjadi sebab atau menjadi syarat, atau menjadi pencegah terhadap yang lain. Misalnya,a) Perintah Allah swt. “Pencuri lelaki dan wanita, potonglah tangan keduanya.” [QS. Al-Maidah (5): 38]. Ayat ini menunjukkan bahwa pencurian adalah dijadikan sebab terhadap hukum potong tangan; b) Bersabda Rasulullah saw., “Allah swt. tidak menerima shalat yang tidak dengan bersuci.” Hadits ini menunjukkan bahwa bersuci adalah dijadikan syarat untuk shalat; c)  Sabda Rasulullah  saw.,  “Pembunuh  tidak  bisa mewarisi sesuatu.”  Hadits  ini menunjukkan bahwa pembunuhan adalah pencegah seorang pembunuh mewarisi harta benda si terbunuh. Dari keterangan-keterangan di atas, kita paham bahwa hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu hukum   taklifi dan hukum  wadh’i
.
1) Hukum taklifi yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat, atau tuntutan untuk meninggalkan, atau boleh pilih antara berbuat dan meninggalkan. Contoh: Hukum yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat: “Ambilah sedekah dari sebagian harta mereka!” [QS. At-Taubah (9): 103], “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Al-Imran (3): 97]. Hukum yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan: “Janganlah diantara  kamu  mengolok-olok  kaum  yang  lain.”  [QS.  Al-Hujurat  (49):  11],“Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi.” [QS. Al-Maidah(5): 3]

Hukum taklifi  terbagi menjadi dua, yaitu ;
§  Azimah adalah suatu hukum asal yang tidak pernah berubah karena  suatu sebab  dan uzur. Seperti shalatnya orang yang ada di rumah, bukan musafir.
§  Rukhsyah adalah suatu hukum asal yang menjadi berubah karena suatu halangan (uzur). Seperti shalatnya orang musafir.
Sumber-sumber  Hukum  Islam
§   Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai  kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber  pertama atau Asas Pertama Syara'.Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia Dalam upayamemahami isi Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan.
§  Al Hadist
Al –hadist adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad  Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.
§  Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Ijtihad dilakukan  setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum  namun hal-hal ibadah tidak bisa diijtihadkan.  Beberapa macam ijtihad antara lain.
§  Furu' Syara'
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran danAl Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang Syari'at Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan/ perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah

Cara Persidangan di  Saudi  Arabia 
Dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim yang bertanggung jawab terhadap berbagai  kasus  pengadilan.  Dia  memiliki  otoritas  untuk  menjatuhkan  keputusan berdasarkan  Al-Qur`an  dan  As-Sunnah.  Keputusan-keputusan  lain  mungkin  hanya bersifat menyarankan atau membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua).Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib seorang tidak diserahkan kepada tindakan dan prasangka ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi dalam kasus tersebut dan bahkan mungkin pelaku kriminal itu sendiri. Hukuman hukuman dalam Islam hanya bisa dilakukan apabila perbuatan tersebut terbukti 100% secara pasti dan kondisi yang relevan dapat  ditemukan (misal ada 4 saksi untuk membuktikan perzinahan) jika masih ada keraguan tentang peristiwa-peristiwa tersebut maka seluruh kasus akan dibuang.Ada 3 macam hakim dalam Islam, yaitu:
 
1.      Qodli‘Aam: bertanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan ditengah-tengah masyarakat, misalnya masalah sehari-hari yang  terjadi  didaratan, antara lain kasus tabrakan mobil, dan kejadian   kecelakaan lainnya,  dsb.
2.      Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan ummat dan beberapa orang, yang mengganggu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan, mencuri di pasar, dsb.
3.       Qodli Madzaalim:  yang  mengurusi  permasalahan  antara  masyarakat dengan pejabat negara. Dia dapat memecat para penguasa atau pegawai  pemerintah termasuk  khalifah.
Khalifah kedua yaitu Umar Ibnu Al Khattab (Amir kaum muslimin antara tahun 634-644 M) adalah orang pertama yang membuat penjara dan rumah tahanan di Mekkah. Dibawah sistem  peradilan  (Islam),  setiap  orang,  muslim  atau  non  muslim,  laki-laki  atau perempuan, terdakwa dan orang yang dituduh memiliki hak menunjuk seorang wakil (proxy).  Tidak ada perbedaan antara pengadilan perdata dengan kriminal seperti yang kita lihat sekarang di negeri-negeri Islam seperti di Pakistan dimana sebagian  hukum  Islam dan sebagian hukum kufur keduanya diterapkan. Negara Islam hanya akan menggunakan sumber-sumber hukum Islam yakni, Al-Qur`an dan As-Sunnah (dan segala sesuatu yang  berasal dari keduanya) sebagai rujukannya. Hukuman-hukuman Islami akan dilaksanakan tanpa penundaan dan keraguan. Tidak seorangpun akan di hukum kecuali oleh peraturan pengadilan. Selain itu,sarana (alat-alat) penyiksaan tidak diperbolehkan. Dibawah sistem Islam, seseorang yang  dirugikan dalam suatu kejahatan mempunyai hak untuk memaafkan terdakwa atau menuntut ganti rugi (misal qishas) untuk suatu tindak kejahatan. Khusus untuk hukum hudud, merupakan hak Allah. Hukum potong tangan dalam  Islam hanya akan diterapkan apabila memenuhi 7 persyaratan, yaitu:
·         Ada saksi (yang tidak kontradiksi atau salah dalam kesaksiannya)
·      Nilai barang yang dicuri harus mencapai 0,25 dinar atau senilai 4,25 gr emas.
·      Bukan berupa makanan (jika pencuri itu lapar)
·         Barang yang dicuri tidak berasal dari keluarga pencuri tersebut.
·         Barangnya halal secara alami (misal: bukan alkohol)
·         Dipastikan dicuri dari tempat yang aman (terkunci)
·         Tidak diragukan dari segi barangnya (artinya pencuri tersebut tidak berhak mengambil misalnya uang dari harta milik umum).
Di sepanjang 1300 tahun aturan Islam diterapkan, hanya ada sekitar 200 orang yang tangannya dipotong karena mencuri namun banyak kejadian pencurian sangat jarang  terjadi.  Setiap  orang  berhak  menempatkan  pemimpinnya  di  pengadilan,  berbicara mengkritiknya jika pengadilan telah  melakukan  sejumlah pelanggaran  terhadapnya.  Sebagaimana  ketika  seorang  wanita  pada  masa  khalifah  Umar  Ibnu  Al  Khattab mengoreksi kesalahan yang  dilakukan Umar tentang nilai mahar .Kehormatan  seorang  warga  negara  dipercayakan  kepada  Majelis  Ummah  .Hukuman atas tuduhan kepada muslim lain yang belum tentu berdosa dengan tanpa menghadirkan  4 orang saksi yang memperkuat pernyataan tersebut adalah berupa 80 kali cambukan.

Macam-Macam Sanksi Hukuman Pidana di Saudi Arabia
Ada 4 kategori hukuman dalam sistem peradilan Islam, yaitu:
o   Hudud. Hak Allah SWT, seperti perbuatan zina (terancam 100 cambukan), dan perbuatan  murtad (terancam hukuman mati).
o   Al Jinayat. Hak individu, dia boleh memaafkan tindak kejahatan seperti pembunuhan,kejahatan fisik.
o   At Ta’zir.  Hak  masyarakat,  perkara-perkara  yang  mempengaruhi  kehidupan masyarakat umum sehari-hari seperti pengotoran lingkungan, mencuri di pasar.
o   Al-Mukhalafat. Hak negara, perkara-perkara yang mempengaruhi kelancaran tugas negara misal melanggar batas kecepatan

C. Pengaturan Pidana Penjara Seumur Hidup Dalam Konsep RUU KUHP
Sebelum penulis menjelaskan tentang pengaturan pidana seumur hidup Perlu kiranya penulis jabarkan tentang jenis pidana yang diatur dalam Pasal 65 ayat I RUU
KUHP yaitu:
Pidana pokok berdiri atas:
a. Pidana Penjara;
b. Pidana tutupan;
c. Pidana pengawasan;
d. Pidana denda;dan
e. Pidana kerja sosial

Sedangkan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam pasal 67 RUU KUHP terdiri atas:
a.    Pencabutan hak tertentu
b.    Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan
c.    Pengumuman putusan hakim;
d.   Pembayaran ganti kerugian;
e.    Pemenuhan kewajiban adat setempat dan atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat

Berbeda dengan KUHP Indonesia dan KUHP Saudi Arabia yang tidak menyebutkan tujuan pemidanaan dalam peraturannya RUU KUHP menyebutkan tujuan pemidanaan secara lengkap dalam Pasal 54 ayat I RUU KUHP, yaitu:
a.       Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b.      Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c.       Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d.      Membebaskan rasa bersalah pada terpidana;
e.       Memaafkan terpidana.
Berdasarkan uraian di atas, maka setidaknya dapat tergambar bahwa perancang RUU KUHP menyadari kekurangan yang ada pada KUHP yang berlaku saat ini, sehingga dirasa perlu untuk mengatur ketentuan pidana secara lebih jelas dan lengkap dalam RUU KUHP. Kesadaran akan kelemahan pengaturan pidana dalam KUHP  juga salah satunya terhadap pengaturan pidana penjara seumur hidup, dimana perancang  RUU KUHP melakukan pembaharuan dengan ide bahwa penerapan pidana penjara seumur hidup kurang sesuai dengan tujuan filsafat sistem pemasyarakatan karena pada hakikatnya perampasan kemerdekaan seseorang itu seharusnya hanya bersifat sementara (untuk waktu yang tertentu). Dan kalaupun pidana penjara seumur hidup tetap diterapkan dalam RUU KUHP, hal tersebut merupakan eksepsional, sekedar, untuk ciri simbolik akan sangat tercelanya perbuatan yang  bersangkutan dan sebagai tanda peringatan bahwa yang bersangkutan dapat dikenakan maksimum pidana penjara dalam waktu tertentu yang cukup lama. Singkatnya terhadap masalah pidana perampasan kemerdekaan seumur hidup tersebut pembaharuan yang dilakukan perumus RUU KUHP:
1.      Tingkat pencelaan masyarakat yang tinggal terhadap suatu tindak pidana tidak hanya dapat ditunjukkan dengan ancaman pidana seumur hidup, tetapi juga dapat dengan menetapkan maksimum pidana penjara yang cukup tinggi dalam waktu tertentu (antara 25 sd. 40 tahun).
2.      Pidana penjara seumur hidup kurang sesuai dengan tujuan filsafat sistem pemasyarakatan karena pada hakikatnya perampasan kemerdekaan seseorang itu seharusnya hanya bersifat sementara (untuk waktu yang tertentu) sebagai sarana untuk memulihkan integritas terpidana agar mampu melakukan readaptasi sosial.
3.      Pidana seumur hidup hanya dapat diterima secara eksepsional, sekedar untuk ciri simbolik akan tercelanya perbuatan yang bersangkutan dun sebagai tanda peringatan bahwa yang bersangkutan dapat dikenakan maksimal pidana penjara dalam waktu tertentu yang cukup lama jadi tidak untuk benar-benar diterapkan secara harfiah.
4.      Sehubungan dengan kesimpulan diatas maka dalam aturan umum buku I dapat dirumuskan maksimum umum untuk delik-delik yang diancam dengan penjara seumur hidup. Disamping itu perlu ditetapkan pula minimum umum untuk delik-delik yang diancam dengan pidana seumur hidup itu dengan disertai klausul yang memberi kemungkinan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana dibawah minimum umum tersebut.
5.      Pidana penjara seumur hidup hendaknya selalu dirumuskan sebagai alternatif dari pidana mati atau selalu dialtenatifkan dengan pidana penjara dalam waktu tertentu[17].

Selanjutnya mengenai kemungkinan dilakukannya perubahan atau penyesuaian kembali putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap yang didasarkan karena adanya penrbahan atau perbaikan pada diri terpidana itu sendiri, maka perancang RUU KUHP merumuskannya dalam Pasal 57 RUU KUHP:
1.      Putusan pidana dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan.
2.      Perubahan penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan atas permohonan narapidana, orangtua, wali atau penasihat hukumnya atau atas permintaan Jaksa penuntut umum atau hakim pengawas.
3.      Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana.
4.      Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa:
a.       pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan; atau
b.      Penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya
5.      Jika permohonanan perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditolak oleh pengadilan, maka permohonan baru dapat diajukan lagi setelah 1 (satu) tahun sejak penolakan.
6.      Jika terdapat keadaan khusus yang menunjukkan permohonan tersebut pantas untuk dipertimbangkan sebelum batas waktu 1 (satu) tahun, maka ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku.

Perubahan atau penyesuaian kembali terhadap pidana penjara seumur hidup diatur
dalam Pasal 10 RUU KUHP yaitu:
(1)   Apabila terpidana seumur hidup telah menjalani pidana sekurang-kurangnya 10 tahun dengan berkelakuan baik maka terpidana dapat diberikan pembebasan bersyarat.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat l diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Lebih lanjut dalam penjelasan RUU KUHP tersebut disebutkan bahwa
Ketentuan pasal ini memberikan kewenangan kepada pejabat yang berwenang yang ditentukan dalam Keputusan presiden untuk memberi keringanan pidana bagi terpidana seumur hidup, yaitu dengan mengubah pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dengan ketentuan apabila terpidana telah menjalani pidananya sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun dengan berkelakuan baik. Karena putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka instansi atau pejabat yang diberi wewenang menetapkan keringanan pidana adalah eksekutif.

Selain adanya kesempatan perubahan atau penyesuaian pidana berupa pembebasan bersyarat yang didasarkan pada syarat minimal masa pidana yang telah dijalani dan perbaikan perilaku terpidana ternyata RUU KUHP juga memberikan peluang perubahan atau penyesuaian pidana melalui grasi yang diatur dalam pasal 63 RUU KUHP:
(1)   Jika narapidana yang berada dalam LP mengajukan permohonan grasi, maka waktu antara pengajuan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan presiden tidak menunda pelaksanaan pidana yang telah diajukan.
(2)   Jika terpidana berada di luar LP mengajukan permohonan grasi, maka waktu antara mengajukan prmohonan grasi dan saat dikeluarkan Keppres tentang grasi tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku jika Presiden menentukan lain.

Adanya pengaturan tentang pidana seumur hidup yang memberikan kemungkinan perubahan atau penyesuaian kembali putusan pemidanaan tersebut baik yang melalui jalur pembebasan bersyarat ataupun permohonan grasi sangat  menunjang aspek pokok tujuan pimidanaan baik yaug bersifat individu maupun sosial.  Dengan kata lain pengaturan tersebut memberikan keseimbangan perlindungan terhadap individu dan masyarakat[18].


BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1.        Pidana seumur hidup di Indonesia diwujudkan dalam jenis pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana penjara seumur hidup. Pengaturan pidana penjara seumur hidup di Indonesia sebagaimana diatur dalam KUHP hanya memenuhi aspek perlindungan masyarakat. Sedangkan aspek perlindungan individu yang juga merupakan salah satu aspek pokok tujuan pemidanaan tidak terpenuhi. Hal tersebut disebabkan tidak adanya aturan dalam KUHP yang memberikan kemungkinan terpidana untuk mendapatkan perubahan atau penyesuaian putusan pemidanaan dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara. Sedangkan pada hakikatnya perampasan kemerdekaan seseorang itu menurut filosofi sistem pemidanaan seharusnya hanya bersifat sementara (untuk waktu yang tertertu) karena merupakan sarana untuk memulihkan integritas terpidana agar mampu melakukan readaptasi sosial. Dengan demikian jelas ternyata bahwa terdapat ketidakseimbangan pemenuhan tujuan pemidanaan aspek perlindungan masyarakat dan individu dalam pengaturan pidana penjara seumur  hidup KUHP. Menyikapi hal tersebut, pemerintah membuka kemungkinan dilakukannya perubahan atau penyesuaian pidana bagi terpidana penjara seumur hidup saat ini melalui Grasi dan Keputusan Menteri Kehakiman mengenai perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana sementara sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 69 Tahun 1999 tentang Pengurangan Masa Pidana (Remisi), namun kedua solusi tersebut tetap menyulitkan terpidana untuk memperoleh perubahan atau penyesuaian pemidanaan karena selain tidak hanya jaminan kepastian bahwa permohonan grasi terpidana akan dikabulkan, juga tidak diaturnya perihal pihak yang berwenang dan berhak untuk mengajukan permohonan perubahan dan penyesuaian pemidanaan dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara kepada Menteri Hukum dan HAM.
2.        Pengaturan pidana penjara seumur hidup dalam RUU KUHP merupakan pembaharuan yang dicita-citakan terhadap pengaturan yang berlaku dalam KUHP saat ini.  Untuk  itu RUU KUHP dirancang untuk mencapai keseimbangan  kedua aspek tujuan pemidanaan dalam pengaturan pidana penjara seumur hidup,  dimana pidana penjara seumur hidup tetap diterapkan untuk tindak pidana yang amat tercela dan memberikan kemungkinan ada perubahan atau penyesuaian putusan pemidanaan kepada terpidana melalui dua cara yakni grasi dan pembebasan bersyarat apabila terpidana berkelakuan baik dan telah rnenjalani pidana penjara selama l7 tahun.

B. Saran
Ketidakseimbangan pemenuhan aspek pokok tujuan pemidanaan pada pengaturan pidana penjara seumur hidup dalam KUHP menurut penulis harus disikapi dengan bijaksana dimana memang sudah sepatutnya untuk tindak pidana yang amat tercela diancam dengan pidana penjara seumur hidup, namun mengingat
sistem pemidanaan untuk perampasan kemerdekaan selain untuk membuat jera dan mencegah dilakukannya tindak pidana,  juga berfungsi untuk membina terpidana agar dapat beradaptasi lagi di dalam masyarakat dengan menjadi warga negara yang baik.
Oleh karena itu sebaiknya KUHP di revisi dan pada RUU KUHP sebaiknya diatur kemungkinan adanya perubahan atau penyesuaian putusan pemidanaan selain melalui grasi juga melalui pembebasan bersyarat yakni apabila terpidana telah menjalani 20 tahun[19] dan berkelakuan baik dengan demikian diharapkan keseimbangan pemenuhan aspek pokok tujuan pemidanaan dapat tercapai.



DAF'TAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1990.

                   , Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan. Bandung: FT Citra Aditya Bakti, 2005.

                   , Bunga Rampai Pengaturan Hukum Pidana. Bandung: FT Citra Aditya Bakti, 2005.

                   , Beberapa Masalah Perbandingan Huhtm Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Priyatno, Dwidja. Sistem Pelaksanaan pidana penjara di Indonesia, Bandung: PT RefikaAditama. 2006.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Eresco, 1989.

Tongat. Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukam Pidana di Indonesia. Malang; Universitas Muhammadiyah Malang. 2004.



[1] Tongat. Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukam Pidana di Indonesia. Malang; Universitas Muhammadiyah Malang. 2004.

[2] Secara umum civil law system memiliki ciri-ciri:
a.       Pemerintahan berdasarkan pada konstitusi
b.       Adanya persamaan dihadapan hukum
c.        Adanya Peradilan administrasi

[3] Perbandingan hukum menurut Dr. G. Guitens Bourgois sebagaimana penulis kutip dari Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada" 2006) hal- 4, adalah metode perbandingan yang diterapkan pada ilmu hukum. Perbandingan hukum bukanlah ilmu hukum, melainkan hanya suatu metode studi, suatu metode untuk meneliti sesuatu, suatu cara kerja yakni perbandingan, Apabila hukum itu terdiri atas seperangkat peraturan, maka jelaslah bahwa hukum perbandingan" (vergeleijkende recht) itu tidak ada metode untuk membanding- bandingkan aturan hukum dari berbagai sistem hukum tidak mengakibatkan perumusan-rumusan aturan-aturan yang berdiri sendiri: tidak ada aturan hukum perbandingan Atau menurut Sunaryati Hartono perbandingan hukum bukanlah suatu bidang hukum tertentu seperti misalnya hukum tanah, hukum perburuhan atau hukum acara, akan tetapi sekedar merupakan cara penyelidikan suatu metode untuk membahas suatu persoalan hukum, dalam bidang mana pun juga.
[4] Op. Cit., hal 107
[5] Ibid, hal. 110
[6] Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Eresco, 1989.
[7] Priyatno, Dwidja. Sistem Pelaksanaan pidana penjara di Indonesia, Bandung: PT RefikaAditama. 2006.
[8] Ibid, hal. 7
[9] P.A.F Laminating sebagaimana dikutip oleh Priyatno, Dwidja, Ibid. hal. 171
[10] Tongat, Op. Cit
[11] Dalam pasal 10 KUHP disebutkan secara limitative mengenai jenis pidana yang diterapkan di Indonesia yaitu:
a.        Pidana Pokok
1.       Pidana mati;
2.       Pidana Penjara;
3.       Kurungan;
4.       Denda
b.       Pidana tambahan
1.       pencabutan hak-hak tertentu
2.       perampasan barang-barang tertentu
3.       pengumuman putusan hakim
Oleh karena itu maka pidana penjara seumur hidup termasuk dalam bagian pidana pokok berupa pidana penjara
[12] dalam pasal 12 ayat 2, 3, dan 4 KUHP menjelaskan dengan detil tentang pengaturan pidana penjara selama waktu tertentu di mana waktu tertentu paling pendek adalah 1 hari dan paling lama 15 tahun berturut-turut, selain itu pidana penjara selama waktu tertentu juga boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena yang ditentukan dalam pasal 52 dan 52a, lebih lanjut ditegaskan pula bahwa pidana penjara selama waktu tertentu tidak diperbolehkan lebih dari 20 tahun.
[13] Grasi adalah hak presiden sebagai kepala Negara untuk memberikan ampun kepada seseorang tertentu  yang telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Bachsan Mustafa, sistem hukum Indonesia (Bandung: Remaja Karya. 1985) hal 4.
[14] Indonesia, Undang-undang tentang Grasi, UU No. 22, LN. No. 108 tahun 2008
[15] Tongat, Op. Cit., hal 86.
[16] Tongat, Op. Cit., hal 88
[17] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Pengaturan Hukum Pidana. Bandung: FT Citra Aditya Bakti, 2005. hal 200
[18] OP. Cit., hal 150
[19] Penulis mensarankan 20 tahun bukan 10 tahun sebagaimana diatur dalam pasal 63 ayat 5 RUU KUHP karena menurut penulis jangka waktu 10 tahun tersebut terlalu singkat dan kurang memberikan efek jera dan pencegahan kepada terpidana dan masyarakat, meskipun ukuran efektivitas menurut jangka waktu tersebut sifanya sangat subjektif, akan tetapi mengingat sangat tercelanya tindak pidana yang dilakukan maka 20 tahun adalah ukuran waktu yang tepat.

1 komentar: